Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Apar Arti Shalat?

Ada seorang bernama Fatimah. Beliau adalah istri Abu Thalib, paman Muhammad. Jadi, Fatimah adalah tente Muhammad. Fatimah, bersama Abu Thalib, merawat Muhammad pada usia delapan tahun setelah Abdul Muththalib wafat.
Sebagai seorang ibu dan seorang perempuan, Fatimah merasakan betapa syok Muhammad ditinggal oleh ibunya, Aminah, dan setelah itu kekeknya. Fatimah adalah seorang yang sangat bijak sehingga sering menjadi tempat curhat sesamanya perempuan.
Fatimah memiliki kebiasaan bagun sangat pagi untuk jalan-jalan sendiri di perbukitan sekitar Makkah. Sejak ada Muhammad, Fatimah mengajak Muhammad ikut berjalan-jalan untuk menghiburnya serta mengajarkannya banyak hal.
Suatu hari, Fatimah dan Muhammad melewati sebuah jembatan di atas sebuah sungai kecil di luar Makkah. Jembatan itu tidak terbuat dari kayu, tetapi dari jalinan tali serat kurma. Fatimah menasihati Muhammad. Ada proses alami yang melahirkan sungai di bawah mereka, tetapi manusia tidak pasrah begitu saja melihat proses alami itu. Ada orang yang bersusah payah membuat jalinan tali menjadi jembatan agar dia dan orang lain bisa menyeberangi sungai. Nasihat itu disampaikan oleh Fatimah agar Muhammad tetap bersemangat dalam hidup.
Muhammad yang cerdas lalu bisa menangkap betapa sesuatu yang biasanya tampak tidak berguna, seperti serat kurma, bisa berubah menjadi sangat berguna. Jembatan menghubungkan dua hal yang sebelumnya terpisah. Dari situlah muncul kata “shalaah” yang berarti “hubungan”. Sama dengan “du’aa’”, doa yang juga berarti menghubungkan.
Kunci kehidupan adalah hubungan yang terjalin baik. Baik hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan sesama manusia.[]
0 notes
Text
What is the Meaning of Prayer?

There was a woman named Fatimah. She was the wife of Abu Thalib, Muhammad's uncle. So, Fatimah was Muhammad's tent. Fatimah, together with Abu Thalib, took care of Muhammad at the age of eight after Abdul Muththalib died.
As a mother and a woman, Fatimah felt how shocked Muhammad was when his mother, Aminah, and after that his grandfather, left him. Fatimah was a very wise person so that she often became a place for other women to confide in.
Fatimah had a habit of waking up very early to walk alone in the hills around Mecca. Since Muhammad was there, Fatimah invited Muhammad to walk with her to entertain him and teach him many things.
One day, Fatimah and Muhammad crossed a bridge over a small river outside Mecca. The bridge was not made of wood, but of woven date palm ropes. Fatimah advised Muhammad. There was a natural process that gave birth to the river beneath them, but humans did not just accept the natural process. There was a person who struggled to weave ropes into a bridge so that he and others could cross the river. This advice was given by Fatimah so that Muhammad would remain enthusiastic in life.
The intelligent Muhammad was then able to understand how something that usually seemed useless, such as date fiber, could turn out to be very useful. The bridge connects two things that were previously separate. From there came the word "shalaah" which means "relationship". Same as "du'aa'", a prayer which also means connecting.
The key to life is a good relationship. Both relationships with Allah and relationships with fellow human beings.[]
0 notes
Text
Agama dan Sains
Konon ada kisah yang berasal dari William James dalam The Varieties of Religious Experience. Saya tidak mengutipnya langsung, tetapi dari buku Breaking the Spell: Agama Sebagai Fenomena Alam, karya Daniel C. Dennett (2022, hal. 20). Kisah itu berbunyi begini: Kisah yang kerap dikisahkan oleh pemuka agama adalah kisah mengenai laki-laki yang pada malam hari mendapati dirinya tergelincir ke sisi jurang. Akhirnya, ia menangkap ranting untuk menyelamatkan diri, dan terus bepegangan selama berjam-jam dalam penderitaan. Namun akhirnya jari-jemarinya harus melonggarkan pegangannya, dan dengan salam perpisahan yang menyedihkan ia membiarkan dirinya jatuh. Ia jatuh enam inci saja. Jika menyerah dari awal, ia sama sekali tidak perlu menderita.
Dennett menceritakan ulang kisah itu dalam rangka mengenyahkan ketakutan untuk mempelajari agama secara ilmiah. Menurutnya, semakin cepat agama dipelajari secara ilmiah, maka semakin cepat pula ketakutan terdalam tentang bahaya ilmu pengetahuan bagi agama itu diringankan. Laki-laki dalam kisah di atas itu sedang ketakutan terhadap sesuatu yang sesungguhnya tidak nyata. Sama dengan ketakutan agama terhadap ilmu pengetahuan yang juga tidak perlu ada. Seandainya laki-laki dalam kisah itu lebih cepat melepaskan ranting yang dianggapnya menyelamatkan dirinya, maka semakin cepat pula dia menyadari betapa tidak bahayanya ilmu pengetahuan bagi agama.
