Tumgik
#bertambah usia tak hanya tentang angka
menyapamentari · 20 days
Text
Pernah berada di titik menjadi seseorang yang tidak berguna, tidak pantas dan begitu menyedihkan. Rasanya hanya ingin pergi, hanya ingin berlari, hanya ingin sendiri.
Bila ditanya kenapa sampai seperti itu ? Mungkin kita pun tak tau bagaimana menjelaskan jawabannya. Hanya bisa diam. Dan tetap menjalani hidup.
Pernah begitu takut tidak bisa menjadi sebab bahagia seseorang. Perasa sekali, sampai - sampai jatuh sendiri karenanya.
Rasanya hanya ingin mundur, tidak membebani, dan membiarkan diri hanyut dalam pemikiran diri sendiri.
Kala itu, tahun - tahun dimana usia terus bertambah mendekati kepala tiga namun tak juga terlihat kapan doa - doa perihal pasangan hidup akan terwujud.
Yang ku ingat, sampai pada saat aku memilih berserah, berpasrah pada Allaah bagaimana akan mengaturnya.
Hingga benar, di usia ke dua puluh sembilan bi idznillaahi ta'ala aku menikah, di usia dimana banyak dari teman - teman seusiaku telah jauh lebih dulu berumah tangga.
Nyatanya, bukan tentang siapa yang lebih dulu, bukan pula tentang memaksa Allaah menyegerakan apa yang menjadi pinta, apalagi merasa lebih mengetahui. Nyatanya, waktu terbaik itu Allaah telah mengaturnya.
Dan lantas tak selesai begitu saja, sebab setelah menikah episode kehidupan baru itu dimulai. Sebagaimana kita mengerti, kita akan mengarungi samudera kehidupan, yang ternyata ujian - ujiannya tak seperti saat sendiri bukan ? :')
Namun, sama seperti saat - saat sebelumnya, semoga hari - hari selanjutnya, kita senantiasa berharap pada pertolongan Allaah ya ♡
Jangan sampai merasa mampu melaluinya sendiri. Sungguh, pernikahan itu bukan tentang seberapa angka usia kita. Bersyukur pada setiap fase perjalanan hidup kita ya, semoga dengan demikian hati senantiasa dalam rasa tenang dan rasa cukup.
Laa hawla wa laa quwwata illa billaah.
121 notes · View notes
ilafradila · 2 years
Text
Sekali lagi, tentang ulang tahun.
2 tahun lalu, ketika umur pernikahan masih hitungan bulan, masih semangat semangat nya, sibuk bikin hari ulang tahun belio supaya terasa spesial. Sibuk bikin donat (karna emang cuma bisa bikin donat waktu itu), sibuk hias2 donatnya, tapi tahun ini, setelah dua tahun, perasaan itu menguap. Bisa jadi karena toh belio tak pernah repot-repot bikin hari ulang tahun ku spesial, jadinya ku merasa tidak terlalu perlu juga mikir ini itu, mungkin sedikit balas dendam, haha. Tapi bukan berarti ku tidak ingat, cuma agak lebih malas saja untuk repot-repot.
Tahun ini, semakin bertambah usia kami, aku semakin overthinking. Lagi-lagi tentang kapan punya anak. Tentang aku harus bagaimana ketika belio nya cuek saja menjalani hari yang begini-begini saja, sedangkan istrinya sudah bosan setengah mati, menambah nilai dunia tidak, menambah bekal akhirat pun masih sedikit-sedikit, entah akan kemana rumah tangga ini akan kami bawa, tapi kami pasti berharap surga, tapi gimana, gimana gak overthinking.
Semakin hari, aku pun semakin pendiam, semakin malas berdebat, dan semakin sibuk memendam semuanya di dalam kepala. Tak tau kapan akan meledak. Entah berupa kata-kata yang tak akan ada habisnya, atau berupa tangis, atau marah tanpa tau apa sebab marah. Aku hanya berharap tidak akan jadi penyakit.
Teruntuk suamiku tersayang, yang hidupku kuserahkan sepenuhnya hanya untukmu ikhlas karena Allah, aku hanya manusia biasa yang banyak kurangnya, banyak salahnya, banyak gak taunya. Terkadang ada masanya ku ingin bicara banyak namun ku tahan karena ku takut dirimu bosan dengan cerita ku yang tak penting untukmu. Ketika ku diam, ada kalanya ku ingin dirimu mempertanyakan keadaan ku, apa yang ku mau apa yang ku butuh, bahkan ketika keinginan ku tak terpenuhi pun, itu tidak akan terlalu jadi masalah. Karena mungkin yang paling penting bagiku adalah sebentuk pedulimu. Sebenarnya aku dan dirimu sama-sama tipe pendiam, kita pun sama-sama introvert yang tidak nyaman dengan keberadaan orang lain ataupun keramaian. Tapi jika selamanya hidup dalam sepi, kurasa aku pun tidak sanggup, aku sudah sangat rindu suara bayi dan anak-anak. Rasanya sudah ingin menggedor pintu langit saking sudah rindunya. Tapi aku akan berusaha sabar jika kita pun sama-sama berusaha. Berusaha menyatu, berusaha lebih dari biasanya, sedekah dan ibadah yang lebih banyak, agar Allah SWT tau kita serius, dan menitipkan malaikat kecil untuk kita. Semoga secepatnya kita dianggap layak untuk jadi orang tua ya uda. Uda, La sayang. Semoga angka yang bertambah dan usia yang berkurang selalu diberi berkah oleh Allah SWT dan semoga kita sehat selalu. 💙
-181022
0 notes
snapsthings · 2 years
Text
Teruntuk Pelangiku
Haii sayanggg
8-8 hari ini jadi hari paling melankolis untuk aku. Langit sangat biru dan panas matahari amat terik. Jam tidurku berubah-ubah sejak satu bulan yang lalu tepat di hari ulangtahun mu, tapi bertambah angka di usia.
8-7 akan jadi hari yang paling ku ingat entah sampai kapan. Hari dimana semua bermula sejak aku mengetahui nama mu. Dia izinkan aku bertemu dengan wujudmu. Dia perkenankan aku mengenal dirimu. Dia izinkan aku mengetahui kehidupanmu. Mungkin, Dia juga yang menaruh rasa ini tumbuh terhadapmu.
Sayang, boleh kah aku memanggilmu dengan kata itu? Kata yang mengandung rasa, kata yang dapat menenangkan jiwa, kata yang dapat menyejukkan isi kepala yang mulai tak terarah.
Sayang, ada kah kalimatku yang membuat dadamu terasa sakit? Atau adakah perilaku dariku yang membuat amarahmu muncul? Ada kah?
Sayang, boleh kah aku memanggilmu dengan kata itu untuk yang kedua kali? Ketiga kali? Bahkan sampai berulang kali? Bolehkah?
Ada satu hari dimana aku merasa bahwa pertemuan ini hanya singkat. Tetapi doaku untukmu selalu kepadaNya tanpa sekat.
Tadi aku bercerita tentangmu padaNya. Tentang semua waktu yang sudah terlewat diantara aku dan kamu. Aku ceritakan semua padaNya tentang nama yang membungkus ruh dalam ragamu. Aku ungkapkan semua yang ada dibalik panggilan itu untukmu. Dia tahu. Iya, Dia sudah tahu.
1 note · View note
nidabasyariyyah · 2 years
Photo
Tumblr media
Eninku Hebat! Ketika salam kuucapkan, Enin yang sedang asyik menonton televisi segera menengok. "Eh, Kakak!" sapa Enin dengan wajah semringah dan segar. Berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, kali ini Enin terlihat sangat sehat dan segar. Rasa syukurku bertambah ketika Enin ingat dengan cucunya. "Kakak Nida, anak Apa Iwan dan Mama Dedeh, 'kan? Cucunya Enin ini. Eneng mana? Apa mana? Kok Kakak sendirian?" tanya Enin. Rasa haru kembali menguap, Enin mengingat jelas semua keluargaku. Lalu kujawab alasan bapak dan adikku yang absen ke rumah Enin. Berulang kali Enin menanyakan tentang keluargaku hingga ada satu kalimat yang membuat bimbang. Antara sedih atau ingin tertawa. "Mama mana, Kak? Mama Dedeh yang ndut dan lucu," tanya Enin sambil memperagakannya dengan lucu dan tertawa. Bagaimana mungkin aku menangis di saat Enin sedang bahagia. Aku pun menjawab Mama sudah meninggal. Jawaban Enin pun di luar dugaan. "Mama meninggal? Ooh, meninggal. Trus, Apa di rumah sama siapa kalau Mama meninggal?" Aku pun menjawab ada istri baru yang menemani. "Oh, istri baru Apa. Mama Dedeh, 'kan?" Begitu terus berulang kali, seolah hal itu bukan topik sensitif. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum melihat kelucuan Enin hari ini. Setelah mengalami struk yang kedua kalinya, ingatan Enin sedikit berubah. Sebelumnya Enin seperti tak mengenal kami. Butuh waktu berulang kali hingga Enin mengingat kami. Lalu, Allah beri keajaiban dengan ingatan Enin hari ini yang cukup tajam, meski tak seperti dulu. Masya Allah. Di usia Enin yang menginjak di angka 84 tahun, Allah memberinya tantangan baru berupa kesehatan. Namun, Enin tetap fight dalam menghadapi dan menjalaninya, terlebih karena ada orang-orang yang setia menemani, yaitu anak-anak beliau. Masya Allah. Barakallah fiykum, Enin. Semoga sehat selalu, berkah umur, dan bahagia terus. Aamiin yaa Allah. Alhamdulillah yaa Allah atas ingatan Enin hari ini yang membaik. Semoga ke depannya ingatan Enin terus membaik. Agar bisa seperti dulu lagi. Rindu dengan Enin, nenek yang selalu aktif di berbagai kegiatan. Dari Enin diri ini belajar untuk terus fight dalam menghadapi dan menjalani hidup. Keep sabar, dan istiqomah dalam berbuat baik. https://www.instagram.com/p/Cfg1WZrPcDA/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
namakujingga · 4 years
Text
saat usiaku bertambah satu angka lagi,
pernah aku membuat resolusi
ingin mencintai diriku sendiri
demi pribadi yang lebih baik lagi.
