Text
Pernah berada di titik menjadi seseorang yang tidak berguna, tidak pantas dan begitu menyedihkan. Rasanya hanya ingin pergi, hanya ingin berlari, hanya ingin sendiri.
Bila ditanya kenapa sampai seperti itu ? Mungkin kita pun tak tau bagaimana menjelaskan jawabannya. Hanya bisa diam. Dan tetap menjalani hidup.
Pernah begitu takut tidak bisa menjadi sebab bahagia seseorang. Perasa sekali, sampai - sampai jatuh sendiri karenanya.
Rasanya hanya ingin mundur, tidak membebani, dan membiarkan diri hanyut dalam pemikiran diri sendiri.
Kala itu, tahun - tahun dimana usia terus bertambah mendekati kepala tiga namun tak juga terlihat kapan doa - doa perihal pasangan hidup akan terwujud.
Yang ku ingat, sampai pada saat aku memilih berserah, berpasrah pada Allaah bagaimana akan mengaturnya.
Hingga benar, di usia ke dua puluh sembilan bi idznillaahi ta'ala aku menikah, di usia dimana banyak dari teman - teman seusiaku telah jauh lebih dulu berumah tangga.
Nyatanya, bukan tentang siapa yang lebih dulu, bukan pula tentang memaksa Allaah menyegerakan apa yang menjadi pinta, apalagi merasa lebih mengetahui. Nyatanya, waktu terbaik itu Allaah telah mengaturnya.
Dan lantas tak selesai begitu saja, sebab setelah menikah episode kehidupan baru itu dimulai. Sebagaimana kita mengerti, kita akan mengarungi samudera kehidupan, yang ternyata ujian - ujiannya tak seperti saat sendiri bukan ? :')
Namun, sama seperti saat - saat sebelumnya, semoga hari - hari selanjutnya, kita senantiasa berharap pada pertolongan Allaah ya ♡
Jangan sampai merasa mampu melaluinya sendiri. Sungguh, pernikahan itu bukan tentang seberapa angka usia kita. Bersyukur pada setiap fase perjalanan hidup kita ya, semoga dengan demikian hati senantiasa dalam rasa tenang dan rasa cukup.
Laa hawla wa laa quwwata illa billaah.
165 notes
·
View notes
Text
saat usiaku bertambah satu angka lagi,
pernah aku membuat resolusi
ingin mencintai diriku sendiri
demi pribadi yang lebih baik lagi.
langkah pertamaku adalah belajar untuk mulai mensyukuri hal yang telah tuhan anugerahi. juga sebagai bentuk menghargai setiap nilai kecil yang ada pada diri.
perlahan aku mulai sadari,
semua hal yang dulu sempat ku inginkan
bukanlah apa-apa saat aku sudah terbiasa dengan yang namanya mensyukuri.
menjelang usia baru lagi,
tuhan membuatku menyadari bahwa segala kegilaan tentang duniawi, juga standar-standar yang tidak manusiawi mampu menyakiti. baik mental maupun hati.
tuhan juga akhirnya membuatku berdamai dengan masa lalu yang harusnya telah ku urai. membuatku akhirnya menerima apa yang telah ia beri, sekaligus merelakan apa yang sudah pergi. hal yang seharusnya sudah lama ku lakui. hal yang pernah teguh ku peluk walaupun aku tahu itu mampu menyakitiku lebih dalam lagi. memori.
kini semuanya telah usai,
terangkat sudah seluruh beban mental dan hati yang selama ini mencederai.
setelah ini aku akan tersenyum kembali
dan memulai semuanya dari awal lagi.
akan segera aku raih mimpi yang selama ini sulit ku gapai. juga akan ku lalui hidup penuh pelajaran yang harus selalu ku pelajari.
bukan hanya aku, tapi ku harap kita semua bisa lalui agar kita terus perbarui diri menjadi versi yang jauh lebih baik dari kita di hari ini.
–
Jingga. ditulis 191228 teruntuk 191229.
#jingga#tentang jingga#tulisan jingga#tulisan#usia#standar manusia yang tak manusiawi#menjadi diri sendiri#resolusi#lebih dari sekedar ekspektasi#bertambah usia tak hanya tentang angka#tentangkita#tentang aku#tentangkehidupan#apa adanya#pergi#dari jingga yang sering gamang#jingga yang beranjak dewasa#pelajaran hidup#hati#bersyukur#nilai diri#menghargai#tentang mengikhlaskan#ikhlas#menerima#menerima apa yang telah tuhan beri#mensyukuri apa yang telah dimiliki#melepaskan#melepaskan apa yang telah pergi#melepaskan apa yang seharusnya sudah terlepas
28 notes
·
View notes
Text
BERANJAK DEWASA
Sebuah percakapan serius oleh @nonaabuabu dan @kkiakia
pict by pinterest
Aku pikir dahulu dewasa adalah tentang angka usia yang terus bertambah dan masalah hidup yang mengikuti arus air. Mengalir apa adanya. Seiring waktu, aku sadar menjadi dewasa tidaklah mudah. Bukan soal perkara angka, bukan soal tubuh yang terus menua, tapi soal hati yang semestinya pandai berlapang dada, menerima, memaafkan, memaklumi dan menghargai segalanya. Nyatanya, aku tidak pernah benar-benar dewasa.
Aku pernah ada di titik memaknai dewasa soal cara menyikapi semua hal dengan bijaksana, dimana orang orang dewasa tahu benar menempatkan semua hal pada tempatnya. Namun setelah aku berada di usia ini, bertemu dengan semua dewasa lainnya, dewasa tak ubahnya hanya kosakata. Faktanya kita tak bisa menyikapi semua hal dengan sama bijaksananya.
Y : Kok ya aku jadi bingung dewasa itu gimana, aku merasa nggak dewasa Ki. Aku sebenarnya orang yang merasa punya fase bolak balik dalam bertumbuh. Kadang aku keki dengan sikap kekanakan orang di sekitarku, kadang lain aku merasakan perasaan kekanakan. Sebenarnya dewasa itu apa menurutmu Ki?
K : Menurutku ya mba, dewasa itu sesuatu hal yang abstrak dan tiap detik kita selalu belajar buat dewasa dan gak akan pernah selesai gitu. Kadang juga aku ngerasa kekanakan, tapi pada beberapa masalah yg kuhadapi aku merasa aku dewasa. Dewasa itu kalau secara pikiran dan perasaan menurutku adalah kita mampu menurunkan ego mba. Ga kalap sendiri kalo berambisi dan kalau emosi masih bisa kontrol amarah kita.
Y : Orang bilang aku dewasa, tapi kalau dewasa kayak aku, aku merasa dewasa itu bukan sesuatu yang bagus buat jiwa. Maksudnya gini, kayak menurunkan ego yg kamu bilang, aku emang cenderung gitu tapi cenderungnya kadang keterlaluan, akunya malah jadi nggak berambisi. Aku sering berpikir, yaudah gapapa selama yg lain senang aku ngikut, tapi belakangan jadi sadar, enggak gitu aku juga harus senang.
K : Iya sih mba, aku juga ngerasa. Sisi ego kita tuh kadang mau diberi makan juga, kayak pengen menang. Jadi menurut mba, apakah setiap orang yg sudah tua itu adalah orang dewasa?
Y : Iya Ki, tapi mungkin usia tua yang dimaksud disini bukan kita yang dewasa muda ya, setidaknya 30+, diluar yang memang istimewa aku anggap mereka dewasa bukan cuma soal usia tapi pasti ada satu dua aspek dalam diri mereka yang mereka dewasa menyikapinya. Karena kalau dewasa itu harus dinilai dengan bisa menyikapi banyak hal dalam semua aspek, aku rasa kita nggak ada yang dewasa. Kalau menurut kamu gimana? Apa kalau nggak dilihat dari usia, anak anak memungkinkan untuk disebut dewasa?
K : Setuju sih mba, karena kadang setua-tuanya orang masih ada sisi anak-anaknya. Prespektifku masih sempit sih soal dewasa pada orang tua. Aku lebih memandang dewasa itu mampu memaklumi, luas hatinya bersabar dan tidak egois gitu. Kayak ortu ke anaknya. Aku bingung juga sih, kadang kan ada anak-anak yang hidupnya keras mbak. Misal hidup di jalanan gitu. Punya banyak sodara dan jadi tulang punggung bantu keluarga. Kayak dia kehilangan masa anak-anaknya karena cari uang. Itu dewasa ga ya?
Y : Mungkin dewasa dalam bersikap di setiap fase usia beda beda kali ya. Misal di usia 20 dengan masalah a dengan penyelesaian b itu bisa disebut dewasa. Tapi diusia 25 dengan masalah a penyelesaian b itu masih kekanakan, udah seharusnya penyelesaiannya c. Jadi kayak anak-anak yg masih kecil dan menurunkan egonya buat bantu orang tua, itu dewasa untuk seorang anak anak diusianya. Tapi di usia kita membantu orang tua adalah peran yang memang harus kita ambil, kita butuh lebih dari itu biar bisa disebut dewasa.