Pembacaan Dennett mungkin benar, tetapi jangan-jangan yang sebaliknya juga benar yaitu bahwa laki-laki dalam kisah itu tidak perlu memaksa dirinya untuk berpegangan selama berjam-jam pada ranting dalam penderitaan. Maksudnya, tidak perlu laki-laki itu membiarkan dirinya dalam derita pencarian ilmu pengetahuan, padahal agama sudah menyediakan jawaban yang ia butuhkan. Ada baiknya dia melepas saja ranting tersebut atau melepaskan ilmu pengetahuan dan dia akan baik-baik saja dalam pelukan agama.[]
0 notes
Text
Islam dan Mesin
Nama singkat dari modernitas dalah mesin. Di Barat mesin melahirkan industri dan juga migrasi ke kota atau urbanisasi. Di satu sisi, lapangan kerja terbuka karena industrialisasi, tetapi di sisi lain pengangguran merajalela karena tenaga mesin lebih menguntungkan daripada tenaga manusia. Kelas sosial pun terlahir. Ada kelas atas yaitu mereka yang mempunyai sarana produksi. Ada kelas bawah yang tidak memiliki sarana produksi. Sejarah diisi pergulatan tanpa ujung antara kedua kelas tersebut. Orang desa mungkin memiliki tanah yang luas, tetapi tidak memiliki mesin untuk memanfaatkan tanahnya. Orang kota tidak memiliki tanah tetapi memiliki mesin. Karena itulah, di kota perputaran uang lebih banyak. Orang-orang pun berbondong-bondong ke meninggalkan desa.
Para pemilik mesin mempekerjakan orang untuk mengoperasikan mesin dengan gaji yang sekecil mungkin. Sisa dari gaji itulah yang menjadi laba bagi pemilik mesin untuk kemudian diinvestasikan kepada lebih banyak mesin lainnya. Di antara para pekerja, ada yang gajinya lebih besar daripada yang lain sehingga mampu membeli lebih banyak produk dan juga membeli produk yang lebih mahal daripada yang pekerja lain mampu membelinya. Pekerja yang gajinya lebih besar itu disebut orang kaya dan pekerja yang gajinya lebih kecil itu disebut orang miskin. Jika orang miskin semakin banyak, maka ada kemungkinan semakin banyak produk yang tidak terbeli. Karena itu, ada kemungkinan produksi akan turun harganya dan orang miskin pun memiliki produk yang sebelumnya hanya mampu dibeli oleh orang kaya. Tapi kemungkinan itu belum pernah terjadi.
Saat mesin memasuki wilayah Islam, umat Islam mendapatkan mainan mewah yang mereka sadari bukan milik mereka dan tidak berasal dari mereka. Di saat bersamaan, terjadi penjajahan yang memaksa wilayah mereka dikendalikan oleh para pemilik mesin dan para pemiliki sarana produksi. Umat Islam menjadi terpesona sekaligus terhina atau mungkin lebih tepatnya terbingungkan. Mereka lalu mengajukan pertanyaan yang barangkali keliru: Apakah para pemilik mesin itu yang salah atau umat Islam sendiri yang salah? Intinya, apa yang salah? Di Indonesia, konon penjajahan ditaklukkan lewat gerakan para santri yang berarti gerakan yang cenderung spiritual. Bahkan ada perayaan atas kenyataan itu secara nasional karena dianggap membanggakan. Apakah inti persoalannya adalah itu? Ya, penjajahan memang sirna, tetapi apakah pemilik mesin dan pemilik sarana produksi berganti menjadi umat Islam? Sampai tulisan ini tayang, tidak. Umat Islam hanya menyukai mesinnya, tetapi tidak suka segala hal yang membentuk mesin itu.[]
0 notes
Text
Kisah Kalut Pendidikan
Pendidikan adalah cara untuk membuat manusia yang seutuhnya manusia, namun seperti apakah manusia yang seutuhnya manusia? Aristoteles (384 SM - 322 SM) berkata: manusia yang bahagia. Cicero (106 SM - 43 SM) berkata: manusia sempurna. Manusia yang sempurna adalah meninggalkan orientasi kebuasan dan orientasi kebanggaan menuju orientasi penalaran rasional.
Era Pencerahan (akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19) menolak Aristoteles tentang pendidikan. Bukan manusia bahagia yang menjadi tujuan pendidikan, tetapi manusia berkebudayaan. Bagi Era Pencerahan, manusia yang seutuhnya manusia adalah manusia yang memaksimalkan relasinya dengan alam. Terkadang relasi itu tidak membahagiakan, misalnya saat alam berubah menjadi bencana, tetapi pasti melahirkan kebudayaan, yaitu seni, sains, dan filsafat.