langkah pertamaku adalah belajar untuk mulai mensyukuri hal yang telah tuhan anugerahi. juga sebagai bentuk menghargai setiap nilai kecil yang ada pada diri.
perlahan aku mulai sadari,
semua hal yang dulu sempat ku inginkan
bukanlah apa-apa saat aku sudah terbiasa dengan yang namanya mensyukuri.
menjelang usia baru lagi,
tuhan membuatku menyadari bahwa segala kegilaan tentang duniawi, juga standar-standar yang tidak manusiawi mampu menyakiti. baik mental maupun hati.
tuhan juga akhirnya membuatku berdamai dengan masa lalu yang harusnya telah ku urai. membuatku akhirnya menerima apa yang telah ia beri, sekaligus merelakan apa yang sudah pergi. hal yang seharusnya sudah lama ku lakui. hal yang pernah teguh ku peluk walaupun aku tahu itu mampu menyakitiku lebih dalam lagi. memori.
kini semuanya telah usai,
terangkat sudah seluruh beban mental dan hati yang selama ini mencederai.
setelah ini aku akan tersenyum kembali
dan memulai semuanya dari awal lagi.
akan segera aku raih mimpi yang selama ini sulit ku gapai. juga akan ku lalui hidup penuh pelajaran yang harus selalu ku pelajari.
bukan hanya aku, tapi ku harap kita semua bisa lalui agar kita terus perbarui diri menjadi versi yang jauh lebih baik dari kita di hari ini.
Jingga. ditulis 191228 teruntuk 191229.
28 notes · View notes
nonaabuabu · 3 years
Text
BERANJAK DEWASA
Sebuah percakapan serius oleh @nonaabuabu dan @kkiakia
Tumblr media
pict by pinterest
Aku pikir dahulu dewasa adalah tentang angka usia yang terus bertambah dan masalah hidup yang mengikuti arus air. Mengalir apa adanya. Seiring waktu, aku sadar menjadi dewasa tidaklah mudah. Bukan soal perkara angka, bukan soal tubuh yang terus menua, tapi soal hati yang semestinya pandai berlapang dada, menerima, memaafkan, memaklumi dan menghargai segalanya. Nyatanya, aku tidak pernah benar-benar dewasa.
Aku pernah ada di titik memaknai dewasa soal cara menyikapi semua hal dengan bijaksana, dimana orang orang dewasa tahu benar menempatkan semua hal pada tempatnya. Namun setelah aku berada di usia ini, bertemu dengan semua dewasa lainnya, dewasa tak ubahnya hanya kosakata. Faktanya kita tak bisa menyikapi semua hal dengan sama bijaksananya.
Y : Kok ya aku jadi bingung dewasa itu gimana, aku merasa nggak dewasa Ki. Aku sebenarnya orang yang merasa punya fase bolak balik dalam bertumbuh. Kadang aku keki dengan sikap kekanakan orang di sekitarku, kadang lain aku merasakan perasaan kekanakan. Sebenarnya dewasa itu apa menurutmu Ki?
K : Menurutku ya mba, dewasa itu sesuatu hal yang abstrak dan tiap detik kita selalu belajar buat dewasa dan gak akan pernah selesai gitu. Kadang juga aku ngerasa kekanakan, tapi pada beberapa masalah yg kuhadapi aku merasa aku dewasa. Dewasa itu kalau secara pikiran dan perasaan menurutku adalah kita mampu menurunkan ego mba. Ga kalap sendiri kalo berambisi dan kalau emosi masih bisa kontrol amarah kita.
Y : Orang bilang aku dewasa, tapi kalau dewasa kayak aku, aku merasa dewasa itu bukan sesuatu yang bagus buat jiwa. Maksudnya gini, kayak menurunkan ego yg kamu bilang, aku emang cenderung gitu tapi cenderungnya kadang keterlaluan, akunya malah jadi nggak berambisi. Aku sering berpikir, yaudah gapapa selama yg lain senang aku ngikut, tapi belakangan jadi sadar, enggak gitu aku juga harus senang.
K : Iya sih mba, aku juga ngerasa. Sisi ego kita tuh kadang mau diberi makan juga, kayak pengen menang. Jadi menurut mba, apakah setiap orang yg sudah tua itu adalah orang dewasa?
Y : Iya Ki, tapi mungkin usia tua yang dimaksud disini bukan kita yang dewasa muda ya, setidaknya 30+, diluar yang memang istimewa aku anggap mereka dewasa bukan cuma soal usia tapi pasti ada satu dua aspek dalam diri mereka yang mereka dewasa menyikapinya. Karena kalau dewasa itu harus dinilai dengan bisa menyikapi banyak hal dalam semua aspek, aku rasa kita nggak ada yang dewasa. Kalau menurut kamu gimana? Apa kalau nggak dilihat dari usia, anak anak memungkinkan untuk disebut dewasa?
K : Setuju sih mba, karena kadang setua-tuanya orang masih ada sisi anak-anaknya. Prespektifku masih sempit sih soal dewasa pada orang tua. Aku lebih memandang dewasa itu mampu memaklumi, luas hatinya bersabar dan tidak egois gitu. Kayak ortu ke anaknya. Aku bingung juga sih, kadang kan ada anak-anak yang hidupnya keras mbak. Misal hidup di jalanan gitu. Punya banyak sodara dan jadi tulang punggung bantu keluarga. Kayak dia kehilangan masa anak-anaknya karena cari uang. Itu dewasa ga ya?
Y : Mungkin dewasa dalam bersikap di setiap fase usia beda beda kali ya. Misal di usia 20 dengan masalah a dengan penyelesaian b itu bisa disebut dewasa. Tapi diusia 25 dengan masalah a penyelesaian b itu masih kekanakan, udah seharusnya penyelesaiannya c. Jadi kayak anak-anak yg masih kecil dan menurunkan egonya buat bantu orang tua, itu dewasa untuk seorang anak anak diusianya. Tapi di usia kita membantu orang tua adalah peran yang memang harus kita ambil, kita butuh lebih dari itu biar bisa disebut dewasa.
K : Iya mba, kadang kan cara menyelesaikan masalah gitu. Pas kita pake plan B di usia 20. Pas usia 30 ada problem yang serupa. Nah pengalaman usia 20 dengan problem dan plan itu akan jadi intropeksi tersendiri kayak untuk lihat kemarin-kemarin aku kurangnya dimana, gitu menurutku. Soal anak kecil yang jadi tulang punggung tadi mbak, maksudnya kayak emang keadaan hidup dia berbeda dan porsi yang dia ambil emang harus segitu biar tetap hidup gitu kan?
Y : Dan dengan dia mengerti dia itu berbeda jadi harus menjalani sesuatu yang nggak umum kayak orang lain tapi dia terima dan paham bisa kita sebut dewasa kan Ki. Tapi coba ya kita lihat sisi lain, dia kehilangan momen masa kanak-kanaknya kayak yang lain, and one day saat dia udah selesai dengan masalah ini bukan nggak memungkinkan sisi kekanakannya baru muncul tapi di aspek yang berbeda, padahal dia udah memasuki usia yang dewasa. Itu kenapa menurut aku, kalau dewasa itu harus bisa menempatkan segala hal pada tempatnya, maka kita nggak ada yang dewasa, akan terus ada salah dan akan ada yang terus kita perbaiki.
K : Iya betul setujuuu, karena dewasa berkolerasi sama sifat kita yang ga sempurna yah mba. Selalu ada salah, selalu ingin memperbaiki. Dan ada yang selalu kita ajak berdamai dengan kesalahan, yaitu diri kita sendiri.
Dipisah Khatulistiwa, 04 Januari 2021.
211 notes · View notes
proseartsvvdade · 3 years
Text
DI SINI, SEGALA BERMULA
Tumblr media
Hidupnya berubah sewaktu Bapak pergi. Meninggalkannya dengan Ibu yang tidak pernah akrab dengannya.