K : Iya mba, kadang kan cara menyelesaikan masalah gitu. Pas kita pake plan B di usia 20. Pas usia 30 ada problem yang serupa. Nah pengalaman usia 20 dengan problem dan plan itu akan jadi intropeksi tersendiri kayak untuk lihat kemarin-kemarin aku kurangnya dimana, gitu menurutku. Soal anak kecil yang jadi tulang punggung tadi mbak, maksudnya kayak emang keadaan hidup dia berbeda dan porsi yang dia ambil emang harus segitu biar tetap hidup gitu kan?
Y : Dan dengan dia mengerti dia itu berbeda jadi harus menjalani sesuatu yang nggak umum kayak orang lain tapi dia terima dan paham bisa kita sebut dewasa kan Ki. Tapi coba ya kita lihat sisi lain, dia kehilangan momen masa kanak-kanaknya kayak yang lain, and one day saat dia udah selesai dengan masalah ini bukan nggak memungkinkan sisi kekanakannya baru muncul tapi di aspek yang berbeda, padahal dia udah memasuki usia yang dewasa. Itu kenapa menurut aku, kalau dewasa itu harus bisa menempatkan segala hal pada tempatnya, maka kita nggak ada yang dewasa, akan terus ada salah dan akan ada yang terus kita perbaiki.
K : Iya betul setujuuu, karena dewasa berkolerasi sama sifat kita yang ga sempurna yah mba. Selalu ada salah, selalu ingin memperbaiki. Dan ada yang selalu kita ajak berdamai dengan kesalahan, yaitu diri kita sendiri.
Dipisah Khatulistiwa, 04 Januari 2021.
211 notes
·
View notes
Photo
Surat Untukmu #14
Dua Lima ke Dua Empat
Aku belum menemukan hadiah yang paling kekal selain doa dan kasih sayang. Kasih sayang juga tak kekal apabila tidak diiringi komitmen untuk saling menyayangi. Seribu puisi juga mungkin tak mampu untuk membuat hari kelahiran nampak spesial. Apakah makna ulang tahun menjadi sangat janggal jika tanpa ucapan?
Kita tidak pernah bertambah usia, setiap bertemu dengan tanggal dan bulan hari lahir itu, sejatinya justru kita akan semakin dekat dengan sang waktu. Menghabiskan jatah usia di bumi, tinggal kau ingat-ingat saja, selama ini sudah mengumpulkan bekal sejauh apa...
Aku tahu, pasti perjuangan menuju titik baru mu itu penuh liku, penuh usaha keras yang menjadikanmu seseorang yang utuh. Membuktikan bahwa menjadi makhluk-Nya di bumi tidak serta merta hanya berdiam diri saja. Berjuang dan bertahan dengan segala amunisi terbaik...
Dititik lembar terbaru jumlah usia mu ini, semoga yang sedari dulu aku semogakan semoga menjadi dekat. Jangan kau tanya apa saja semoga itu, banyak, sampai kadang aku malu,merasa aneh karena bahkan tidak pernah mendoakan diri sendiri tentang hal itu...
Sejatinya tahun tidak pernah berulang, karena dia adalah satuan waktu yang tidak berjalan mundur. yang berulang hanya deretan angka penanda hari dan bulan, berputar dari satu hingga menemui angka usia mu saat ini...
Untukmu, selamat sudah menemui dua lima yang ke dua empat. Ucapkanlah terima kasih dan bersyukur pada diri, semoga engkau selalu berada di jalan yang tepat dan menjadi seseorang yang sama seperti apa yang aku kenal dahulu...
Dari aku, yang masih belajar menjadi pantas untukmu...
25 Oktober 2020
10 notes
·
View notes
Text
Mengapa
Banyak dari keluarga, kenalan, teman, bahkan orang asing berbasa-basi menanyakan hal tentang pasangan.
“Mana pacarnya? Kok ngga diajak?”
“Mbaknya pasti sudah ada yang siap nganterin ya?”
“Masnya pasti beli kado buat pacarnya?”
“Mana nih gandengannya? Kok sendirian?”
Pertanyaan diatas akan bertambah menyebalkan seiring banyaknya pertemuan..
Bertambah menyiksa dimakan naiknya angka usia.
Bertambah beban diselingi tuntutan,
Lalu kalau dijawab dengan senyum, berserta kata terlarang Belum. Entah belum punya, belum ada, belum ketemu ataupun belum nampak.
Mereka yang mengajukan pertanyaan akan kompak, serempak dan sontak bertanya kembali.
“Kenapa?”
Kemudian kita yang ditanya hanya bisa kembali bungkam. Memaksa kalah untuk membuat mereka menang dalam khayalan.
Padahal jika boleh dibalik, bukankah kami yang harusnya mengajukan pertanyaan?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Punya ada orang yang sedang berjuang mempertahankan setia penantian?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Ada terdapat hati yang habis patah tertolak?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Ketemu terisi orang yang sibuk mencari cintanya yang hilang?
Apakah mereka tahu, dibalik jawaban Belum Nampak ada orang yang selalu berdoa disepertiga malamnya untuk didekatkan jodohnya?
Lalu kenapa bertanya?
Mengapa mengajukan pertanyaan yang bahkan kami sendiri tak bisa menjawabnya?
Mengapa mengungkit luka kami?
Mengapa suka sekali mengiris hidup kami?
Ya. Mereka juga takkan tahu jawabannya.
#catatanpesan#judul : Mengapa#tulisan#indonesia#MusimGugur97#sastra#puisi#poem#poetry#love#hurt#life
3 notes
·
View notes
Text
Sudah Saatnya Berjalan, Tapi Jangan Buru Buru!!!!
Siang ini begitu menyengat, tapi tidak bagi Rusmini. Pagi, siang dan malam hidupnya akan selalu mendung, akan turun hujan tapi tidak pernah jadi. Menjadi seorang wanita karir dengan satu orang anak tidak mudah, Rusmini harus banyak membagi waktu antara mengurus anak, dan pekerjaan. Setelah menjadi ibu tunggal, Rusmini memang harus bangkit dan berjuang atas segala yang terjadi sekarang, juga nanti. Bagi rusmini tidak ada yang lebih bahagia dari hidup dengan kasih dan cinta, menyertai tumbuh kembang anak hingga menjadi kebanggaan orang tua. Rusmini bukan memilih untuk menjadi wanita karir, namun harus. Agar hidupnya dengan sang anak terus berjalan. Tidak berhenti. Ini bukan pilihan, sebab ini keharusan yang sakral. Terlalu banyak yang getir, hingga hanya untuk bekerja bukan lagi persoalan.
***
1998, Yogyakarta.
Rembulan di Yogyakarta masih sama, bersinar meski sesekali redup tidak di sengaja. Barangkali rumah yang di bangun telah usang atau runtuh, itu sebabnya banyak yang merayakan kesedihan dengan duduk manis di rumah sambil melihati gelapnya malam, termasuk aku. Hidup dengan seorang ibu yang menghidupi anaknya dari menjadi kupu-kupu malam. Hidup kami berkecukupan, tidak kurang sedikitpun bahkan lebih lebih. Rumah mewah, mobil, butik butik yang sudah memiliki cabang, semua di olah ibu sendiri dari hasil melucuti dompet para lelaki yang haus belaian. Ibu tidak pernah mangkal, atau menjajakan tubuhnya di pinggir jalan. Bahkan yang aku dengar, ibu tidak pernah ke sarkem atau sekedar main kesana. Ibu tidak memiliki germo, ibu berdiri sediri, hingga tidak banyak yang tau kalau ibu seorang gundik. Warga banyak yang hormat, sebab kekayaan ibu dan donasi ibu ke tempat tempat ibadah dan warga kampung yang miskin setiap bulan tidak pernah absen. Mungkin ibu bahagia begini, atau sebaliknya aku tidak pernah tanya. Aku hanya perduli aku adalah seorang anak yang lahir dari seorang Rahim wanita baik dengan lelaki baik. Biar waktu yang menjelaskan.