Gottfried von Harder (1744-1803) melihat manusia yang seutuhnya manusia adalah mereka yang bergantung kepada kolektivitas tetapi kolektivitas terbatas pada kekhasan budaya yang melingkupinya. Herder mempersempit relasi manusia dengan alam dengan relasi manusia dengan manusia, namun sama-sama menekankan pengaruh eksternal terhadap pembentukan manusia yang seutuhnya manusia yang dalam hal ini adalah kekhasan budaya masing-masing manusia.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) memperluas relasi manusia versi Harder dan menyebutnya sebagai relasi manusia (roh subjektif) dengan segala hal di luar manusia yang disebutnya roh objektif. Relasi tersebut dibangun dalam bingkai rasionalitas yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Setiap generasi belajar dari generasi sebelumnya sehingga suatu saat manusia mencapai kesadaran tertinggi, yaitu menyatu dengan kesadaran roh objektif tersebut yang sesungguhnya adalah ekspresi Diri Sang Roh (Rasional) Ilahi itu sendiri.
Puncak dari Era Pencerahan adalah positivisme. Positivisme (abad ke-19) mengembalikan pemikiran Arisoteles tentang pendidikan yang melahirkan manusia bahagia. Modernitas melahirkan ilmu pengetahuan dan produk-produk hukum yang digadang-gadang menjadikan manusia bahagia karena minimnya penderitaan yang diselesaikan oleh ilmu pengetahuan dan hukum. Belakangan, kebahagiaan menjadi kesenangan, lalu menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Kapitalisme lahir dari sini. Seni dan filsafat tidak ada harganya karena "jarum pentul sama harganya dengan puisi."
Positivisme melahirkan hal-hal yang maha dipuja yang dinamai modernitas, kemajuan, serta peradaban. Dampaknya ternyata sangat buruk karena melahirkan rasialisme dan diskriminasi karena jika ada yang modern, maju, dan beradab, maka ada yang primitif, terkebelakang, dan barbar. Lalu atas nama menjadi manusia yang seutuhnya manusia, orang harus dijajah, ditindas demi untuk diberadabkan, dimajukan, dan dimodernkan. Di era seperti inilah lahir sekolah sebagai lembaga satu-satunya yang mampu melahirkan manusia yang seutuhnya manusia.
Bukan hanya sekolah yang dilahirkan oleh positivisme, tetapi juga negara dan hukum. Problemnya, yang lahir kemudian adalah mekanisasi manusia. Manusia yang seutuhnya manusia sama dengan manusia mekanik yang memiliki kehidupan tetapi tidak memiliki jiwa. Hidupnya seperti gerak jam yang teratur kapan harus tidur, bangun, bekerja, hingga tidur lagi. Mekanisasi melahirkan pabrikasi yang produknya adalah manusia. Ya, manusia adalah produk, tidak lebih.
Karl Marx (1818-1883) hadir sebagai kritik terhadap positivisme dan Era Pencerahan. Marx senada dengan Hegel dalam hal adanya semacam roh objektif yang bersifat absolut yang menjadi muara dari segala upaya manusia menjadi manusia yang seutuhnya manusia, namun Marx memahami bahwa relasi antara roh objektif dengan manusia dibingkai oleh materialisme dan aktivitas material manusia. Faktor material inilah memengaruhi kesadaran manusia dalam kehidupannya. Bahkan manusia tidak memiliki kesadaran karena apa yang dimaksud oleh manusia dengan kesadaran sesungguhnya adalah faktor-faktor material sebagai pengandali manusia.
Kekuasaan atas faktor-faktor material melahirkan stratifikasi sosial berdasarkan gender, ras, umur, keterampilan, dsb. Di setiap strtifikasi sosial itu, hadir penguasa-penguasa material yang akan terus menjaga kekuasaannya dengan berbagai cara dari gangguan mereka yang cemburu dan hendak merebut. Karena itu, penguasa material membutuhkan ideologi dan keyakinan (agama) untuk memanipulasi kesadaran masyarakat agar tetap terbuai di dalam ketidakberdayaannya dan menganggapnya sebagai kenyataan alamiah dan wajar. Dalam ketidakberdayaan dan juga ketidaksadarannya, masyarakat akan terus-menerus menggantungkan diri pada kekuasaan/penguasa material. Intinya adalah ada relasi timbal balik antara kondisi material dengan sistem-sistem pemikiran dominan. Bahkan bagi Marx, “pendidikan” sesungguhnya adalah ideologi untuk memanipulasi.