Sejak kecil orang-orang menganggap Jan Mahira sebagai seorang anak yang beruntung. Bagaimana tidak? Dia besar sebagai anak juragan perkebunan sawit, penghasilan orangtuanya mencapai angka puluhan hingga ratusan juta dalam sebulan, di tempat kelahirannya, orang tuanya terpandang. Bapaknya pegawai negeri, ibunya pengusaha. Dia anak tunggal, pewaris harta sedemikian banyak. Kurang apalagi?
Dia punya banyak hal yang tidak dimiliki anak seusianya di sekitarnya. Rumah yang luas, kesempatan belajar dengan lebih baik, makanan yang bergizi cukup. Hidupnya adalah kehidupan yang didamba oleh setiap teman sebayanya. Setidaknya begitulah yang terlihat dari luar.
Namun, sungguh tidak pernah ada yang tahu kehidupannya yang sesungguhnya. Ibarat burung di sangkar emas, begitulah istilah yang tepat untuk menggambarkan dunianya di masa kecil. Tak pernah sekalipun dia diperbolehkan main dengan kawan sebaya, bahkan untuk hanya di sekitar rumah. Sepulang sekolah, waktunya habis untuk les; kursus bahasa Inggris, kursus melukis, kursus mengaji dan sederet kursus lain yang populer di awal tahun 2000-an. Pernah sekali dia mencuri waktu untuk main, babak belur dia dihajar ibu. Diseret sepanjang jalan, melewati tanjakan menuju rumah megahnya yang dimatanya tak lebih dari penjara.
Masa remajanya habis dengan menjadi pionir organisasi dan mengejar prestasi. Dia selalu langganan ranking satu, nilainya tertinggi di jurusannya saat SMA. Kepedihan hatinya karena selalu ditolak berpacaran oleh lelaki yang dia suka sebab mereka memandangnya hanya si ambis yang terlalu tenggelam dalam belajar dan lupa merawat diri, dia tutupi dengan prestasi tinggi sampai ke tingkat provinsi.
Di awal September 2012, petir besar menghantam kehidupannya. Bapak tahu-tahu pergi, tanpa sakit menahun sebelumnya, tanpa ada tanda apa-apa. Ibuk yang selama bertahun-tahun tidak pernah akrab dengannya terlihat sangat terpukul, apalagi dia, yang selama ini selalu lebih banyak menghabiskan waktu dengan almarhum. Setelah Bapak pergi, banyak yang berubah. Mau tak mau, dia harus mengakrabkan diri kepada Ibuk. Mencoba mengerti perempuan yang selama bertahun-tahun berada di sekitarnya dan tinggal dalam satu atap tetapi nyaris tidak pernah bertegur sapa kecuali saat membangunkannya tidur, menyuruhnya sarapan, sembahyang dan momen-momen langka seperti ulang tahun dan hari raya. Saat mencoba melakukannya, saat masih di dalam terpaan badai dari kehilangan Bapak, pukulan selanjutnya menghantamnya begitu mengetahui bahwa rumor tentangnya yang sempat dibantah orangtuanya saat ia kecil dulu ternyata benar; dia bukanlah anak kandung melainkan seorang bayi yang diadopsi dari sanak saudara tetangganya sendiri—seorang perempuan muda yang hamil berkat kebodohannya sendiri; tergoda harta tauke uzur di kota sana —, meninggalkannya dalam sebuah gegar tak tertahankan, mempertanyakan kehidupannya sendiri yang selama ini ternyata dihias kebohongan. Belum lagi di masa itu, sang sahabat karib yang dikenalnya sejak awal masa SMA menghianatinya dengan berbohong tentang statusnya yang ternyata diam-diam sudah berpacaran dengan lelaki yang dicintainya selama nyaris tiga tahun lamanya.
Terjangan badai tanpa henti itu telah membawanya kepada goncang tak berkesudahan. Segala memoar buruk dari masa lalu yang selama ini berhasil dia tekan keberadaannya agar tak menganggu hari-harinya, tiba-tiba naik semua ke kepala. Mengatung-ngatung di permukaan hatinya, menjadi perasaan tanpa nama yang berkecamuk merenggut setiap sinar hidup yang tersisa dari dirinya. Dia ingat pernah nyaris diperkosa di dalam rumahnya sendiri oleh karyawan sang Ibu, dia juga ingat seringkali ditinggal pergi sampai dini hari oleh kedua orangtuanya yang sibuk dan mencoba berdamai dalam perasaan teror selama berjam-jam, dia pun tak lupa bagaimana dia pernah dilecehkan oleh anak asuh bapak dan ibunya yang sempat menumpang di rumah, dia juga ingat bagaimana dia ditolak dalam pertemanan sebab teman sebayanya takut akan dia yang berstatus sebagai anak juragan dari para orang tua mereka; takut kalau bermain dengannya dan menyinggungnya, dia akan mengadu kepada orang tua dan berefek ke orang tua anak-anak itu.
Semua kenyataan ini mendampratnya dengan demikian keras, bahwa ternyata kehidupannya tidak pernah sempurna seperti yang orang-orang kira. Bahkan, jauh dari kata indah.
Seakan semua drama itu tak cukup, segalanya bertambah ketika pemerintah Sumatera Selatan memutuskan tidak memperpanjang peremajaan perkebunan sawit di tempat kelahirannya. Membuat sang Ibu mesti mengganti sumber mata pencaharian dengan berjualan kecil-kecilan, sedangkan di saat itu ia tengah berada dalam semester pertengahan di kuliahnya dan membutuhkan banyak biaya. Ibu kemudian menjadi sosok yang seringkali menumpahkan amarah kepadanya. Mengungkit kesalahannya yang sempat suka berfoya-foya saat masih digelimangi harta tanpa izin kepada Ibunya. Meski dia tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, tetap saja Ibu sering mengungkitnya. Membuatnya tenggelam dalam perasaan bersalah di saat yang sangat tidak tepat, yaitu di masa dia sedang berjuang dengan tugas akhir di perkuliahan. Belum lagi dia mempunyai seorang sepupu berhati culas yang menumpang tinggal dengan ibunya di desa, sempat bermunajab ingin menikahinya, tentu saja disambutnya dengan murka seluas astana dewa.
Dengan sederet drama panjang—termasuk harus bolak-balik mengunjungi psikiater selama tahun 2018 hingga 2019 karena percobaan bunuh diri, yang untung saja dokter berhati mulia ini dikenalnya dari sebuah acara dan bersimpati pada kisah hidupnya sehingga mau membantunya dengan memberi layanan secara cuma-cuma—, akhirnya dia berhasil menyelesaikan studi strata satunya pada akhir Desember 2020 tetapi pandemi dan kondisi mentalnya yang tidak stabil membuatnya baru bisa menjadi seorang wisudawan di bulan kedelapan tahun depannya.
Sekarang babak baru dalam drama kehidupannya dimulai; dia resmi menjadi pengangguran berusia 25 yang seharusnya sedang sibuk mempersiapkan diri mencari kerja. Apalah daya, lagi-lagi tekanan mental yang dialaminya membuat proses ini maju mundur dan berputar di situ-situ saja ibarat kompas rusak; bekerja, tapi seringkali tidak maksimal, bahkan menyesatkan. Benar memang bahwa kesialan di dalam hidupnya sungguh bisa sampai membuat setan memaki mengapa Tuhan tega menciptakan manusia berkisah sepelik ini, tetapi masalah batin dan buruknya self controlnya terutama dalam menghamburkan uang dengan mudah setiap kali dia dapat kiriman dari Ibunya di desa —lantaran coping mechanism ini yang selalu dipakainya selama ini acapkali bersedih— juga patut dicaci maki. Satu-satunya kekuatan yang mampu membuatnya bertahan berjalan di track yang lurus adalah apabila dia mengingat mimpinya untuk menjadi seorang pengusaha di bidang mode dan cafetaria.
Sebagai penutup sekilas kisah tentang dirinya, pada akhirnya dia hanyalah manusia biasa. Sama seperti kebanyakan orang lainnya. Dia sedang berjuang menjadi manusia yang baik, manusia yang bisa bertanggungjawab akan kehidupannya; untuk bersiap setiap saat mesti bertempur dengan tuntutan dari orang sekitarnya saat menginjak usia dua puluh lima, berusaha melawan keinginannya untuk menyudahi hidup, berusaha melawan keinginannya akan godaan kesenangan-kesenangan hidup yang belum bisa dia akses secara bebas akibat kondisi finansial yang belum layak, juga perasaan-perasaan buruk bahwa eksistensinya dan seluruh isi di dalamnya tak pernah cukup— sebuah anggapan miring dan mengancam akan diri sendiri yang tentu saja lahir akibat perlakuan orang-orang di sekitarnya yang dia jumpai selama hidup.
Pada diri Jan Mahira, mungkin kau akan menemui cinta, mungkin juga kau akan menemui benci tetapi yang lebih penting dari keduanya adalah di sini, kau akan bertemu dengan apa yang dinamakan mengerti.