Senja membuat aku begitu terpesona, dengan kemerah-merahannya. Meski tidak semua senja hadir di setiap sore. Aku selalu menunggu senja, dengan bapak di pinggiran jalan malioboro. Bapak memang suka mengajakku kesana, setelah pagi hingga menjelang sore bapak menghabiskan waktunya memahat patung untuk di jual. Aku selalu menemani bapak bersama musik musiknya, mengambil uang recehan yang di beri secara sukarela dari orang orang yang lewat, berkenalan dengan orang-orang baru membantu Mas Burhan misalnya, melukis sketsa wisatawan yang ingin di abadikan momennya dengan mengambil harga secara sukarela juga. Semua serba sukarela, untuk sebuah karya seni banyak orang menganggap murah. Padahal dari itulah banyak orang menggantungkan hidupnya. Termasuk aku, bapak dan ibu. Hingga di senja ini, bapak masih dengan harmonica dan gitar yang tergantung di leher untuk terus mengumpulkan rupiah demi melanjutkan hidup dan meneruskan pendidikanku. Bapak memang begitu, aku tidak boleh berhenti sekolah. Hingga di bangku menengah atas, bapak ingin sekali anaknya mendapatkan Pendidikan terbaik, aku yakin uang SPP sebesar 10.000 rupiah terbilang besar jumlahnya. Bapak harus menabung dari sisa uang yang di buat untuk makan demi membuat anak tunggalnya memperoleh wawasan melebihi apa yang orang tuanya dapat. Di balik senyum dan rambut yang Panjang, bapak memilih untuk diam ketika berulang kali ibu menghabiskan uang bapak, membelanjakan sesuka hati, membeli kebutuhan tresier. Bapak memaklumi, sebelum membawa ibu ke Yogyakarya, ibu adalah wanita terkaya di desanya, wanita budha di kasta brahmana. Bapak membawa lari ke Yogyakarta sebab cinta kepada ibu sangat besar, ibu pun begitu. Namun cinta akan selalu kalah dengan kebutuhan, ada yang harus di penuhi. Bukan hanya dua, namun isi rumah dan tempat lindung. Menjadi seorang pemahat tidak membuat bapak bisa mencukupi kebutuhannya. Ibu tidak menuntut, namun bapak sendiri tidak ingin membuat wanita yang di cintainya terluka. Aku tidak tau urusan orang dewasa, tapi mau tidak mau, suatu hari aku akan menjadi wanita dewasa.
Sorenya, setelah senja kembali memerah. Aku memunguti sebagian harapan yang aku tuangkan bersama dengan beberapa tumpuk buku yang sengaja aku beli untuk menghidupkan aku kembali. Beberapa waktu sengaja aku buat begini, untuk tidak terlalu penuh. Aku jatuh kembali setelah patah hati pertama kehilangan bapak. Memasuki tahun terberat hilang tidak membuat aku takut, justru bersama membuat aku begitu gila. Burhan, namun aku memanggilnya dengan sebutan Semesta. Tubuhnya yang tinggi semampai dengan rambut gondrong dan kumis tebal yang di miliki membuat aku ingin sekali berlama-lama dengannya. Semesta menyembunyikan berbagai persoalan di antara titik titik yang di gambar lewat kertasnya sampai aku dan semsesta tidak menjadi satu rumah. Sejak pernikahanku dengan lelaki pilihan ibu, semesta terus menjadikan aku wanita paling istimewa bercerita segala keluh kesah yang menumpuk di kepalaku. Baginya aku akan tetap menjadi seorang wanita keras kepala yang menetap di hatinya, tanpa tapi, tanpa alasan, dan selalu begini.
Lelaki pilihan ibu memang tidak kurang dari segalanya, harta, tahta dan ketampanan. Namun satu hal; lelaki pilihan ibu tidak memiliki sprema yang kuat untuk menembus indung telurku. Hingga di angka 4 tahun pernikahan, kami masih berdua tanpa tambahan anggota baru. Waktu itu aku ingat jelas, setelah menghabiskan banyak minum dengan Burhan, aku mampir di huniannya yang penuh dengan kanvas, sesak tapi aku menyukai yang begini. Aku mengaku, aku manusia gagal. Menjadi istri orang namun memilih hidup dengan lelaki lain. Suamiku tidak masalah, asal ketika suami pulang, aku sudah harus di rumah, melayaninya sebagaimana seorang istri yang baik pada umunya. Entah, pernikahan macam apa ini. Mau tidak mau hidup harus terus berjalan begini, suka tidak suka.
Malam itu seperti biasanya, aku harus pulang sebelum jam 10 malam, sampai di rumah dengan cantik, tubuh yang wangi dan menyediakan makanan untuk di lahap berdua. Sebelum jam 10 , aku telah berkemas, bergegas merapikan baju dan tubuh yang masih telanjang. Membenahkan rambut untuk selalu terlihat rapi. Semesta memang selalu membuat aku kuwalahan. Tubuhnya yang begitu aku cinta dan harumnya yang selalu aku rindukan sebagai pertanda bahwa dengannyalah aku bisa melewati hidup yang sulit ini. Sampai di rumah, aku selalu menyiapkan segala keperluan suamiku dengan baik. Namun ada yang aneh, suamiku pulang lebih awal. Duduk di sofa dan menungguku dengan senyum yang tipis.
“Ada yang harus kita bicarakan.” Begitu kalimatnya menyapaku.
Aku duduk di sampingnya dengan nafas yang sedikit gemetar. Baru pertama kalinya suamiku pulang lebih awal begini.
“Aku butuh seorang anak, suruh Burhan menghamilimu.” Kalimatnya tegas tidak pernah terbata-bata.
“Hah, kau gila. Pasti Burhan tidak mau, ini urusan darah dagingnya.”
“Selama ini, aku rela kau tidur dengan lelaki itu, aku rela istriku di bagi. Aku hanya minta seorang anak, salah ?”. Suamiku pergi menuju kamarnya, membawa banyak harapan yang di tumpahkan ke aku. Hari ini tidak ada makan malam. Tidak ada bercerita panjang di meja makan tentang apa yang terjadi pada hari ini.
***
Senja saja tidak pernah bisa di tebak kapan akan muncul atau kapan akan menghilang. Senja begitu rahasia. Setiap datangnya selalu menjadikan sebuah kerinduan. Sejak aku hamil, tubuhku semakin kurus mengering, hanya perutku yang membuncit. Di usia kandunganku 3 bulan, aku mendapati Burhan di bunuh di kamar kostnya. Tubuhnya di temukan penuh dengan lupa cabik. Polisi telah menyelidiki, namun sampai kini belum ada kejelasan siapa pelakunya. Aku telah kehilangan 2 lelaki terbaik, bapak dan Burhan. Pemilik dari janin yang ada di kandunganku ini. Aku dan Burhan sepakat, setelah bayiku lahir, kami akan pergi jauh. Berdua. Meninggalkan suamiku dan juga Yogya. Bersembunyi-sembunyi begini sangat tidak enak dan butuh gelisah yang cukup besar. Kematian Burhan memang sangat janggal, hingga di kelahiran anakku, polisi belum juga bisa menyelesaikan kasus pembunuhan yang terjadi pada seorang seniman yogya di kamar kostnya. Aku hampir kehilangan harapan, ingin menuntut keadilan namun polisi akan bungkam dengan uang.
Anakku tumbuh dengan cinta kasih yang penuh, dengan kasih dan sayang yang luar biasa. Suamiku begitu bahagia. Dari awal hingga anakku berkembang, suamiku telah menemani aku begitu luar biasa. Cinta dan kasihnya semakin bertambah setiap harinya setelah kepergian Burhan, namun luka di dadaku di tinggalkan Burhan tidak akan bisa sembuh. Tak lama dari itu, suamiku meninggal akibat serangan jantung. Mobil jenazah yang di kawal oleh polisi khusus mendatangi rumahku dengan embawa peti berisi suamiku. Kataya suamiku di temukan tewas sewaktu perjalanan dinas ke Bali. Usia anakku baru 5 tahun. Dan aku harus menanggung beban terberat kehilangan orang orang yang menyayangiku. Remuk ? jangan di tanya lagi. Beberapa kebenaran aku dapatkan sekarang. Aku menemukan beberapa foto dan sim card baru di laci kamar milik suamiku. Setelah aku memandangi dengan seksama, seperti tidak asing dengan dua orang yang berada pada gambar. Memang sudah sedikit using, tapi aku yakin penglihatanku tidak salah. Ibuk terlihat cantik dengan rambut tergerai. Aku ingat ibu memiliki rumah di Bali yang di biarkan kosong tidak berpenghuni. Dan suamiku sering sekali melakukan perjalanan dinas ke Bali. Entah sejak kapan. Tapi benar, suamiku memiliki hubungan khusus dengan ibuku. Tubuhku kelu, nyaris tidak memiliki energi. Sudah puluhan tahun aku memang tidak bertemu dengan wanita yang melahirkan aku. Bukan tidak mau, namun ibu tidak ingin di temui pasca aku menikah dengan suamiku.