Salah satu permisalan untuk kosa kata kosa kata seperti: pendidikan, masyarakat terdidik, universitas, dan yang berkaitan dengan itu. Semuanya sesungguhnya adalah ideologi yang memainkan gugusan kosa kata yang dibentuk agar terkesan luhur, tapi sesungguhnya tujuannya adalah kekuasaan kaum tertentu atas kaum yang lain demi kepentingan kekuasaan material. Katakanlah kaum terdidik itu bernama dosen, rektor, peneliti, dekan, pengamat, dsb. Bukankah yang mengikat mereka semua adalah kepentingan kekuasaan material dengan jargon-jargon kosa kata kaum terdidik, akademisi, cendekiawan, dsb yang kesannya sungguh luhur? Semua tidak lebih daripada “permainan bahasa”, language games, sebagaimana istilah Ludwig Wittgenstein (1889-1951).
Manusia mekanik sebagai hasil pendidikan adalah manusia yang hidup bukan untuk saat ini, tetapi untuk masa depan karena kehidupannya senantiasa dihantui oleh masa depan yang tidak pasti. Masa depan itu bukan ditentukan sendiri oleh manusia itu sendiri, tetapi ditentukan oleh kolektivitas. Sepertinya, manusia jenis itu dinamai manusia rata-rata dan manusia kawanan, menurut istilah Friedrich Nietzsche (1844-1900). Manusia bukan kawanan, tetapi adalah individu-individu dengan kekhasannya masing-masing. Dia hanya akan menjadi manusia jika menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi orang lain. Persoalannya, Nietzsche seperti sedang menyulut pemberontakan dari individu kepada masyarakatnya.[]
#pendidikan#friedrich nietzsche#Wittgenstein#karl marx#g. w. f. hegel#aristoteles#ideologi#cicero#positivisme#Gottfried von Harder
0 notes
Text
Prinsip Wasathiyyah dalam Al-Qur`an
Beberapa Ayat tentang Wasathiyyah
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Al-Baqarah/2:143
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk.
Al-Baqarah/2:238
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Al-Mā'idah/5:89
قَالَ اَوْسَطُهُمْ اَلَمْ اَقُلْ لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُوْنَ
Seorang yang paling bijak di antara mereka berkata, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?”
Al-Qalam/68:28
فَوَسَطْنَ بِهٖ جَمْعًاۙ
lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh,
Al-‘Ādiyāt/100:5
Mencari Prinsip Wasathiyyah dalam Al-Quran Secara umum, kata wasath di dalam Al-Quran berarti “tengah”. Ada 5 ayat di dalam Al-Quran yang berbicara tentang wasath dengan berbagai bentuk dari kata wasath itu sendiri. Tulisan ini hanya akan membahas wasath pada Al-Baqarah/2:143. Adapun variasi kata wasath yang disebutkan di dalam ayat lain akan dibahas pada lain kesempatan.
Pada Al-Baqarah/2:143, variasi kata wasath adalah ummatan wasathan yang berarti ummat pertengahan. Ini adalah ayat yang paling populer tentang wasthiyyah dalam Islam. Konteks tekstual ayat ini adalah tentang perpindahan arah kiblat saat salat yang awalnya ke Baitulmaqdis lalu ke Masjidil Haram.
Al-Baqarah/2:143 sesungguhnya adalah bagian dari rangkaian ayat yang secara keseluruhan berbicara tentang hubungan Nabi Muhammad Saw dengan nabi-nabi sebelumnya serta hubungan ajaran Islam dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Ayat-ayat tersebut terbentang kira-kira dari ayat 120.
Secara umum bisa dikatakan bahwa memang ada perbedaan dalam hal ajaran antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran sebelumnya (Al-Baqarah/2:120). Perbedaan tersebut melahirkan semacam persaingan antara mereka yang digambarkan di dalam Al-Quran dengan وَلَنْ تَرْضٰى. Perbedaan itu membuat masing-masing ajaran merasa paling benar (salah satunya) dengan cara menegaskan diri sebagai paling mengikuti ajaran Nabi Ibrahim as (Al-Baqarah/2:140).
Untuk melerai pertikaian tentang mana yang paling mengikuti Nabi Ibrahim as, Al-Quran menegaskan beberapa hal penting:
Pertama, tidak ada gunanya upaya merasa paling benar itu jika landasannya adalah hawa nafsu. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:120: وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ (Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.)
Kedua, masing-masing membaca dengan baik kitabnya sendiri lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:121: اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ (Orang-orang yang telah Kami beri kitab suci, mereka membacanya sebagaimana mestinya, itulah orang-orang yang beriman padanya. Siapa yang ingkar padanya, merekalah orang-orang yang rugi).
Ketiga, masing-masing mengingat dan mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, terutama nikmat menjadi umat beriman. Itu adalah kelebihan yang diberikan yang tidak diberikan kepada umat lain. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:122: يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اذْكُرُوْا نِعْمَتِيَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَاَنِّيْ فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ (Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan sesungguhnya Aku telah melebihkan kamu daripada semua umat di alam ini [pada masa itu]).