2 notes · View notes
adhindatb · 4 years
Photo
Tumblr media
Surat Untukmu #14
Dua Lima ke Dua Empat
Aku belum menemukan hadiah yang paling kekal selain doa dan kasih sayang. Kasih sayang juga tak kekal apabila tidak diiringi komitmen untuk saling menyayangi. Seribu puisi juga mungkin tak mampu untuk membuat hari kelahiran nampak spesial. Apakah makna ulang tahun menjadi sangat janggal jika tanpa ucapan?
Kita tidak pernah bertambah usia, setiap bertemu dengan tanggal dan bulan hari lahir itu, sejatinya justru kita akan semakin dekat dengan sang waktu. Menghabiskan jatah usia di bumi, tinggal kau ingat-ingat saja, selama ini sudah mengumpulkan bekal sejauh apa...
Aku tahu, pasti perjuangan menuju titik baru mu itu penuh liku, penuh usaha keras yang menjadikanmu seseorang yang utuh. Membuktikan bahwa menjadi makhluk-Nya di bumi tidak serta merta hanya berdiam diri saja. Berjuang dan bertahan dengan segala amunisi terbaik...
Dititik lembar terbaru jumlah usia mu ini, semoga yang sedari dulu aku semogakan semoga menjadi dekat. Jangan kau tanya apa saja semoga itu, banyak, sampai kadang aku malu,merasa aneh karena bahkan tidak pernah mendoakan diri sendiri tentang hal itu...
Sejatinya tahun tidak pernah berulang, karena dia adalah satuan waktu yang tidak berjalan mundur. yang berulang hanya deretan angka penanda hari dan bulan, berputar dari satu hingga menemui angka usia mu saat ini...
Untukmu, selamat sudah menemui dua lima yang ke dua empat. Ucapkanlah terima kasih dan bersyukur pada diri, semoga engkau selalu berada di jalan yang tepat dan menjadi seseorang yang sama seperti apa yang aku kenal dahulu...
Dari aku, yang masih belajar menjadi pantas untukmu...
25 Oktober 2020
10 notes · View notes
pesan-larashida · 4 years
Text
Mengapa
Banyak dari keluarga, kenalan, teman, bahkan orang asing berbasa-basi menanyakan hal tentang pasangan.
“Mana pacarnya? Kok ngga diajak?”
“Mbaknya pasti sudah ada yang siap nganterin ya?”
“Masnya pasti beli kado buat pacarnya?”
“Mana nih gandengannya? Kok sendirian?”
Pertanyaan diatas akan bertambah menyebalkan seiring banyaknya pertemuan..
Bertambah menyiksa dimakan naiknya angka usia.
Bertambah beban diselingi tuntutan,
Lalu kalau dijawab dengan senyum, berserta kata terlarang Belum. Entah belum punya, belum ada, belum ketemu ataupun belum nampak.
Mereka yang mengajukan pertanyaan akan kompak, serempak dan sontak bertanya kembali.
“Kenapa?”
Kemudian kita yang ditanya hanya bisa kembali bungkam. Memaksa kalah untuk membuat mereka menang dalam khayalan.
Padahal jika boleh dibalik, bukankah kami yang harusnya mengajukan pertanyaan?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Punya ada orang yang sedang berjuang mempertahankan setia penantian?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Ada terdapat hati yang habis patah tertolak?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Ketemu terisi orang yang sibuk mencari cintanya yang hilang?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Nampak ada orang yang selalu berdoa disepertiga malamnya untuk didekatkan jodohnya?
Lalu kenapa bertanya?
Mengapa mengajukan pertanyaan yang bahkan kami sendiri tak bisa menjawabnya?
Mengapa mengungkit luka kami?
Mengapa suka sekali mengiris hidup kami?
Ya. Mereka juga takkan tahu jawabannya.
3 notes · View notes
hujankopi24 · 4 years
Text
Sudah Saatnya Berjalan, Tapi Jangan Buru Buru!!!!
Siang ini begitu menyengat, tapi tidak bagi Rusmini. Pagi, siang dan malam hidupnya akan selalu mendung, akan turun hujan tapi tidak pernah jadi. Menjadi seorang wanita karir dengan satu orang anak tidak mudah, Rusmini harus banyak membagi waktu antara mengurus anak, dan pekerjaan. Setelah menjadi ibu tunggal, Rusmini memang harus bangkit dan berjuang atas segala yang terjadi sekarang, juga nanti. Bagi rusmini tidak ada yang lebih bahagia dari hidup dengan kasih dan cinta, menyertai tumbuh kembang anak hingga menjadi kebanggaan orang tua. Rusmini bukan memilih untuk menjadi wanita karir, namun harus. Agar hidupnya dengan sang anak terus berjalan. Tidak berhenti. Ini bukan pilihan, sebab ini keharusan yang sakral. Terlalu banyak yang getir, hingga hanya untuk bekerja bukan lagi persoalan.
 ***
 1998, Yogyakarta.
Rembulan di Yogyakarta masih sama, bersinar meski sesekali redup tidak di sengaja. Barangkali rumah yang di bangun telah usang atau runtuh, itu sebabnya banyak yang merayakan kesedihan dengan duduk manis di rumah sambil melihati gelapnya malam, termasuk aku. Hidup dengan seorang ibu yang menghidupi anaknya dari menjadi kupu-kupu malam. Hidup kami berkecukupan, tidak kurang sedikitpun bahkan lebih lebih. Rumah mewah, mobil, butik butik yang sudah memiliki cabang, semua di olah ibu sendiri dari hasil melucuti dompet para lelaki yang haus belaian. Ibu tidak pernah mangkal, atau menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. Bahkan yang aku dengar, ibu tidak pernah ke sarkem atau sekedar main kesana. Ibu tidak memiliki germo, ibu berdiri sediri, hingga tidak banyak yang tau kalau ibu seorang gundik. Warga banyak yang hormat, sebab kekayaan ibu dan donasi ibu ke tempat tempat ibadah dan warga kampung yang miskin setiap bulan tidak pernah absen. Mungkin ibu bahagia begini, atau sebaliknya aku tidak pernah tanya. Aku hanya perduli aku adalah seorang anak yang lahir dari seorang Rahim wanita baik dengan lelaki baik. Biar waktu yang menjelaskan.
Senja membuat aku begitu terpesona, dengan kemerah-merahannya. Meski tidak semua senja hadir di setiap sore. Aku selalu menunggu senja, dengan bapak di pinggiran jalan malioboro. Bapak memang suka mengajakku kesana, setelah pagi hingga menjelang sore bapak menghabiskan waktunya memahat patung untuk di jual. Aku selalu menemani bapak bersama musik musiknya, mengambil uang recehan yang di beri secara sukarela dari orang orang yang lewat, berkenalan dengan orang-orang baru membantu Mas Burhan misalnya, melukis sketsa wisatawan yang ingin di abadikan momennya dengan mengambil harga secara sukarela juga. Semua serba sukarela, untuk sebuah karya seni banyak orang menganggap murah. Padahal dari itulah banyak orang menggantungkan hidupnya. Termasuk aku, bapak dan ibu. Hingga di senja ini, bapak masih dengan harmonica dan gitar yang tergantung di leher untuk terus mengumpulkan rupiah demi melanjutkan hidup dan meneruskan pendidikanku. Bapak memang begitu, aku tidak boleh berhenti sekolah. Hingga di bangku menengah atas, bapak ingin sekali anaknya mendapatkan Pendidikan terbaik, aku yakin uang SPP sebesar 10.000 rupiah terbilang besar jumlahnya. Bapak harus menabung dari sisa uang yang di buat untuk makan demi membuat anak tunggalnya memperoleh wawasan melebihi apa yang orang tuanya dapat. Di balik senyum dan rambut yang Panjang, bapak memilih untuk diam ketika berulang kali ibu menghabiskan uang bapak, membelanjakan sesuka hati, membeli kebutuhan tresier. Bapak memaklumi, sebelum membawa ibu ke Yogyakarya, ibu adalah wanita terkaya di desanya, wanita budha di kasta brahmana. Bapak membawa lari ke Yogyakarta sebab cinta kepada ibu sangat besar, ibu pun begitu. Namun cinta akan selalu kalah dengan kebutuhan, ada yang harus di penuhi. Bukan hanya dua, namun isi rumah dan tempat lindung. Menjadi seorang pemahat tidak membuat bapak bisa mencukupi kebutuhannya. Ibu tidak menuntut, namun bapak sendiri tidak ingin membuat wanita yang di cintainya terluka. Aku tidak tau urusan orang dewasa, tapi mau tidak mau, suatu hari aku akan menjadi wanita dewasa.