Siapa sangka, kalau pilihan memang harus di buat untuk menunjukkan seberapa besar kita mencintai seseorang. Aku tau hidup ini bukan hanya aku saja yang menderita. Ada banyak kepala yang memiliki pemikiran yang jauh lebih baik dari aku, ada banyak hati yang memiliki perasaan lebih kuat dari aku. Aku memilih untuk mengasuh anakku sendiri, tanpa kawin. Menikmati setaiap inchi tubuh yang terus tumbuh meski tidak setiap hari bersamanya. Bagiku tidak ada ibu yang gagal melahirkan seorang anak, yang ada hanya ibu yang gagal mensyukuri itu, dan semoga aku bukan bagian dari itu. Aku mencintai anakku yang begini, aku mencintai hidupku yang begini. Tidak ada yang lebih indah dari senja yang kemerah merahan. Sudah saatnya berjalan, tapi jangan terburu buru. Pilihan harus di buat dengan cerdas, agar semua Langkah tidak menjadikan kita manusia yang paling bersalah. Aku tidak pernah menyesal tidak menikah dengan Burhan,bahkan aku juga tidak menyesal telah menikah dengan suamiku. Tidak ada penyesalan yang harus aku lakukan, sebab hidup begini; berjuang dan terus berjuang adalah pilihan yang aku buat. Mau tidak mau aku dan anakku harus tetap hidup. Semoga Ibu, Burhan, dan suamiku selalu dalam lindung cinta kasih Tuhan.
Rina.Elfatah
11 notes
·
View notes
Text
Target (Pergantian) Tahun(an)
Tidak terasa tahun 2019 sudah mau berlalu meninggalkan kita. Ya meski pergantian tahun (masehi) bukan suatu hal istimewa, setidaknya ini berlaku untuk saya.
Rasanya kita (saya aja deh ya :P) terlalu sering membuat target setiap kali akan berganti tahun.
“Tahun depan aku mau ini...”
“Tahun depan aku harus itu...”
“Tahun depan.... de el el”
Banyak hal yang harus di evaluasi. setidaknya di dalam diri ini.
Setiap tahun membuat target, apa iya sudah berusaha bersungguh sungguh mengupayakan target itu ?
Setiap tahun sibuk merakit mimpi baru, apa iya sudah berupaya sekuat tenaga agar mimpi itu terwujud ?
Dan di tahun 2019 ini, saya nggak ingin membuat target apa-apa di tahun 2020. Sebab saya tidak tahu apakah tahun 2020 nanti saya masih hidup atau sudah pindah di alam lain. Saya hanya ingin menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Alloh. Itu saja. Dan itu bukan sebuah target tahunan, tapi target saya setiap detik yang harus saya upayakan sekuat mungkin. Harus saya perjuangkan sekeras mungkin. Tentang bagaimana cara saya merealisasikannya, biarlah itu menjadi rahasia manis antara saya dan Alloh saja.
Kamu yang berkenan membaca tulisan ini boleh tidak setuju dengan tulisan ini, tentu saja. Sebab tulisan ini pertama kali saya tujukan untuk diri saya pribadi.
Bagi saya, pergantian tahun adalah berkurangnya umur kita setahun. Berkurangnya jatah hidup kita setahun di dunia. Dimana angka usia semakin bertambah, tapi kebaikan dalam diri tak jua menunjukkan progress berbenah.
Mengevaluasi diri/ meng-hisab diri selama setahun belakangan. Kebaikan atau keburukan yang lebih banyak kita kerjakan. Barangkali ada hal buruk yang luput kita sadari dan kita abai. Coba di ingat-ingat kembali, lalu di taubati.
Barangkali itu saja tjurhat saya hari ini.
Oh iya... saya berharap di setiap waktu untuk selalu dipertemukan dengan orang-orang yang baik dan membawa saya pada kebaikan pula. Dan Alloh berikan rasa syukur dan sabar yang lebih luas untuk diri saya.
37 notes
·
View notes
Text
Bayi 0 hariku
Bayiku? Benar, bayi yang Allah SWT amanahkan kepada kami, aku dan suamiku.
Kebersamaan saat di dalam kandungan, kurang lebih 40 Minggu, berbagi banyak hal, mulai dari nutrisi makanan, hingga ragam warna perasaan. Aku dan bayiku bersama-sama ke manapun aku beranjak.
Memang, perihal rejeki usia mutlak di tangan Allah Yang Maha Kuasa, tapi rasaku sebagai Ibu "yang baru hari itu", tetap saja "drop", sebutlah rasa sedih yang manusiawi saat belum genap sehari bersama bayi yang semalam baru dapat kutatap langsung wajahnya dan kukecup sekali pipinya. Jam 8 pagi harus berpisah jarak.
Bayiku dirujuk menuju rumah sakit berbeda dengan tempatku melahirkan. Bayiku berangkat menggunakan ambulance menuju RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) di pusat kota, yang terdapat peralatan lebih memadai untuk memulihkan kondisi bayiku. Bayiku tidak sakit, hanya saja menurut penuturan pihak rumah sakit, terjadi aspirasi mekonium (tersedak air ketuban yang sudah bercampur dengan kotoran bayi sendiri saat di dalam rahim), tapi juga ada indikasi kelelahan yang di alami bayiku karena proses melahirkan yang hampir 24 jam sejak awal darah keluar dari jalan lahir. Saat lahir, bayiku menangis nyaring, aku melihatnya. Dua jam setelah lahir, sudah dibawa ke ruang perawatan tempatku berada, dan dari informasi perawat yang mengantarkan, ritme nafas bayiku belum stabil, tapi bisa dicoba untuk IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Tapi tak disangka, bayiku yang semula diam dan tertidur, malah menangis dan menolak untuk menyusu, hingga jam 02.00 dini hari kembali dibawa ke ruang bayi. Siapa sangka, shubuh suami diminta ke ruang bayi, dan ditawarkan rujuk untuk bayiku, karena ritme nafasnya masih belum stabil, sementara alat yang lebih canggih belum tersedia di RS tempatku melahirkan karena tergolong baru. Jam 08.00 pagi, bayiku benar-benar dibawa menggunakan ambulance menuju RSIA di tengah kota. Apalah daya, aku masih dalam pemantauan masa pemulihan, jadi hanya suamiku yang menemani bayiku. Sementara aku menyusul siang harinya setelah dinyatakan pulih dan boleh meninggalkan RS.
Setibanya di lokasi, aku disambut suamiku di depan gerbang IGD (Instalasi Gawat Darurat). Rasanya sudah tak karuan, tapi aku harus berusaha biasa saja, karena diantar oleh keluargaku. Selanjutnya, hanya aku dan suamiku yang boleh masuk. Hanya orang tua bayi yang boleh masuk ke NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Setibanya di depan ruangan kami memakai pakaian pelindung dan mencuci tangan, lalu masuk ke ruangan tempat bayiku dipulihkan. Aku menyebutnya dipulihkan, karena bayiku tak sedang diobati, hanya dipasang selang oksigen dari tabung bertekanan yang dapat diatur dan disesuaikan tekanannya dengan kebutuhan. Bayiku sehat, itu yang selalu kupegang, kuyakini. Bayiku hanya perlu dipulihkan, karena memang tak ada satupun obat yang diberikan selama pemulihan.
Setibanya di ruangan, sebutlah lebay atau alay, tapi lututku lemas, air mata langsung menetes tanpa permisi, ya Allah, bayi 0 hariku, sedang berbaring tertidur seorang diri ditemani tabung oksigen berukuran besar dan suara monitor untuk mengontrol kemajuan pemulihan yang dilakukan. Tak ada obat ataupun tindakan lain, selain selang oksigen di hidung dan infus di tangan, karena ternyata hari itu bayiku harus berpuasa dari ASI ataupun Sufor. Jiwa emak Newbie ku benar-benar protes, tapi astagfirullah, bukankah semua nyawa dalam genggaman Allah dan keselamatan murni kuasa Allah.
Bayiku hanya seorang diri di ruangan itu, karena di NICU dipisahkan ruangan bayi dengan diagnosa yang berbeda. Bayiku ditemani mba-mba perawat yang bergantian shift selama 24 jam, dan dikunjungi dokter jaga per sekian kali per harinya.
Hari pertama, kulihat bayi 0 hariku berpuasa, untuk membersihkan paru-parunya. Bayiku hanya dikasih dot kosong untuk menenangkannya saat menangis. Bayiku tidak dehidrasi karena terpasang selang infus di tangan kanannya yang mungil, ah lagi-lagi, tangisku pecah.
Hari kedua, aku menyimpan harap bayiku bisa kugendong pulang. Aku belum menggendongnya, karena malam itu masih pemulihan, aku baru mengecup pipinya nya sekali dan memangku saat IMD malam kelahirannya. Bayiku sudah boleh buka puasa, namun hanya 10ml sufor (saat itu aku belum pumping karena belum tau bayiku akan buka puasa). 10ml sangat sedikit dan diberikan per sekian jam, namun saat bayiku menangis kembali diberikan dot kosong. Pemulihan masih berlanjut, karena angka di monitor masih belum sesuai harapan.