Ingatan tentang nikmat iman itu penting karena yang sedang dihadapi oleh masing-masing bukanlah umat lain, tetapi hari akhirat di kala semua orang mempertanggungjawabkan amalannya sendiri-sendiri. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:123: وَاتَّقُوْا يَوْمًا لَّا تَجْزِيْ نَفْسٌ عَنْ نَّفْسٍ شَيْـًٔا وَّلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَّلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَّلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَ (Takutlah kamu pada hari (ketika) tidak seorang pun dapat menggantikan (membela) orang lain sedikit pun, tebusannya tidak diterima, syafaat tidak berguna baginya, dan mereka tidak akan ditolong).
Keempat, janji Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as dan keturunannya adalah semuanya dijadikan pemimpin. Jadi, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam adalah pemimpin sebagaimana janji Allah SWT, tetapi pemimpin yang sesungguhnya bukanlah mereka yang zalim. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:124: ۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ ([Ingatlah] ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia [Allah] berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia [Ibrahim] berkata, “[Aku mohon juga] dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “[Doamu Aku kabulkan, tetapi] janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”).
Kelima, masing-masing bertugas untuk berserah diri kepada Allah SWT dan hanya menyembah Allah SWT. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:132: وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ (Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”)
Keenam, masing-masing mengurus dirinya sendiri dan tidak mengurusi umat lain. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:134: تِلْكَ اُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَّا كَسَبْتُمْ ۚ وَلَا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ (Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan).
Ketujuh, masing-masing mengakui semua nabi tanpa membeda-bedakan mereka. pengakuan ini penting karena saling menafikan pasti akan memperuncing pertikaian. Ayat ini menyebutkan pengakuan kepada semua nabi dan juga pengakuankepada ajaran-ajaran mereka. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:136: قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ (Katakanlah [wahai orang-orang yang beriman], “Kami beriman kepada Allah, pada apa yang diturunkan kepada kami, pada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan keturunannya, pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta pada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan [hanya] kepada-Nya kami berserah diri.”).
Kedelapan, masing-masing memiliki pendirian yang seharusnya dihargai, termasuk dalam penetapan arah kiblat. Tidak mesti karena harus menjadi wasthiyyah lalu tidak memiliki pendirian. Jadi, perlu ada penghargaan terhadap pendirian yang berbeda. Hal itu disebutkan dengan pada Al-Baqarah/2:143: وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ (Demikian pula Kami telah menjadikan kamu [umat Islam] umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas [perbuatan] manusia dan agar Rasul [Nabi Muhammad] menjadi saksi atas [perbuatan] kamu. Kami tidak menetapkan kiblat [Baitulmaqdis] yang [dahulu] kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui [dalam kenyataan] siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya [pemindahan kiblat] itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia).
1 note
·
View note
Text
Hermeneutika dan Heuristik
Studi Tafsir dan Studi Al-Qur`an umumnya adalah tentang masa lalu atau sejarah. Al-Qur`an adalah teks yang hadir dalam sejarah masa silam. Tafsir juga demikian. Bahkan Tafsir Al-Mishbah yang penulisnya masih hidup, juga hadir dalam sebuah konteks sejarah. Karena itu, studi tafsir dan studi Al-Qur`an meniscayakan nuansa sejarah dalam kajiannya.
Salah satu tema penting dalam kajian yang bernuansa sejarah adalah heuristik. Heuristik adalah sebuah metode penelitian untuk menemukan sesuatu yang dalam hal ini yang ditemukan adalah pemikiran seseorang atau konsep yang hadir dalam sejarah sebagai upaya untuk memecahkan sebuah masalah. Cara untuk menemukannya adalah dengan:
mengumpulkan sumber-sumber mengenai sosial, budaya, adat istiadat, stratifikasi sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya yang berkaitan dengan pemikiran atau orang yang diteliti;
menganalisis semuanya; dan
mengaitkan hasil analisis dengan problem yang hendak dipecahkan.
Sebuah pemikiran yang diletakkan dalam konteks sejarah tidak hadir dengan sendirinya, tetapi merupakan respon terhadap sesuatu. Respon tersebut adalah reaksi terhadap kenyataan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya yang hadir di sekeliling pencetus pemikiran. Karena itu, yang harus dilakukan adalah:
memahami kegelisahan dan penyebab dari kegelisahan tersebut;
memahami bagaimana pemikiran sebagai hasil dari kegelisahan tersebut;
memahami bagaimana pemikiran tersebut direspon oleh orang-orang setelahnya;
memahami keunggulan dan kekurangan pemikiran tersebut lewat sebuah sudut pandang tertentu;
memahami relevansi pemikiran tersebut di masa penilitian dilakukan.