Sorenya, setelah senja kembali memerah. Aku memunguti sebagian harapan yang aku tuangkan bersama dengan  beberapa tumpuk buku yang sengaja aku beli untuk menghidupkan aku kembali. Beberapa waktu sengaja aku buat begini, untuk tidak terlalu penuh. Aku jatuh kembali setelah patah hati pertama kehilangan bapak. Memasuki tahun terberat hilang tidak membuat aku takut, justru bersama membuat aku begitu gila. Burhan, namun aku memanggilnya dengan sebutan Semesta. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan rambut gondrong dan kumis tebal yang di miliki membuat aku ingin sekali berlama-lama dengannya. Semesta menyembunyikan berbagai persoalan di antara titik titik yang di gambar lewat kertasnya sampai aku dan semsesta tidak menjadi satu rumah. Sejak pernikahanku dengan lelaki pilihan ibu, semesta terus menjadikan aku wanita paling istimewa bercerita segala keluh kesah yang menumpuk di kepalaku. Baginya aku akan tetap menjadi seorang wanita keras kepala yang menetap di hatinya, tanpa tapi, tanpa alasan, dan selalu begini.
Lelaki pilihan ibu memang tidak kurang dari segalanya, harta, tahta dan ketampanan. Namun satu hal; lelaki pilihan ibu tidak memiliki sprema yang kuat untuk menembus indung telurku. Hingga di angka 4 tahun pernikahan, kami masih berdua tanpa tambahan anggota baru. Waktu itu aku ingat jelas, setelah menghabiskan banyak minum dengan Burhan, aku mampir di huniannya yang penuh dengan kanvas, sesak tapi aku menyukai yang begini. Aku mengaku, aku manusia gagal. Menjadi istri orang namun memilih hidup dengan lelaki lain. Suamiku tidak masalah, asal ketika suami pulang, aku sudah harus di rumah, melayaninya sebagaimana seorang istri yang baik pada umunya. Entah, pernikahan macam apa ini. Mau tidak mau hidup harus terus berjalan begini, suka tidak suka.
Malam itu seperti biasanya, aku harus pulang sebelum jam 10 malam, sampai di rumah dengan cantik, tubuh yang wangi dan menyediakan makanan untuk di lahap berdua. Sebelum jam 10 , aku telah berkemas, bergegas merapikan baju dan tubuh yang masih telanjang. Membenahkan rambut untuk selalu terlihat rapi. Semesta memang selalu membuat aku kuwalahan. Tubuhnya yang begitu aku cinta dan harumnya yang selalu aku rindukan sebagai pertanda bahwa dengannyalah aku bisa melewati hidup yang sulit ini. Sampai di rumah, aku selalu menyiapkan segala keperluan suamiku dengan baik. Namun ada yang aneh, suamiku pulang lebih awal. Duduk di sofa dan menungguku dengan senyum yang tipis.
“Ada yang harus kita bicarakan.” Begitu kalimatnya menyapaku.
Aku duduk di sampingnya dengan nafas yang sedikit gemetar. Baru pertama kalinya suamiku pulang lebih awal begini.
“Aku butuh seorang anak, suruh Burhan menghamilimu.” Kalimatnya tegas tidak pernah terbata-bata.
“Hah, kau gila. Pasti Burhan tidak mau, ini urusan darah dagingnya.”
“Selama ini, aku rela kau tidur dengan lelaki itu, aku rela istriku di bagi. Aku hanya minta seorang anak, salah ?”. Suamiku pergi menuju kamarnya, membawa banyak harapan yang di tumpahkan ke aku. Hari ini tidak ada makan malam. Tidak ada bercerita panjang di meja makan tentang apa yang terjadi pada hari ini.
 ***
Senja saja tidak pernah bisa di tebak kapan akan muncul atau kapan akan menghilang. Senja begitu rahasia. Setiap datangnya selalu menjadikan sebuah kerinduan. Sejak aku hamil, tubuhku semakin kurus mengering, hanya perutku yang membuncit. Di usia kandunganku 3 bulan, aku mendapati Burhan di bunuh di kamar kostnya. Tubuhnya di temukan penuh dengan lupa cabik. Polisi telah menyelidiki, namun sampai kini belum ada kejelasan siapa pelakunya. Aku telah kehilangan 2 lelaki terbaik, bapak dan Burhan. Pemilik dari janin yang ada di kandunganku ini. Aku dan Burhan sepakat, setelah bayiku lahir, kami akan pergi jauh. Berdua. Meninggalkan suamiku dan juga Yogya. Bersembunyi-sembunyi begini sangat tidak enak dan butuh gelisah yang cukup besar. Kematian Burhan memang sangat janggal, hingga di kelahiran anakku, polisi belum juga bisa menyelesaikan kasus pembunuhan yang terjadi pada seorang seniman yogya di kamar kostnya. Aku hampir kehilangan harapan, ingin menuntut keadilan namun polisi akan bungkam dengan uang.
Anakku tumbuh dengan cinta kasih yang penuh, dengan kasih dan sayang yang luar biasa. Suamiku begitu bahagia. Dari awal hingga anakku berkembang, suamiku telah menemani aku begitu luar biasa. Cinta dan kasihnya semakin bertambah setiap harinya setelah kepergian Burhan, namun luka di dadaku di tinggalkan Burhan tidak akan bisa sembuh. Tak lama dari itu, suamiku meninggal akibat serangan jantung. Mobil jenazah yang di kawal oleh polisi khusus mendatangi rumahku dengan embawa peti berisi suamiku. Kataya suamiku di temukan tewas sewaktu perjalanan dinas ke Bali. Usia anakku baru 5 tahun. Dan aku harus menanggung beban terberat kehilangan orang orang yang menyayangiku. Remuk ? jangan di tanya lagi. Beberapa kebenaran aku dapatkan sekarang. Aku menemukan beberapa foto dan sim card baru di laci kamar milik suamiku. Setelah aku memandangi dengan seksama, seperti tidak asing dengan dua orang yang berada pada gambar. Memang sudah sedikit using, tapi aku yakin penglihatanku tidak salah. Ibuk terlihat cantik dengan rambut tergerai. Aku ingat ibu memiliki rumah di Bali yang di biarkan kosong tidak berpenghuni. Dan suamiku sering sekali melakukan perjalanan dinas ke Bali. Entah sejak kapan. Tapi benar, suamiku memiliki hubungan khusus dengan ibuku. Tubuhku kelu, nyaris tidak memiliki energi. Sudah puluhan tahun aku memang tidak bertemu dengan wanita yang melahirkan aku. Bukan tidak mau, namun ibu tidak ingin di temui pasca aku menikah dengan suamiku.
Siapa sangka, kalau pilihan memang harus di buat untuk menunjukkan seberapa besar kita mencintai seseorang. Aku tau hidup ini bukan hanya aku saja yang menderita. Ada banyak kepala yang memiliki pemikiran yang jauh lebih baik dari aku, ada banyak hati yang memiliki perasaan lebih kuat dari aku. Aku memilih untuk mengasuh anakku sendiri, tanpa kawin. Menikmati setaiap inchi tubuh yang terus tumbuh meski tidak setiap hari bersamanya. Bagiku tidak ada ibu yang gagal melahirkan seorang anak, yang ada hanya ibu yang gagal mensyukuri itu, dan semoga aku bukan bagian dari itu. Aku mencintai anakku yang begini, aku mencintai hidupku yang begini. Tidak ada yang lebih indah dari senja yang kemerah merahan. Sudah saatnya berjalan, tapi jangan terburu buru. Pilihan harus di buat dengan cerdas, agar semua Langkah tidak menjadikan kita manusia yang paling bersalah. Aku tidak pernah menyesal tidak menikah dengan Burhan,bahkan aku juga tidak menyesal telah menikah dengan suamiku. Tidak ada penyesalan yang harus aku lakukan, sebab hidup begini; berjuang dan terus berjuang adalah pilihan yang aku buat. Mau tidak mau aku dan anakku harus tetap hidup. Semoga Ibu, Burhan, dan suamiku selalu dalam lindung cinta kasih Tuhan.
  Rina.Elfatah
11 notes · View notes
kilasjejak · 4 years
Text
Target (Pergantian) Tahun(an)
Tidak terasa tahun 2019 sudah mau berlalu meninggalkan kita. Ya meski pergantian tahun (masehi) bukan suatu hal istimewa, setidaknya ini berlaku untuk saya.
Rasanya kita (saya aja deh ya :P) terlalu sering membuat target setiap kali akan berganti tahun.
“Tahun depan aku mau ini...”
“Tahun depan aku harus itu...”
“Tahun depan.... de el el”
Banyak hal yang harus di evaluasi. setidaknya di dalam diri ini.
Setiap tahun membuat target, apa iya sudah berusaha bersungguh sungguh mengupayakan target itu ?
Setiap tahun sibuk merakit mimpi baru, apa iya sudah berupaya sekuat tenaga agar mimpi itu terwujud ?
Dan di tahun 2019 ini, saya nggak ingin membuat target apa-apa di tahun 2020. Sebab saya tidak tahu apakah tahun 2020 nanti saya masih hidup atau sudah pindah di alam lain. Saya hanya ingin menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Alloh. Itu saja. Dan itu bukan sebuah target tahunan, tapi target saya setiap detik yang harus saya upayakan sekuat mungkin. Harus saya perjuangkan sekeras mungkin. Tentang bagaimana cara saya merealisasikannya, biarlah itu menjadi rahasia manis antara saya dan Alloh saja.