Hari ketiga, aku tak berhenti berharap, agar bayiku bisa pulang besama kami. Allah, kondisi bayiku belum memihak, lagi-lagi harus ikhlas untuk tetap tinggal. Jujur aku drop, namun aku harus logis, bayiku membutuhkan bantuanku, dan ada 1 hal yang bisa kulakukan yakni memberinya ASI. Akupun mencoba pumping dan meski awalnya hanya sekitar 2 sendok makan, namun bertahap bertambah. Kebutuhan bayiku juga masih dibatasi, jadi masih bisa cukup dan diantarkan oleh suamiku ke rumah sakit, karena kami sementara memang menginap di rumah saudara kami sekitar setengah jam dari sana. Angka di monitor sudah sesuai harapan pada sore harinya, Alhamdulillah, semoga besok bisa pulang, dengan alasan harus mendapat izin medis dari dokter jaga.
Hari keempat hingga hari keenam, bilirubin anakku sangat tinggi (katanya), yakni diangka 16, sementara normalnya 10, agar bisa turun dengan cara dijemur di matahari pagi selama sekitar setengah jam setiap harinya. Awalnya kami ingin nekat membawa pulang bayi kami di hari ke empat, namun dokter belum bisa memberikan keterangan medis bahwa bayi kami siap dibawa pulang karena masih harus fotoscreen selama 3 hari ke depan. Kalaupun kami memaksa, maka statusnya pulang paksa dan kami harus menandatangani surat yang intinya pihak rumah sakit berlepas tangan apabila ada hal-hal yang terjadi di luar harapan karena kepulangan terpaksa bayi kami.
Benar, selama enam hari itu, yang bisa kulakukan hanya mengucap salam setiap memasuki ruangan bayiku, melantunkan ayat suci Al-Quran, mengajaknya mengobrol, menatapnya, menyentuhnya sesekali, dan menenangkannya saat menangis. Hanya itu.
*Ketika harapan tak bersanding lurus dengan yang ditakdirkan*
Harapan bunda, saat pertama pulang dari RS, cinta akan mendengar murattal Al-Quran bersama bunda di rumah, tapi takdir berkata lain, cinta harus mendengar suara monitor.
Harapan bunda, saat pertama pulang dari RS, cinta bisa bobo di samping bunda, berada di sekitar keluarga kita, tapi takdir berkata lain, cinta harus tidur sendiri, dan berada di sekitar tabung oksigen bertekanan tinggi itu.
Harapan bunda, cinta tidak perlu pakai popok sekali pakai dulu sampai 2 bulan, biarlah bunda cuci popoknya setiap hari, tapi takdir berkata lain, cinta sudah harus pakai popok sekali pakai sejak hari pertama.
Harapan bunda, cinta akan sering mendengar suara bunda yang cerewet, secara langsung, sejak hari pertama pulang dari rumah sakit, tapi takdir berkata lain, cinta mendengar banyak suara perempuan, ibu perawat dan ibu dokter yang datang secara bergantian, sedangkan suara bunda, hanya sesekali mengucap salam, ngaji, atau ngobrol sejenak.
Harapan bunda, wajah bunda yang akan paling sering cinta lihat secara langsung sejak hari pertama pulang dari RS, tapi takdir berkata lain, cinta banyak melihat wajah ibu perawat saat di ruangan.
Harapan bunda, biarlah bunda belajar sejak awal, tentang banyak "perintilan" mengurus cinta, tapi takdir berkata lain, bunda belum bisa mandiin cinta, gantiin popoknya cinta, pakein bajunya cinta, gantiin bajunya cinta, semua masih belum, selama 6 hari itu.
Harapan bunda, bisa memangku cinta, menggendong cinta, peluk dan cium cinta sesering yang bunda bisa, sejak hari pertama pulang dari RS, tapi takdir berkata lain, bunda baru bisa mencium dan menggendong cinta sebentar di malam pertama, sisanya bunda harus bersabar.
Sekian, cerita 6 hari pertama bayiku, ke depannya, harus terus kami syukuri kebersamaan kami, yang semoga Allah berkahi. Benar, kalau tentang usia, bukankah letak kuasanya bukan di tangan manusia?
*Ini murni curhatan pribadi dengan sudut pandang pribadi, jadi mohon maaf apabila terkesan berlebihan, atau terdapat kesalahan terkait beberapa istilah medis dan lainnya.
*Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan konten yang kurang jelas.
*Terimakasih admin telah meloloskan tulisan sederhana ini, semoga bisa menjadi pengingat bagi penulis sendiri, untuk mensyukuri anugerah yang diberikan Allah, berupa keturunan.
Emak Newbie, 09-07-2020
2 notes
·
View notes
Text
10 NASIHAT YANG PALING MENYEBALKAN
Kita tersadar menjadi tak lagi muda ketika terikat interaksi dengan mereka yang benar-benar belum tua. Siang itu aku dan kedua rekan terlibat percakapan yang menyenangkan. Satu dari mereka baru saja melangsungkan pernikahannya. Si pengantin barupun mulai buka suara.
"Ya ampun pagi kemarin aku dimarahi ibuku. Tahu gak kenapa?"
"Apaan?" Balas teman mudanya penasaran.
"Gara-gara suamiku menjemur handuknya dengan tangannya sendiri! Hla? Salahnya di mana coba? Handuk-handuk dia ya kan?"
"Hihihihi..." Sontak kami bertiga terbahak.
Diantara kami masing-masing usia pernikahannya ada di angka 2 minggu, 2 tahun, dan 13 tahun.
Jelas yang paling menikmati lelucon itu adalah aku. Sosok yang paling tua diantara mereka.
"Kak.. jadi 13 tahun kakak menikah, selama itu pula handuknya Abang, Kakak yang jemurkan?"
"Hwahahahaha" Kali ini aku tak tahan untuk tidak tertawa.
Pertanyaannya tak terjawab. Aku malah berlagak bijaksana menghujaninya dengan beberapa petuah.
1. Ini bukan hanya perkara handuk saja, kawan. Ada segelas air putih yang harus kau siapkan saat menyambut suamimu pulang. Dan ingat, itu harus gelas khusus. Orang lain jangan coba-coba menyentuhnya jika tak ingin ibumu murka lagi.
2. Pastikan temani dia makan walaupun kau tidak lapar. Jangan biarkan dia beranjak untuk mencuci tangannya sendiri. Kau sediakan tempat cuci tangannya. Dia hanya boleh beranjak ketika lapar dan dahaganya telah terpenuhi.
3. Rumah harus senantiasa bersih dalam pandangan suamimu. Hidungnya hanya boleh mengindera segala yang harum.
4. Rendahkan suaramu dihadapannya.
5. Sisirkan rambutnya. Ambilkan pakaiannya sehingga tak susah ia membuka lemari dan menemukan padanan yang sesuai.
6. Sepahit apapun keputusannya, patuhi.
7. Belajarlah memasak juga memijat, karena itu menguatkan cinta.
8. Perselisihan yang nanti kalian berdua alami, jangan kau umbar kemana-mana.
9. Dia sama seperti kau. Bukan malaikat. Maklumi segala "kemanusiaannya".
10. Terakhir, ketika dia hendak memejamkan matanya. Raih tangannya, mintalah maaf meski kau tak merasa bersalah.
Kesemuanya itu berpulang pada kau. Engkau camkan nasihat ini, harmonis hadiahnya. Kau abaikan, badai cek-cok cepat menghantam rumah tanggamu.
***
Asal kau tahu kawan, nasihat itu pernah aku anggap angin lalu. Aku merasa menjadi wanita paling malang yang menyandang gelar istri. Segala bentuk pelayanan pada suami tak aku anggap penting.
"Memangnya dia raja?"
"Ah, sudah segede itu. Harus mandiri dong!"
"Mmm.., yang benar aja. Kitanya grasa-grusu tiap pagi di dapur, eh dianya nyantai gegoleran di kamar. Pegang ponsel pula"
Aku terus saja berkilah. Apalagi setumpuk bacaan keren tentang kesetaraan gender yang salah kaprah telah banyak yang ku lahap.
Aku menjadi semakin "songong", sampai kemudian satu episode peristiwa tak terlupa menjadi titik balik perubahan. Beruntung aku tersadarkan tentang kodrat. Bagaimana agama ini begitu memuliakan wanitanya. Satu demi satu dari nasihat tersebut coba aku jalankan.
Hasilnya? Dahsyat nian. Bisa saja uang belanja menjadi bertambah berlipat-lipat. Hihihi... Eh tapi ingat juga bahwa keberhasilan tidak selalu hadir dalam bentuk materi.
Coba sajalah jika tak percaya. Bismillah. Kemudian perhatikan keajaibannya.
Mari senantiasa belajar kawan, menundukkan diri dari segala hasrat kesombongan yang marak menemani hari-hari kita dewasa ini. Pantas saja Allah menaikkan derajat mereka yang berilmu. Menerangi jalan hidupnya dalam limpahan cahaya keberkahan.