Cara kerja metode heuristik di atas sangat mirip dengan hermeneutika. Bedanya, heuristik biasanya digunakan dalam studi kesejarahan sedangkan hermeneutika biasanya digunakan dalam studi teks, termasuk teks Kitab Suci
0 notes
Text
Arti Islam
Islam adalah nama sebuah agama, sebagaimana agama lain juga memiliki nama. Misalnya, Hindu. Itu adalah sebuah nama yang berasal dari kata "sindhu" yang dalam bahasa Sansekerta berarti "sungai". Ada sebuah sungai yang bernama Indus yang mengalir di daerah sekitar India dan Pakistan saat ini. Kata Indus berasal dari kata "sindhu" tersebut. Adapun Hindu adalah nama yang masyarakat yang menetap di sepanjang lembah Sungai Indus itu. Jadi, nama "Hindu" berasal dari nama sebuah masyarakat yang berasal dari nama tempat yang berawal dari nama sungai (Martin Palmer, World Religions, London: Times Books, 2004, 144)
Agama Hindu tidak berasal dari individu tertentu bahkan tidak bisa dikatakan berasal dari periode sejarah tertentu. Hindu adalah cara berbagai hidup yang mengkristal menjadi sebuah agama. Hal ini berbeda dengan biasanya agama-agama lain. (Martin Palmer, World Religions, London: Times Books, 2004, 144)
Nama agama Kristen berasal dari kata Yunani "Kristianos" yang berhubungan dengan kata "Kristus" yang berarti "Dia yang diurapi" atau "Dia yang dipilih Tuhan" atau "Al-Masih" atau bisa juga berarti "Al-Musthafa". Jadi, nama "Kristen" berasal dari nama gelar untuk orang, yang dalam hal ini adalah Yesus atau Nabi Isa as. Jadi, nama "Kristen" sangat bergantung kepada seorang Yesus atau Nabi Isa as dalam hal kelahirannya, kehidupannya, dan kebangkitannya. (Martin Palmer, World Religions, London: Times Books, 2004, 112)
Nama agama Yahudi mulanya adalah nama bagi keturunan Nabi Ibrahim as lewat putranya yang bernama Nabi Ishak as yang memiliki putra yang bernama Nabi Yaqub as. Keturunan Nabi Yaqub as inilah yang belakangan disebut Yahudi atau Bani Israil karena Nabi Yaqub as juga kadang disebut Israil. Nama Yahudi adalah pemberian dalam kitab-kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama yang mendapatkan Ten Commandments pada masa Nabi Musa as. Lalu, Yahudi dipimpin oleh Nabi Daud as dan kemudian Nabi Sulaiman as. Jadi, nama Yahudi mulanya adalah nama keturunan Nabi Ibrahim as yang kemudian menjadi nama agama. (Martin Palmer, World Religions, London: Times Books, 2004, 174-175)
Berbeda dengan agama-agama pada umumnya, Islam tidak diambil dari nama tempat, nama individu, atau nama keturunan dari seseorang. Islam adalah bahasa Arab yang bisa berarti ketergantungan kepada atau kesediaan untuk tunduk kepada supremasi Ilahi, Tuhan, Allah SWT. Bahkan seorang Kristiani yang tunduk dan tulus kepada Tuhan bisa disebut tergolong Islam. Memang ada beda Islam dengan huruf I besar dengan islam dengan huruf i kecil. Dengan huruf i kecil, siapapun yang tunduk dan tulus kepada Tuhan disebut Islam. Tetapi Islam dengan I besar hanya mereka yang menyatakan syahadatain. (Martin Palmer, World Religions, London: Times Books, 2004, 156) .
Karena itu, Islam tidak bisa disebut ajaran Muhammad atau Muhammadanisme. (M. Quraish Shihab, Kumpulan 101 Kutum tentang Islam, Tangerang: Lentera Hati, 2016, 8). Islam bahkan lebih tepat (walaupun masih keliru) disebut sebagai Damaiisme atau ajaran damai daripada Muhammadanisme karena fokus Islam adalah pada inti ajarannya sendiri, bukan pada pembawanya.
Mengapa mereka yang tunduk dan tulus kepada Tuhan bisa tergolong Islam dengan i kecil? Seluruh manusia (juga seluruh makhluk) pada dasarnya memang tunduk kepada Tuhan, baik mereka menyadari atau tidak atau mereka mengakui atau tidak. Adakah manusia yang mampu menolak untuk menjadi manusia dan tiba-tiba terlahir sebagai manusia, sebagai laki-laki, sebagai perempuan, dan seterusnya? Tentu saja tidak ada. Jadi, pada dasarnya, semua makhluk tunduk dan itu berarti semua makhluk adalah Islam dengan i kecil.