Kamu yang berkenan membaca tulisan ini boleh tidak setuju dengan tulisan ini, tentu saja. Sebab tulisan ini pertama kali saya tujukan untuk diri saya pribadi.
Bagi saya, pergantian tahun adalah berkurangnya umur kita setahun. Berkurangnya jatah hidup kita setahun di dunia. Dimana angka usia semakin bertambah, tapi kebaikan dalam diri tak jua menunjukkan progress berbenah.
Mengevaluasi diri/ meng-hisab diri selama setahun belakangan. Kebaikan atau keburukan yang lebih banyak kita kerjakan. Barangkali ada hal buruk yang luput kita sadari dan kita abai. Coba di ingat-ingat kembali, lalu di taubati.
Barangkali itu saja tjurhat saya hari ini.
Oh iya... saya berharap di setiap waktu untuk selalu dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan membawa saya pada kebaikan pula. Dan Alloh berikan rasa syukur dan sabar yang lebih luas untuk diri saya.
37 notes · View notes
dewiros · 4 years
Text
Bayi 0 hariku
Bayiku? Benar, bayi yang Allah SWT amanahkan kepada kami, aku dan suamiku.
Kebersamaan saat di dalam kandungan, kurang lebih 40 Minggu, berbagi banyak hal, mulai dari nutrisi makanan, hingga ragam warna perasaan. Aku dan bayiku bersama-sama ke manapun aku beranjak.
Memang, perihal rejeki usia mutlak di tangan Allah Yang Maha Kuasa, tapi rasaku sebagai Ibu "yang baru hari itu", tetap saja "drop", sebutlah rasa sedih yang manusiawi saat belum genap sehari bersama bayi yang semalam baru dapat kutatap langsung wajahnya dan kukecup sekali pipinya. Jam 8 pagi harus berpisah jarak.
Bayiku dirujuk menuju rumah sakit berbeda dengan tempatku melahirkan. Bayiku berangkat menggunakan ambulance menuju RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) di pusat kota, yang terdapat peralatan lebih memadai untuk memulihkan kondisi bayiku. Bayiku tidak sakit, hanya saja menurut penuturan pihak rumah sakit, terjadi aspirasi mekonium (tersedak air ketuban yang sudah bercampur dengan kotoran bayi sendiri saat di dalam rahim), tapi juga ada indikasi kelelahan yang di alami bayiku karena proses melahirkan yang hampir 24 jam sejak awal darah keluar dari jalan lahir. Saat lahir, bayiku menangis nyaring, aku melihatnya. Dua jam setelah lahir, sudah dibawa ke ruang perawatan tempatku berada, dan dari informasi perawat yang mengantarkan, ritme nafas bayiku belum stabil, tapi bisa dicoba untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Tapi tak disangka, bayiku yang semula diam dan tertidur, malah menangis dan menolak untuk menyusu, hingga jam 02.00 dini hari kembali dibawa ke ruang bayi. Siapa sangka, shubuh suami diminta ke ruang bayi, dan ditawarkan rujuk untuk bayiku, karena ritme nafasnya masih belum stabil, sementara alat yang lebih canggih belum tersedia di RS tempatku melahirkan karena tergolong baru. Jam 08.00 pagi, bayiku benar-benar dibawa menggunakan ambulance menuju RSIA di tengah kota. Apalah daya, aku masih dalam pemantauan masa pemulihan, jadi hanya suamiku yang menemani bayiku. Sementara aku menyusul siang harinya setelah dinyatakan pulih dan boleh meninggalkan RS.
Setibanya di lokasi, aku disambut suamiku di depan gerbang IGD (Instalasi Gawat Darurat). Rasanya sudah tak karuan, tapi aku harus berusaha biasa saja, karena diantar oleh keluargaku. Selanjutnya, hanya aku dan suamiku yang boleh masuk. Hanya orang tua bayi yang boleh masuk ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Setibanya di depan ruangan kami memakai pakaian pelindung dan mencuci tangan, lalu masuk ke ruangan tempat bayiku dipulihkan. Aku menyebutnya dipulihkan, karena bayiku tak sedang diobati, hanya dipasang selang oksigen dari tabung bertekanan yang dapat diatur dan disesuaikan tekanannya dengan kebutuhan. Bayiku sehat, itu yang selalu kupegang, kuyakini. Bayiku hanya perlu dipulihkan, karena memang tak ada satupun obat yang diberikan selama pemulihan.
Setibanya di ruangan, sebutlah lebay atau alay, tapi lututku lemas, air mata langsung menetes tanpa permisi, ya Allah, bayi 0 hariku, sedang berbaring tertidur seorang diri ditemani tabung oksigen berukuran besar dan suara monitor untuk mengontrol kemajuan pemulihan yang dilakukan. Tak ada obat ataupun tindakan lain, selain selang oksigen di hidung dan infus di tangan, karena ternyata hari itu bayiku harus berpuasa dari ASI ataupun Sufor. Jiwa emak Newbie ku benar-benar protes, tapi astagfirullah, bukankah semua nyawa dalam genggaman Allah dan keselamatan murni kuasa Allah.
Bayiku hanya seorang diri di ruangan itu, karena di NICU dipisahkan ruangan bayi dengan diagnosa yang berbeda. Bayiku ditemani mba-mba perawat yang bergantian shift selama 24 jam, dan dikunjungi dokter jaga per sekian kali per harinya.
Hari pertama, kulihat bayi 0 hariku berpuasa, untuk membersihkan paru-parunya. Bayiku hanya dikasih dot kosong untuk menenangkannya saat menangis. Bayiku tidak dehidrasi karena terpasang selang infus di tangan kanannya yang mungil, ah lagi-lagi, tangisku pecah.
Hari kedua, aku menyimpan harap bayiku bisa kugendong pulang. Aku belum menggendongnya, karena malam itu masih pemulihan, aku baru mengecup pipinya nya sekali dan memangku saat IMD malam kelahirannya. Bayiku sudah boleh buka puasa, namun hanya 10ml sufor (saat itu aku belum pumping karena belum tau bayiku akan buka puasa). 10ml sangat sedikit dan diberikan per sekian jam, namun saat bayiku menangis kembali diberikan dot kosong. Pemulihan masih berlanjut, karena angka di monitor masih belum sesuai harapan.
Hari ketiga, aku tak berhenti berharap, agar bayiku bisa pulang besama kami. Allah, kondisi bayiku belum memihak, lagi-lagi harus ikhlas untuk tetap tinggal. Jujur aku drop, namun aku harus logis, bayiku membutuhkan bantuanku, dan ada 1 hal yang bisa kulakukan yakni memberinya ASI. Akupun mencoba pumping dan meski awalnya hanya sekitar 2 sendok makan, namun bertahap bertambah. Kebutuhan bayiku juga masih dibatasi, jadi masih bisa cukup dan diantarkan oleh suamiku ke rumah sakit, karena kami sementara memang menginap di rumah saudara kami sekitar setengah jam dari sana. Angka di monitor sudah sesuai harapan pada sore harinya, Alhamdulillah, semoga besok bisa pulang, dengan alasan harus mendapat izin medis dari dokter jaga.
Hari keempat hingga hari keenam, bilirubin anakku sangat tinggi (katanya), yakni diangka 16, sementara normalnya 10, agar bisa turun dengan cara dijemur di matahari pagi selama sekitar setengah jam setiap harinya. Awalnya kami ingin nekat membawa pulang bayi kami di hari ke empat, namun dokter belum bisa memberikan keterangan medis bahwa bayi kami siap dibawa pulang karena masih harus fotoscreen selama 3 hari ke depan. Kalaupun kami memaksa, maka statusnya pulang paksa dan kami harus menandatangani surat yang intinya pihak rumah sakit berlepas tangan apabila ada hal-hal yang terjadi di luar harapan karena kepulangan terpaksa bayi kami.
Benar, selama enam hari itu, yang bisa kulakukan hanya mengucap salam setiap memasuki ruangan bayiku, melantunkan ayat suci Al-Quran, mengajaknya mengobrol, menatapnya, menyentuhnya sesekali, dan menenangkannya saat menangis. Hanya itu.
*Ketika harapan tak bersanding lurus dengan yang ditakdirkan*
Harapan bunda, saat pertama pulang dari RS, cinta akan mendengar murattal Al-Quran bersama bunda di rumah, tapi takdir berkata lain, cinta harus mendengar suara monitor.
Harapan bunda, saat pertama pulang dari RS, cinta bisa bobo di samping bunda, berada di sekitar keluarga kita, tapi takdir berkata lain, cinta harus tidur sendiri, dan berada di sekitar tabung oksigen bertekanan tinggi itu.
Harapan bunda, cinta tidak perlu pakai popok sekali pakai dulu sampai 2 bulan, biarlah bunda cuci popoknya setiap hari, tapi takdir berkata lain, cinta sudah harus pakai popok sekali pakai sejak hari pertama.
Harapan bunda, cinta akan sering mendengar suara bunda yang cerewet, secara langsung, sejak hari pertama pulang dari rumah sakit, tapi takdir berkata lain, cinta mendengar banyak suara perempuan, ibu perawat dan ibu dokter yang datang secara bergantian, sedangkan suara bunda, hanya sesekali mengucap salam, ngaji, atau ngobrol sejenak.