Karena ternyata, tanpa pemahaman yang baik pada agama ini. Kita mudah terjerembab jatuh pada kebodohan yang halus menyelinap ke dalam dada hingga bertumpuk menjadi racun yang siap menggerogoti habis segala kebaikan.
Maka, bersinarlah dalam rengkuhan cahaya ilmu, kawan!
***
Nb. Tulisan ini terinspirasi dari foto seorang suami yang tanpa beban di pagi hari terlelap kembali dengan bayinya dipelukan.
Ajaibnya, yang mengambil foto tersebut adalah istrinya. Sosok yang dulu uring-uringan dan menjadi bertanduk kalau melihat suaminya santai banget pagi-pagi ditengah kehebohan menyiapkan anak-anak ke sekolah.
Banda Aceh, 15 September 2019Fri Okta Fenni
36 notes
·
View notes
Text
awalnya tak terbiasa dengan tekanan, berfikir kita tak akan bisa tiba pada tujuan jika tidak mampu menahan segala cobaan. sampai akhirnya paham, mencoba untuk membiasakan adalah satu-satunya cara untuk bertahan.
setelah terbiasa dengan keadaan, kita lupa bahwa kita hanyalah manusia yang sewaktu-waktu bisa merasa kelelahan. lelah akan semua cobaan, tekanan, juga segala rutinitas kegiatan. lelah dipaksa oleh keadaan, bahkan hanya untuk sekedar bertahan.
memasuki saat dimana tak ingin mendengarkan balasan 'baru seperti itu, aku juga pernah merasakan' atau 'memangnya cuma kamu yang punya beban?!' yang malah terasa seperti mengadu seberapa berat penderitaan.
di waktu yang sama juga memasuki saat dimana kita hanya ingin didengarkan, tanpa perlu takut nantinya akan membebankan pikiran yang sedang mendengarkan. maaf saja jika terdengar arogan, sedang ingin cuti bertahan dan mengambil beberapa stok keegoisan.
–
Jingga. 200106.
#quotes#life quotes#tulisan jingga#tulisan#goresan tentang hidup#bertambah usia tak hanya tentang angka#standar manusia yang tak manusiawi#mari maafkan yang sudah usai#urai jerat memorinya#ikhlaskan yang terlepas dari pelukan#terima yang ada digenggaman#akan kamu rasakan penuhnya kebahagiaan#hidup#tentang hidup#pelajaran hidup#catatan hidup#kata cinta#sajak cinta#puisi cinta#tentang cinta#cinta#kata#kata kata#tentang aku#jingga#sajak patah#tentang skenario sang pencipta#pada senja yang membawamu pergi#pergi#menghilang
3 notes
·
View notes
Text
Mereka yang Kita Sebut ‘Pemuda’ #1
Tanggalnya berubah, tahunnya berganti, waktunya terlewat, tapi keresahannya tak ikut serta. Keresahan itu tetap tinggal di puncak malam hari ke 23 bulan Juli, selalu begitu. Keresahan kian menjadi saat bicara tentang anak, pendidikan dan kondisi para pemegang estafet perjuangan saat ini. Rasanya obrolan kemarin jumat bukan obrolan orang yang reuni setelah lama terpisah di tanah rantau. Obrolannya terlalu berat wkwk.
Lagi-lagi Anak. Saya pikir setelah melepas status kepengurusan di FAN Kabupaten 3th silam, saya tidak perlu berusrusan lagi dengan persoalan "anak", tapi beberapa alasan sering kali menahan saya untuk terus berpikir tentangnya. Bagaimana anak-anak akan terus tersenyum? Bagaimana anak-anak akan terus memiliki masanya? Bagaimana anak-anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik? Bagaimana anak-anak akan memiliki kehidupannya?
Ah, miris rasanya melihat potret anak di belahan bumi lain, saat darah seorang anak tak berdosa mengalir, saat jerit dan tangis anak terdengar hingga seantero dunia, dan tangan tidak mampu berbuat apa-apa.
Masih teringat jelas pagi itu, sebuah berita nasional, polisi menemukan jenazah bayi yang dibuang orangtuanya karena lahir diluar pernikahan. Meradang rasanya. Belum mereka yang mondar-mandir di jalanan; jualan koran, menjajakan asongan, bahkan memungut botol plastik untuk dijual. Ketika ditanya, "Kelas berapa?" mereka jawab, "Kelas 3 SD kak", "Gak sekolah dek?" mereka hanya menggeleng seolah semua akan baik-baik saja, ayah dan ibunya tidak akan marah, uang jajan malah bertambah. Ah mungkin benar apa yang dibilang mentorku dulu, sebaiknya tidak perlu ada lampu merah jadi tidak ada yang namanya anak-anak jualan, mengemis atau mengamen di jalanan 😅
Terkadang kita, orang dewasa, merasa cukup hanya sekadar memberikannya hak hidup, tapi anak lahir tidak dengan satu hak saja dan kita, orang dewasa, memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak lainnya; tumbuh & berkembang, berpartisipasi dan dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi (UU No. 23 Tahun 2002, 4 poin diantaranya diakui secara Internasional dalam Konvensi Anak 1989 dalam sidang Majelis Umum PBB ke-44)
Sosaku Kobayashi, kenal dia? Saya belum pernah bertemu dengannya, tetapi pria yang meninggal di tahun 1963 ini, berhasil membuatku cemburu karena cinta dan kepeduliannya kepada anak-anak. Dari metode pendidikannya, Mr. Kobayashi begitu yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak baik, yang dengan mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh buruk orang dewasa. Beliau mencoba menemukan ‘watak baik’ setiap anak dan mengembangkannya, sehingga anak-anak tumbuh menjadi dewasa dengan kepribadian khas. Aku yakin, di mana-mana di dunia ini ada banyak pendidik yang baik (orang-orang yang punya idealisme tinggi dan sangat mencintai anak-anak) yang bermimpi bisa mendirikan sekolah ideal. Dan aku tahu betapa sulitnya mewujudkan impian itu.
Sabondama tonda, yane made tonda Yane made tonda, kowarete kieta Sabondama kieta, tobazuni kieta Umarete suguni, kowarete kieta Kaze kaze fukuna, sabondama tobaso (Sabondama- Noguchi Ujo, 1922)
Semarang, 24 Juli 2017
youtube
Sekarang, jika direnungkan lagi tulisan lamaku itu. Sebagai anak, err tidak mari kita sebut saja PEMUDA mulai dari sini, apa yang kita lakukan hari ini benar-benar akan berpengaruh pada kehidupan di masa yang akan datang. Aku mulai berpikir, dalam angka usia yang bisa dibilang usia matangnya yang disebut PEMUDA, apa yang bisa kulakukan? Karena jika bicara tentang kontribusi untuk bangsa dan negara bukannya akan lebih efektif mengawali dari 'individu'-nya? Lalu apa? Sampai hari itu datang, di mana mataku kembali disuguhkan data dan grafik kekerasan, kriminalitas, kematian, gangguan psikis dan sejumlah data lainnya yang di alami para pemuda tadi. Astaga diantaranya bahkan terjadi persis di sekitarku.
Para pemuda ini adalah manusia-manusia yang akan hidup di masa yang tidak akan pernah kita lihat, bukan begitu? Mereka adalah surat yang coba kita tulis untuk masa depan. Indonesia seperti apa yang ingin kamu lihat di masa itu? Dunia yang bagaimana yang ingin anak, cucu dan cicit-cititmu tinggali? Aku sih hanya beringin mereka tidak perlu pergi ke bulan untuk mencari hal yang mereka sebut keadilan. Itu saja.
#anakindonesia#pendekarliterasi#marabumi#musikfolk#semiotikarasa#biru#jingga#pagi#senja#ngobrolagakserius#pemudaindonesia#future
3 notes
·
View notes
Text
Angka
Pertambahan angka usia membuat saya tidak lagi ingin merayakan angka-angka. Menua adalah kepastian dan keberadaan angka menjelma kesunyian panjang jika hanya berupa perayaan, terlebih kepada saya yang sebetulnya tidak mengagungkan pesta.
Tidak terikat pada perayaan angka melebar menuju sisi lain hidup yang teramat banyak. Bentuk lain yang saya lakukan hanya tenggelam di dalam keheningan dan bersyukur sedalam-dalamnya. Semesta membuka banyak ruang untuk menampung angka-angka yang semakin dihitung semakin tak akan pernah mampu membungkam rasa haus akan kepuasan di dalam diri. Angka mengandung candu, jika tidak cukup waras memahami keberadaannya maka tubuh akan terbelenggu. Selalu mencari angka, lebih dan lebih lagi. Batasnya akan sampai mana? Tidak akan terbaca.