Ketika seorang manusia menyadari dan mengakui bahwa dia memang tunduk dan tulus kepada Tuhan, maka dia mulai memasuki Islam dengan I besar. Ketika dia bersyahadat, maka benar-benar dia memasuki Islam dengan I besar. Namun, jika seorang manusia bersyahadat, tetapi tidak ada kesadaran dalam dirinya bahwa dia tunduk dan tulus kepada Tuhan, maka sesungguhnya dia masih dalam Islam dengan i kecil, walaupun secara lahiriah dia masuk Islam dengan I besar.
Sebagai perwujudan dari misi Islam untuk kedamaian manusia, maka Islam menegaskan dirinya berasal dari Allah SWT. Ini penting karena jika berasal dari manusia, maka yang menjadi sentral bukan hanya ajarannya, tetapi juga pembawanya. Jika itu yang terjadi, maka bisa saja akan muncul sosok sebagai tirani pembawa yang menahbiskan dirinya sebagai faktor paling penting dari ajaran Islam itu sendiri. Tirani pasti tidak akan pernah membawa kepada kedamaian.
Meski berasal dari Allah SWT, Islam adalah agama kemanusiaan, bukan agama Ketuhanan karena ajaran Islam adalah untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan. Posisi sentral Tuhan dalam Islam bukan sebagai tanda bahwa Islam untuk Tuhan, tetapi untuk menutup kemungkinan ada sosok-sosok makhluk yang menitipkan kepentingan sosial, ekonomi, politik, dan budayanya dalam ajaran Islam atas nama ajaran Islam. Dampaknya akan sangat buruk karena mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Karena Islam adalah untuk kemanusiaan, maka Islam sangat memaklumi realitas kemanusiaan itu sendiri. Manusia yang berdosa sebesar apapun tetap terbuka pintu taubat baginya karena Islam memaklumi kealpaan manusia. Bahkan bagi Islam, apapun dalam kehidupan manusia bisa menjadi ibadah. Jika itu ibadah seperti shalat, puasa, atau zakat, maka itu memang ibadah. Tetapi jika itu bekerja, berkarya, mencari nafkah, bergaul sesama manusia, yang tampaknya adalah urusan sehari-hari atau tampak sepele, tetapi dalam Islam semua itu adalah ibadah karena dengan itu, manusia bisa bermanfaat bagi sesamanya manusia.
#tuhan#agama#allah swt#manusia#nabi muhammad saw#nabi isa as#nabi musa as#yahudi#kristen#hindu#budha#sosial#ekonomi#politik#kemanusiaan#zakat#shalat#puasa#Ketuhanan#islam#nabi yaqub as#nabi ibrahim as#bani israil
3 notes
·
View notes
Text
Rasul, Al-Qur`an, dan Manusia


Seumpama realitas terbagi dua, yaitu realitas Ketuhanan dan realitas non-Ketuhanan, maka ada pemahaman yang mudah, yaitu Allah SWT berada di dalam realitas Ketuhanan dan manusia serta barisan para makhluk lainnya berada di realitas non-Ketuhanan. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa Ketuhanan sama sekali tak tercipta dan non-Ketuhanan sama sekali tercipta. Seperti gambar berikut:

Namun, pemahaman yang mudah seperti di atas itu menjadi agak sulit jika unsur Rasul dan Al-Qur`an dimasukkan. Kedua unsur itu tidak mudah dimasukkan ke dalam unsur non-Ketuhanan karena memang bukan murni non-Ketuhanan. Rasul adalah manusia, tetapi bukan manusia biasa. Al-Qur`an pun adalah kitab, tetapi bukan kitab biasa. Baik pada Rasul maupun pada Al-Qur`an ada unsur “tak tercipta” yang membuatnya bukan kategori non-Ketuhanan. Jadi, perlu ada penggambaran lain, misalnya seperti gambar berikut:

Posisi Rasul dan Al-Qur`an juga agak problematis dalam hal mana yang menjadi sebab dan mana yang akibat. Ada beberapa perumpamaan:
Allah SWT hendak menurunkan Al-Qur`an sebagai pengingat bagi manusia bahwa Dia Ada. Untuk itu, itu diperlukan Rasul sebagai pembawa Al-Qur`an. Dalam hal ini, Al-Qur`an adalah sebab dan Rasul adalah akibat.
Allah SWT hendak mengutus Rasul sebagai pengingat bagi manusia bahwa Dia Ada. Untuk itu, diperlukan Al-Qur`an sebagai materi yang hendak disampaikan oleh Rasul dalam misinya. Dalam hal ini, Rasul adalah sebab dan Al-Qur`an adalah akibat.
Baik Rasul maupun Al-Qur`an adalah satu paket yang tidak bisa ditentukan mana di antara keduanya yang sebab dan mana yang akibat. Salah satunya adalah Rasul dan yang lain adalah Risalah.