Harapan bunda, wajah bunda yang akan paling sering cinta lihat secara langsung sejak hari pertama pulang dari RS, tapi takdir berkata lain, cinta banyak melihat wajah ibu perawat saat di ruangan.
Harapan bunda, biarlah bunda belajar sejak awal, tentang banyak "perintilan" mengurus cinta, tapi takdir berkata lain, bunda belum bisa mandiin cinta, gantiin popoknya cinta, pakein bajunya cinta, gantiin bajunya cinta, semua masih belum, selama 6 hari itu.
Harapan bunda, bisa memangku cinta, menggendong cinta, peluk dan cium cinta sesering yang bunda bisa, sejak hari pertama pulang dari RS, tapi takdir berkata lain, bunda baru bisa mencium dan menggendong cinta sebentar di malam pertama, sisanya bunda harus bersabar.
Sekian, cerita 6 hari pertama bayiku, ke depannya, harus terus kami syukuri kebersamaan kami, yang semoga Allah berkahi. Benar, kalau tentang usia, bukankah letak kuasanya bukan di tangan manusia?
*Ini murni curhatan pribadi dengan sudut pandang pribadi, jadi mohon maaf apabila terkesan berlebihan, atau terdapat kesalahan terkait beberapa istilah medis dan lainnya.
*Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan konten yang kurang jelas.
*Terimakasih admin telah meloloskan tulisan sederhana ini, semoga bisa menjadi pengingat bagi penulis sendiri, untuk mensyukuri anugerah yang diberikan Allah, berupa keturunan.
Emak Newbie, 09-07-2020
2 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Text
10 NASIHAT YANG PALING MENYEBALKAN
Kita tersadar menjadi tak lagi muda ketika terikat interaksi dengan mereka yang benar-benar belum tua. Siang itu aku dan kedua rekan terlibat percakapan yang menyenangkan. Satu dari mereka baru saja melangsungkan pernikahannya. Si pengantin barupun mulai buka suara.
"Ya ampun pagi kemarin aku dimarahi ibuku. Tahu gak kenapa?"
"Apaan?" Balas teman mudanya penasaran.
"Gara-gara suamiku menjemur handuknya dengan tangannya sendiri! Hla? Salahnya di mana coba? Handuk-handuk dia ya kan?"
"Hihihihi..." Sontak kami bertiga terbahak.
Diantara kami masing-masing usia pernikahannya ada di angka 2 minggu, 2 tahun, dan 13 tahun.
Jelas yang paling menikmati lelucon itu adalah aku. Sosok yang paling tua diantara mereka.
"Kak.. jadi 13 tahun kakak menikah, selama itu pula handuknya Abang, Kakak yang jemurkan?"
"Hwahahahaha" Kali ini aku tak tahan untuk tidak tertawa.
Pertanyaannya tak terjawab. Aku malah berlagak bijaksana menghujaninya dengan beberapa petuah.
1. Ini bukan hanya perkara handuk saja, kawan. Ada segelas air putih yang harus kau siapkan saat menyambut suamimu pulang. Dan ingat, itu harus gelas khusus. Orang lain jangan coba-coba menyentuhnya jika tak ingin ibumu murka lagi.
2. Pastikan temani dia makan walaupun kau tidak lapar. Jangan biarkan dia beranjak untuk mencuci tangannya sendiri. Kau sediakan tempat cuci tangannya. Dia hanya boleh beranjak ketika lapar dan dahaganya telah terpenuhi.
3. Rumah harus senantiasa bersih dalam pandangan suamimu. Hidungnya hanya boleh mengindera segala yang harum.
4. Rendahkan suaramu dihadapannya.
5. Sisirkan rambutnya. Ambilkan pakaiannya sehingga tak susah ia membuka lemari dan menemukan padanan yang sesuai.
6. Sepahit apapun keputusannya, patuhi.
7. Belajarlah memasak juga memijat, karena itu menguatkan cinta.
8. Perselisihan yang nanti kalian berdua alami, jangan kau umbar kemana-mana.
9. Dia sama seperti kau. Bukan malaikat. Maklumi segala "kemanusiaannya".
10. Terakhir, ketika dia hendak memejamkan matanya. Raih tangannya, mintalah maaf meski kau tak merasa bersalah.
Kesemuanya itu berpulang pada kau. Engkau camkan nasihat ini, harmonis hadiahnya. Kau abaikan, badai cek-cok cepat menghantam rumah tanggamu.
***
Asal kau tahu kawan, nasihat itu pernah aku anggap angin lalu. Aku merasa menjadi wanita paling malang yang menyandang gelar istri. Segala bentuk pelayanan pada suami tak aku anggap penting.
"Memangnya dia raja?"
"Ah, sudah segede itu. Harus mandiri dong!"
"Mmm.., yang benar aja. Kitanya grasa-grusu tiap pagi di dapur, eh dianya nyantai gegoleran di kamar. Pegang ponsel pula"
Aku terus saja berkilah. Apalagi setumpuk bacaan keren tentang kesetaraan gender yang salah kaprah telah banyak yang ku lahap.
Aku menjadi semakin "songong", sampai kemudian satu episode peristiwa tak terlupa menjadi titik balik perubahan. Beruntung aku tersadarkan tentang kodrat. Bagaimana agama ini begitu memuliakan wanitanya. Satu demi satu dari nasihat tersebut coba aku jalankan.
Hasilnya? Dahsyat nian. Bisa saja uang belanja menjadi bertambah berlipat-lipat. Hihihi... Eh tapi ingat juga bahwa keberhasilan tidak selalu hadir dalam bentuk materi.
Coba sajalah jika tak percaya. Bismillah. Kemudian perhatikan keajaibannya.
Mari senantiasa belajar kawan, menundukkan diri dari segala hasrat kesombongan yang marak menemani hari-hari kita dewasa ini. Pantas saja Allah menaikkan derajat mereka yang berilmu. Menerangi jalan hidupnya dalam limpahan cahaya keberkahan.
Karena ternyata, tanpa pemahaman yang baik pada agama ini. Kita mudah terjerembab jatuh pada kebodohan yang halus menyelinap ke dalam dada hingga bertumpuk menjadi racun yang siap menggerogoti habis segala kebaikan.
Maka, bersinarlah dalam rengkuhan cahaya ilmu, kawan!
***
Nb. Tulisan ini terinspirasi dari foto seorang suami yang tanpa beban di pagi hari terlelap kembali dengan bayinya dipelukan.
Ajaibnya, yang mengambil foto tersebut adalah istrinya. Sosok yang dulu uring-uringan dan menjadi bertanduk kalau melihat suaminya santai banget pagi-pagi ditengah kehebohan menyiapkan anak-anak ke sekolah.
Banda Aceh, 15 September 2019Fri Okta Fenni
36 notes · View notes
karnotaniaji · 4 years
Text
Urusan Corona, Persoalan Bersama
Tumblr media
Persoalan pandemi virus Corona telah membawa manusia di seluruh dunia, jalani gaya hidup baru. Melampaui batas dari bencana alam, menjelma jadi ikon sebuah wabah penyakit terbesar pada tahun 2020. Sampai-sampai Mostafa Keshvari, merasa tidak ragu-ragu lagi menuntaskan film terbarunya yang bertema Corona.
Menceritakan tentang bagaimana perjuangan dalam menyelamatkan orang-orang yang dicintai, semoga peranan Traei Tsai bisa mengangkat kualitas film indie Amerika, serta menjadikannya sosok kenangan bagi keluarga-keluarga kecil di seluruh dunia, baik yang merasa kehilangan maupun pernah berjuang, melawan; soal betapa bahaya, sebuah virus yang bernama Corona (Covid-19) bagi kesehatan, bagi kehidupan umat manusia. Bersama Emy Aneke, memerankan tukang reparasi lift. Zarina Sterling, sebagai wanita milenial. Richard Lett, sebagai supremasi kulit putih di kursi roda. Andrea Stefancikova sebagai sang istri berambut pirang. Josh Blacker, sebagai pemilik gedung, dan jangan lupakan pula, Andy Canete.
Bergeser dari dunia film, menuju ke fakta riil di dunia nyata. Kini rasa-rasanya memang sudah saatnya mulai pakai masker, sudah bukan lagi anak kecil; yang harus terus-menerus diingatkan berulang kali untuk menjaga kebersihan diri, termasuk semenjak bangun tidur. Mata terbuka, sigaplah kiranya cuci muka, menyegarkan wajah yang kusut. Corona (Covid-19), bukan ihwal mudah bila dianggap remeh temeh.
Keberadaan virus Covid-19 di udara, Bung. Tak kasat mata! Bukan melulu soal hebatnya daya tahan, kekebalan, atau anggaplah imunitas. Tapi ini soal kepribadian diri, untuk menjadi lebih berhati-hati karena tidak semua orang memiliki keberuntungan yang sama, dalam menikmati hidup. Ambil sikap aman, jaga jarak! 