Angka yang diizinkan untuk masih dan selalu bertambah adalah gambaran dari bagaimana diri memaknainya. Akankah lupa dan meninggi? Atau semakin ingat untuk merendah?
Membaca dan berhitung memang dua hal mendasar yang diterima manusia sejak dini. Kecakapan membaca keadaan diri pada apa yang mampu dihitung kemudian yang membedakan siapa yang bersedia untuk membumi.
Angka bisa jadi bicara tentang usia, materi, anggota, persentase, atau hal countable lainnya.
- ca
6 notes
·
View notes
Text
Garis Waktu
Kumpulan Kalimat Terpilih versiku dalam Garis Waktu (Fiersa Besari)
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan satu orang yang mengubah hidupmu untuk selamanya.
Semestaku sebelum kau datang adalah konstelasi yang sistematis; mengandung stagnasi yang konservartif. Dan kemudian kau datang. Kau menjadi seseorang yang memorak-morandakan jagat rayaku.
Jika kita berjodoh, walaupun hari ini dan di tempat ini tidak bertemu, kita pasti akan tetap dipertemukan dengan cara yang lain.
Jika ingin menetap, jangan menetap sebagai ‘tanda tanya’, tapi sebagai ‘titik’ pengembaraan.
Menyayangimu sangatlah mudah, aku bisa melakukannya berulang kali tanpa pernah merasa bosan. Yang sulit itu cara menunjukkannya.
Jangan takut melawan arus. Hanya karena tidak ada yang setuju dengan pendapatmu, bukan berarti pendapatmu salah. Pengagummu akan pergi setelah kau tak sesuai lagi dengan imajinasinya, tapi orang yang menyayangimu akan tetap tinggal betapa pun buruknya dirimu. Dan diterima apa adanya tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain, itu indah.
Sekuat-kuatnya seseorang memendam, akan kalah oleh yang menyatakan. Sehebat-hebatnya seseorang menunggu, akan kalah oleh yang menunjukkan.
Kalau kau sedang rapuh, simpan sejenak hatimu. Biarkan ‘proses’ dalam ‘waktu’ menyembuhkan. Ketahuilah, beberapa tangan melepaskan genggamannya saat hidupmu bertambah sulit agar tanganmu kosong dan bisa digenggam oleh seseorang yang takkan pernah melepaskanmu.
Seseorang yang tepat tak selalu datang tepat waktu. Kadang ia datang setelah kau lelah disakiti oleh seseorang yang tidak tahu cara menghargaimu.
Jatuh hati tidak pernah bisa memilih. Tuhan yang memilihkan. Kita hanyalah korban. Kecewa adalah konsekuensi, bahagia adalah bonus.
Aku berdoa agar kau selalu bahagia. Dan doaku selanjutnya adalah: semoga aku ada di dalam skema kebahagiaanmu.
Akan tiba saatnya kita temukan alasan paling tepat untuk berjuang. Jika telah tiba, genggam erat. Sesuatu yang istimewa takkan datang dua kali.
Jatuh cinta memang tak pernah direncanakan, tapi membina sebuah komitmen, butuh perencanaan. Jatuh cinta itu mudah. Yang sulit itu menghadapi risiko berdiri sendirian dengan hati yang terluka. Yang sulit itu menghadapi risiko terbangun dengan hati yang patah tanpa ada yang mampu merekatkannya kembali.
Tidak perlu bersama selamanya. Selamanya itu terlalu lama. Seumur hidup saja. Untukku, itu sudah lebih dari cukup.
Jika kata ‘sayang’ terlalu berlebihan untuk memaparkan apa yang aku rasakan, biarkan aku menjadi seseorang yang menjagamu ketika kau rapuh, dan menarikmu turun ketika kau terlalu angkuh. Akan tetapi, jika kata ‘sayang’ tidak berlebihan, maka izinkanlah aku mengucap ‘aku menyayangimu’ tanpa batas waktu.
Usia, jarak, waktu, dan kelas sosial hanyalah angka bagi dua orang yang saling memperjuangkan satu sama lain.
Aku dan kamu tak usah terlalu digembar-gembor. Yang hening-hening syahdu itu yang biasanya langgeng. Bukan yang dipamer-pamer. Pada waktunya, dunia hanya perlu tahu kita hebat. Kebahagiaan tidak membutuhkan penilaian orang lain. Sebuah kebahagiaan tidak perlu dipamerkan kepada dunia.
Bukankah hidup ini sebetulnya mudah? Jika rindu, datangi. Jika tidak senang, ungkapkan. Jika cemburu, tekankan. Jika lapar, makan. Jika salah, betulkan. Jika suka, nyatakan. Jika sayang, tunjukkan. Manusianya yang sering kali mempersulit segala sesuatu. Ego mencegah seseorang mengucap “aku membutuhkanmu”.
Mencari teman hidup bukan menyoal tampang, harta, apalagi gelar. Tapi, tentang seseorang yang mau duduk bersamamu sampai rambut memutih dan raga tak mampu lagi berbuat banyak. Sayangnya, kita seringkali terdistorsi. Kita lupa bahwa sebenarnya berkomitmen itu tentang komunikasi.
Cinta bisa menghilang. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa jatuh cinta padamu. Tapi aku jamin, aku akan menjadi orang yang terbangun di sebelahmu dan mengatakan, “Hidup akan baik-baik saja selama kita masih memiliki kita.” Karena... aku menyayangimu tanpa ‘karena’.
Aku suka menatapmu matamu tanpa berucap. Rasanya seperti memandang jutaan cerita yang pernah dan akan terjadi. Bersamamu aku siap melewatinya.
— bagian pertama, ditulis 23 Oktober 2019
4 notes
·
View notes
Text
[STORY: #2]
Happy birthday, Moon
Winwin orang pertama yang menelponnya semalam. Lalu berurutan member 127 masuk ke kamarnya, memeluk paksa pemuda yang sedang terlelap itu sambil merapalkan doa-doa tulus untuknya. Taeil terlalu mengantuk untuk ingat apa saja doa mereka, yang ia ingan hanya ucapan Mark saat anak itu bangun pukul 6 pagi.
"Hyung, sehat selalu ya.. Hadiahnya nanti, menyusul, kalau aku sempat membelinya"
Taeil hanya mengangguk kecil sambil bilang terima kasih. Kemudian mereka berdua duduk berhadapan di meja dapur, Mark sepertinya masih mengantuk— matanya sayu dengan rambut berantakan, berusaha keras untuk menghabiskan kopi dinginnya. Sedangkan si birthday boy Moon Taeil, asik mengunyah roti pasta kacangnya dalam diam.
25 tahun, usianya hari ini. Tapi 24 tahun mengikuti perhitungan umur korea. Tetap saja baginya umurnya sudah setengah abad, 25 tahun.
"Hyung..." Panggil Mark, raut wajahnya seolah kaget, matanya terbuka lebar tidak sayu seperti tadi.
"Ada apa?" Taeil jadi heran.
"Kenapa menghela nafas lelah begitu? Hyung sedang ada masalah ya?"
Taeil tertegun, barusan dia seperti itu?
Apakah pikiran bahwa dirinya sudah tidak muda lagi ternyata membuat dia frustasi? Dia memang banyak pikiran beberapa hari belakangan ini. Momen ulang tahun sudah bukan hal bahagia yang ia nantikan, ini pertanda bahwa waktunya untuk berjuang sebagai penyanyi tidak sebanyak yang lainnya.
"Tidak.. Aku sedikit mengantuk" ujarnya berbohong, "makan dulu, semalam kau tidak makan dan langsung tidur" lanjutnya, sengaja mengalihkan perhatian.
Mark mengangguk saja. Dia meraih roti di atas meja, memakannya tanpa campuran selai atau apapun.
"Sekali lagi, selamat ulang tahun ya hyung.. Sehat teruss" tutup Mark seusai kegiatannya mengunyah makanan. Anak itu kembali ke kamarnya, tak lama setelah itu suasana dorm kembali ramai seperti biasa.
**
Managernya baru mengembalikan ponselnya pukul 8 malam, saat mereka sudah selesai dengan kegiatan hari itu. Taeil mengecek missed call ponselnya, benar saja, ada 2 panggilan dari ibunya.
Segera dia mencari sudut yang tenang untuk menghubungi kembali ibunya. Pembicaraan yang cukup emosional baginya, dimana sang ibu memberinta banyak sekali doa dan nasehat berharga, wanita itu pun memberitahukan banyaknya rasa kawatir yang ia miliki untuk putranya itu. Taeil hanya bisa menahan airmata, dia tak mungkin menangis ditempat itu.
Selesai menghubungu sang ibu, juga ayahnya, Taeil kembali pada teman-temannya. Bertepatan dengan pengumuman bahwa van mereka sudah siap, waktunya pulang.