Sama-sama bergerak, berlakukan di rumah, menjaga saudara dan keluarga. Menjaga kebersihan diri, berlakukan di lingkungan sekitar, saling mengerti dan memahami satu sama lain. Setidaknya, kita masih punya nurani untuk terus menumbuhkan harapan hidup, minimal bagi diri sendiri, demi bisa melihat hari esok, masa depan.
Sekali hirup, tersesap, virus yang masuk ke hidung, merusak jaringan saraf yang ada di otak, kepala pening tiada karuan juntrungnya. Kewaspadaan ditingkatkan, kesehatan tubuh, mari diutamakan. Sehat adalah barang yang mahal bukan? Tak hanya bagi yang lanjut usia, paruh baya, bahkan para pemuda pun tak urung jua; mengamini, sehat tak bisa dinilai dari sekadar masih bisa bernafas dengan normal. 
Melakukan aktivitas di rumah untuk meminimalisir rasa bosan, berolahraga, membaca buku, minimal bersederhana dalam segala hal, dalam segala tindakan. Cukup sesekali, boleh saja keluar dari rumah ketika situasi dirasa perlu/sangat darurat. Semisal urusan pekerjaan dan urusan belanja keperluan sehari-hari.
Bukan tanpa alasan, karena di Indonesia, pemerintah menyatakan secara nasional penambahan harian kasus positif Covid-19 yang telah mencapai 1.241 kasus, menjadi total 34.316 kasus. Angka ini mencatat rekor tertinggi penambahan harian kasus positif dari sebelumnya yang berada di angka 1.043 kasus. Kasus sembuh per hari Rabu (10/6/2020), bertambah 715 sehingga menjadi 12.129, sedangkan kasus meninggal mendekati angka 2.000 korban jiwa, yaitu sebesar 1.959 dengan kenaikan harian korban meninggal sebanyak 36 orang.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan ada 5 provinsi yang masih terdapat penambahan harian yang tinggi kasus positif Covid-19 di atas 100 kasus per hari. Diketahui, Jawa Timur sebanyak 273 kasus, Sulawesi Selatan 189 kasus, DKI Jakarta 157 kasus, Jawa Tengah 139 kasus, dan Kalimantan Selatan 127 kasus. Pada hari ini, pemerintah telah memeriksa sebanyak 17.757 spesimen hingga secara total tercatat 446.918 spesimen yang terkait dengan Covid-19. Jadi, apapun aktivitas yang sedang diberlakukan bagi diri, tetaplah dilakukan dengan penuh semangat, kehati-hatian, dan jaga diri supaya tetap sehat. Bersama-sama.
[*] Catatan: Lebih mengutamakan penggunaan kata "Covid-19" ketimbang kata "COVID-19". Karena kata "Covid-19" mencapai perolehan 4,69 miliar kali hasil pencarian hanya dalam waktu 0,46 detik. Selain itu, kata "Covid-19" juga dipakai secara masif di dua media terkemuka, CNN dan BBC.
1 note · View note
namakujingga · 4 years
Text
awalnya tak terbiasa dengan tekanan, berfikir kita tak akan bisa tiba pada tujuan jika tidak mampu menahan segala cobaan. sampai akhirnya paham, mencoba untuk membiasakan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.
setelah terbiasa dengan keadaan, kita lupa bahwa kita hanyalah manusia yang sewaktu-waktu bisa merasa kelelahan. lelah akan semua cobaan, tekanan, juga segala rutinitas kegiatan. lelah dipaksa oleh keadaan, bahkan hanya untuk sekedar bertahan.
memasuki saat dimana tak ingin mendengarkan balasan 'baru seperti itu, aku juga pernah merasakan' atau 'memangnya cuma kamu yang punya beban?!' yang malah terasa seperti mengadu seberapa berat penderitaan.
di waktu yang sama juga memasuki saat dimana kita hanya ingin didengarkan, tanpa perlu takut nantinya akan membebankan pikiran yang sedang mendengarkan. maaf saja jika terdengar arogan, sedang ingin cuti bertahan dan mengambil beberapa stok keegoisan.
Jingga. 200106.
3 notes · View notes
reomidea · 4 years
Text
Mereka yang Kita Sebut ‘Pemuda’ #1
Tumblr media
Tanggalnya berubah, tahunnya berganti, waktunya terlewat, tapi keresahannya tak ikut serta. Keresahan itu tetap tinggal di puncak malam hari ke 23 bulan Juli, selalu begitu. Keresahan kian menjadi saat bicara tentang anak, pendidikan dan kondisi para pemegang estafet perjuangan saat ini. Rasanya obrolan kemarin jumat bukan obrolan orang yang reuni setelah lama terpisah di tanah rantau. Obrolannya terlalu berat wkwk.
Lagi-lagi Anak. Saya pikir setelah melepas status kepengurusan di FAN Kabupaten 3th silam, saya tidak perlu berusrusan lagi dengan persoalan "anak", tapi beberapa alasan sering kali menahan saya untuk terus berpikir tentangnya. Bagaimana anak-anak akan terus tersenyum? Bagaimana anak-anak akan terus memiliki masanya? Bagaimana anak-anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik? Bagaimana anak-anak akan memiliki kehidupannya?
Ah, miris rasanya melihat potret anak di belahan bumi lain, saat darah seorang anak tak berdosa mengalir, saat jerit dan tangis anak terdengar hingga seantero dunia, dan tangan tidak mampu berbuat apa-apa.
Masih teringat jelas pagi itu, sebuah berita nasional, polisi menemukan jenazah bayi yang dibuang orangtuanya karena lahir diluar pernikahan. Meradang rasanya. Belum mereka yang mondar-mandir di jalanan; jualan koran, menjajakan asongan, bahkan memungut botol plastik untuk dijual. Ketika ditanya, "Kelas berapa?" mereka jawab, "Kelas 3 SD kak", "Gak sekolah dek?" mereka hanya menggeleng seolah semua akan baik-baik saja, ayah dan ibunya tidak akan marah, uang jajan malah bertambah. Ah mungkin benar apa yang dibilang mentorku dulu, sebaiknya tidak perlu ada lampu merah jadi tidak ada yang namanya anak-anak jualan, mengemis atau mengamen di jalanan 😅
Terkadang kita, orang dewasa, merasa cukup hanya sekadar memberikannya hak hidup, tapi anak lahir tidak dengan satu hak saja dan kita, orang dewasa, memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak lainnya; tumbuh & berkembang, berpartisipasi dan dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi (UU No. 23 Tahun 2002, 4 poin diantaranya diakui secara Internasional dalam Konvensi Anak 1989 dalam sidang Majelis Umum PBB ke-44)
Sosaku Kobayashi, kenal dia? Saya belum pernah bertemu dengannya, tetapi pria yang meninggal di tahun 1963 ini, berhasil membuatku cemburu karena cinta dan kepeduliannya kepada anak-anak. Dari metode pendidikannya, Mr. Kobayashi begitu yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh buruk orang dewasa. Beliau mencoba menemukan ‘watak baik’ setiap anak dan mengembangkannya, sehingga anak-anak tumbuh menjadi dewasa dengan kepribadian khas. Aku yakin, di mana-mana di dunia ini ada banyak pendidik yang baik (orang-orang yang punya idealisme tinggi dan sangat mencintai anak-anak) yang bermimpi bisa mendirikan sekolah ideal. Dan aku tahu betapa sulitnya mewujudkan impian itu.
Sabondama tonda, yane made tonda Yane made tonda, kowarete kieta Sabondama kieta, tobazuni kieta Umarete suguni, kowarete kieta Kaze kaze fukuna, sabondama tobaso (Sabondama- Noguchi Ujo, 1922)
Semarang, 24 Juli 2017
youtube
Sekarang, jika direnungkan lagi tulisan lamaku itu. Sebagai anak, err tidak mari kita sebut saja PEMUDA mulai dari sini, apa yang kita lakukan hari ini benar-benar akan berpengaruh pada kehidupan di masa yang akan datang. Aku mulai berpikir, dalam angka usia yang bisa dibilang usia matangnya yang disebut PEMUDA, apa yang bisa kulakukan? Karena jika bicara tentang kontribusi untuk bangsa dan negara bukannya akan lebih efektif mengawali dari 'individu'-nya? Lalu apa? Sampai hari itu datang, di mana mataku kembali disuguhkan data dan grafik kekerasan, kriminalitas, kematian, gangguan psikis dan sejumlah data lainnya yang di alami para pemuda tadi. Astaga diantaranya bahkan terjadi persis di sekitarku.
Para pemuda ini adalah manusia-manusia yang akan hidup di masa yang tidak akan pernah kita lihat, bukan begitu? Mereka adalah surat yang coba kita tulis untuk masa depan. Indonesia seperti apa yang ingin kamu lihat di masa itu? Dunia yang bagaimana yang ingin anak, cucu dan cicit-cititmu tinggali? Aku sih hanya beringin mereka tidak perlu pergi ke bulan untuk mencari hal yang mereka sebut keadilan. Itu saja.
3 notes · View notes