Di jalanpun ia tak banyak bicara. Hanya tersenyum lebar dan tertawa mengikuti teman-temannya yang sibuk menyiapkan perayaan untuknya. Taeil merasa tidak perlu, tapi bocah-bocah digrupnya sangat ingin melakukannya, jadi dia hanya ikut saja.
Ponselnya bergetar lagi, memang bergetar sih sejak tadi. Namun kali ini berbeda, notifikasi khusus yang dia setting untuk sebuah nama familiar diponselnya.
"Selamat ulang tahun Moontae.. Kau tahu kalau aku sangat menyayangimu kan?"
Taeil tersenyum tipis, pahit. Hanya membaca dan tak ingin membalas.
"Jawab aku kalau sudah dibaca, birthday boy"
Pesan masuk lagi, dari orang yang sama. Taeil menggelenh, tidak! Dia tisak akan membalas.
"Yak MOONTAEIL"
Satu-satunya gadis yang suka mengetik namanya menggunakan abjad, bukan hangul.
"Baiklah. Yang penting kau membaca pesanku.. Jadi kau mau hadiah apa??"
Taeil kembali tersenyum kecut. Apa pentingnya hadiah dari dia? Taeil tidak butuh!
"Aku tahu kau artis terkenal tapi tolong ya aku ini sahabatmu sendiri. Kau tahu kan kalau doa seorang sahabat cepat dikabulkan? Kau mau membuatku berdoa agar kau jangan terlalu terkenal?? Aku benar-benar akan mendoakanmu seperti ini.. Kau mau??"
Taeil menggenggam ponselnya gemas. Anak ini tahu jelas bagaimana membuat Taeil membalas pesannya.
"Semoga kau tidak lupa kalau aku juga bisa mendoakan keburukan untukmu :')"
Taeil yakin gadis itu sedang membaca pesannya sambil memaki kesal.
"Kau mau hadiah apa? "
"Tidak perlu.. Memangnya apa yang bisa kau berikan untukku? Tak perlu repot, aku punya banyak uang, aku bisa beli semuanya"
"Kesombonganmu itu :') aku sedang mengumpat asal kau tahu"
"Sangat mudah ditebak"
"Hadiah apa Moon? Ayo jawab"
Taeil menghela nafas berat, ia menetralkan sedikit perasaannya. Bahkan nafasnya terasa berat dan sesak saat ini.
"Kau sudah memberikannya, 2 hari lalu"
"Apa? Maksudmu?"
"Pernikahanmu.. Melihat sahabatku bahagia, sungguh sebuah hadiah untukku. Aku senang atas pernikahanmu, kau tahu itu kan?"
"Moon :'( .. terima kasih"
"Sama-sama"
"Kau harus bahagia juga, oke?? 25 tahunmu haruslah lebih santai dari umur sebelumnya. Kau sudah banyak berusaha, kau harus mulai menikmatinya"
Taeil terdiam menatap layar chatnya. Ia tak lagi membalas, tak sanggup membalas lebih tepatnya.
25 tahun bukan lagi sekedar angka, bukan hanya tentang seberapa lama ia hidup. Tapi tentang memperjuangankan pilihan hidupnya, berjuang hingga dirinya sendiri merasa cukup.
Ia telah memilih mimpinya yang akan ia perjuangkan, jadi ia merelakan sebuah kata paling klise di dunia, cinta.
Moon Taeil baru saja melepaskan sahabat sekaligus cinta pertamanya bahagia dengan orang yang bukan dia. Padahal perasaan itu adalah perasaan paling lama yang telah ia pelihara kerahasiaannya selama ini. Usia 25 Taeil ingin belajar iklas, bahwa harus ada yang dikorbankan untuk meraih apa yang diimpikan. Cinta adalah salah satunya.
Moon Taeil akan terus berusaha menjadi penyanyi yang baik. Dia berusaha dengan segenap kemampuan yang ia miliki, hingga nanti, hingga usianya bertambah dari tahun ke tahun.
14-06-2019
Happy birthday Moon Taeil, sehat selalu....
2 notes
·
View notes
Text
Sekali lagi, tentang ulang tahun.
2 tahun lalu, ketika umur pernikahan masih hitungan bulan, masih semangat semangat nya, sibuk bikin hari ulang tahun belio supaya terasa spesial. Sibuk bikin donat (karna emang cuma bisa bikin donat waktu itu), sibuk hias2 donatnya, tapi tahun ini, setelah dua tahun, perasaan itu menguap. Bisa jadi karena toh belio tak pernah repot-repot bikin hari ulang tahun ku spesial, jadinya ku merasa tidak terlalu perlu juga mikir ini itu, mungkin sedikit balas dendam, haha. Tapi bukan berarti ku tidak ingat, cuma agak lebih malas saja untuk repot-repot.
Tahun ini, semakin bertambah usia kami, aku semakin overthinking. Lagi-lagi tentang kapan punya anak. Tentang aku harus bagaimana ketika belio nya cuek saja menjalani hari yang begini-begini saja, sedangkan istrinya sudah bosan setengah mati, menambah nilai dunia tidak, menambah bekal akhirat pun masih sedikit-sedikit, entah akan kemana rumah tangga ini akan kami bawa, tapi kami pasti berharap surga, tapi gimana, gimana gak overthinking.
Semakin hari, aku pun semakin pendiam, semakin malas berdebat, dan semakin sibuk memendam semuanya di dalam kepala. Tak tau kapan akan meledak. Entah berupa kata-kata yang tak akan ada habisnya, atau berupa tangis, atau marah tanpa tau apa sebab marah. Aku hanya berharap tidak akan jadi penyakit.
Teruntuk suamiku tersayang, yang hidupku kuserahkan sepenuhnya hanya untukmu ikhlas karena Allah, aku hanya manusia biasa yang banyak kurangnya, banyak salahnya, banyak gak taunya. Terkadang ada masanya ku ingin bicara banyak namun ku tahan karena ku takut dirimu bosan dengan cerita ku yang tak penting untukmu. Ketika ku diam, ada kalanya ku ingin dirimu mempertanyakan keadaan ku, apa yang ku mau apa yang ku butuh, bahkan ketika keinginan ku tak terpenuhi pun, itu tidak akan terlalu jadi masalah. Karena mungkin yang paling penting bagiku adalah sebentuk pedulimu. Sebenarnya aku dan dirimu sama-sama tipe pendiam, kita pun sama-sama introvert yang tidak nyaman dengan keberadaan orang lain ataupun keramaian. Tapi jika selamanya hidup dalam sepi, kurasa aku pun tidak sanggup, aku sudah sangat rindu suara bayi dan anak-anak. Rasanya sudah ingin menggedor pintu langit saking sudah rindunya. Tapi aku akan berusaha sabar jika kita pun sama-sama berusaha. Berusaha menyatu, berusaha lebih dari biasanya, sedekah dan ibadah yang lebih banyak, agar Allah SWT tau kita serius, dan menitipkan malaikat kecil untuk kita. Semoga secepatnya kita dianggap layak untuk jadi orang tua ya uda. Uda, La sayang. Semoga angka yang bertambah dan usia yang berkurang selalu diberi berkah oleh Allah SWT dan semoga kita sehat selalu. 💙
-181022
0 notes
Text
Teruntuk Pelangiku
Haii sayanggg
8-8 hari ini jadi hari paling melankolis untuk aku. Langit sangat biru dan panas matahari amat terik. Jam tidurku berubah-ubah sejak satu bulan yang lalu tepat di hari ulangtahun mu, tapi bertambah angka di usia.
8-7 akan jadi hari yang paling ku ingat entah sampai kapan. Hari dimana semua bermula sejak aku mengetahui nama mu. Dia izinkan aku bertemu dengan wujudmu. Dia perkenankan aku mengenal dirimu. Dia izinkan aku mengetahui kehidupanmu. Mungkin, Dia juga yang menaruh rasa ini tumbuh terhadapmu.
Sayang, boleh kah aku memanggilmu dengan kata itu? Kata yang mengandung rasa, kata yang dapat menenangkan jiwa, kata yang dapat menyejukkan isi kepala yang mulai tak terarah.
Sayang, ada kah kalimatku yang membuat dadamu terasa sakit? Atau adakah perilaku dariku yang membuat amarahmu muncul? Ada kah?
Sayang, boleh kah aku memanggilmu dengan kata itu untuk yang kedua kali? Ketiga kali? Bahkan sampai berulang kali? Bolehkah?
Ada satu hari dimana aku merasa bahwa pertemuan ini hanya singkat. Tetapi doaku untukmu selalu kepadaNya tanpa sekat.
Tadi aku bercerita tentangmu padaNya. Tentang semua waktu yang sudah terlewat diantara aku dan kamu. Aku ceritakan semua padaNya tentang nama yang membungkus ruh dalam ragamu. Aku ungkapkan semua yang ada dibalik panggilan itu untukmu. Dia tahu. Iya, Dia sudah tahu.
1 note
·
View note