Konsekuensi dari yang pertama adalah posisi Al-Qur`an lebih tinggi daripada Rasul. Konsekuensi yang kedua adalah posisi Rasul lebih tinggi daripada Al-Qur`an. Konsekuensi yang ketiga adalah posisi Rasul dan Al-Qur`an sama tinggi. Sepertinya, perumpamaan ketiga menarik.
Ada hadis dalam Musnad Ahmad (hadis 23460) yang menegaskan كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ. Ada pula ayat yang وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ (QS. Al-Qalam/68: 4). Baik ayat maupun hadis itu bersama-sama mengindikasikan ketidakterpisahan antara Rasul dan Al-Qur`an.
Jika perumpamaan fase kehidupan manusia hendak disederhanakan, maka bisa tergambar seperti ini:

Baik Rasul maupun Al-Qur`an hadir sebagai peringatan bahwa Allah SWT Ada. Bukan hanya itu, keduanya juga mengingatkan bahwa Akhirat itu ada. Peringatan itu ingin mengatakan bahwa kehidupan dunia harus dalam kerangka ingatan bahwa Allah SWT Ada dan Akhirat ada. Segala aktivitas manusia juga berada dalam kerangka ingatan seperti itu.
Kehadiran konsep Akhirat bukan untuk menghantui kehidupan dunia, tetapi untuk memberikannya arah. Cara berfikir bahwa seorang ayah yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya sedang mencari dunia karena itu, perlu dipertentangkan dengan seorang ayah yang shalat, mungkin keliru. Setiap aktivitas “duniawi” sesungguhnya tidak murni “duniawi”, sebagaimana Rasul adalah “manusia” yang tidak “murni manusia” dan Al-Qur`an adalah “kitab” yang tidak “murni kitab”.
0 notes
Text
Perempuan Sebagai Makhluk Transenden
Transenden berarti sesuatu yang jauh “melampaui” yang merupakan aktivitas ruhani atau mental yang bergerak meninggalkan alam faktual dan konkret menuju dan melampaui hingga di luarnya. Aktivitas ruhani atau mental ini sesuatu yang khas manusia dan selalu dilakukannya baik sengaja maupun tidak. Seumpama seorang yang sejak lahir terjajah dan mengalami atribut-atribut keterjajahan berupa keterbatasan-keterbatasan, ada kemungkinan dia bergerak secara ruhani atau mental meninggalkan keterjajahannya dan menyusun upaya-upaya kemerdekaan.
Upaya manusia untuk keluar dari keterjajahan sebagaimana disebutkan di atas terjadi karena manusia mampu mentransendensikan dirinya melampaui alam faktual dan konkretnya. Contoh lain adalah upaya manusia untuk memahami asal segala sesuatu dan mempertanyakannya. Apa asal segala hal yang tampak? Apakah asalnya adalah satu atau banyak? Bagaimana asal itu berubah menjadi segala yang tampak saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah upaya manusia untuk melampaui dirinya kepada bukan dirinya yang diyakininya sebagai asalnya. Seumpama jawabannya adalah bahwa asal segala sesuatu adalah air, sebagaimana dikatakan oleh Thales, maka air bukanlah diri segala sesuatu dan bukan diri manusia itu sendiri. Pencarian jawaban seperti itu mampu dilakukan oleh manusia kerena memang manusia mampu bertransendensi.
Lalu ada pertanyaan: Apakah asal segala sesuatu material atau non-material? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang agak berbeda yaitu: Apakah asalnya material atau non-material? Pertanyaan ini menimbulkan dugaan bahwa ada sesuatu yang non-material yang menjadi asal segala sesuatu. Plato adalah termasuk orang yang mengatakan bahwa non-material yang menjadi asal segala sesuatu
Jawaban bahwa asal segala sesuatu adalah air menandakan bahwa asal segala sesuatu adalah material. Adapun jawaban bahwa asal segala sesuatu adalah non-material adalah merupakan pembeda arah berbeda dari jawaban yang sudah pernah ada karena sebelumnya, secara umum dipahami bahwa asali segala sesuatu adalah material. Pandangan yang material disebut naturalis. Adapun pandangan yang tidak material disebut idealis. Pandangan naturalis menjadi landasan dari golongan ilmu-ilmu alam. Pandangan idealis menjadi landasan dari ilmu-ilmu metafisika, termasuk filsafat dan agama.
Naturalis dan idealis belakangan didamaikan dengan cara menempatkan keduanya pada tempatnya sendiri-sendiri. Naturalis nantinya akan menjadi asal mula bagi perkembangan pesat ilmu pengetahuan alam dan teknologi. Naturalis tidak terlalu jauh meninggalkan alam faktual dan konkret dan bahkan tergantung padanya. Adapun yang idealis melanjutkan proyek transendensi manusia melampaui alam faktual dan konkret, melampaui kenyataan, melampaui kemampuan fisik manusia, hingga membahas tentang Ketuhanan, kebebasan, hak-hak asasi, manusia sempurna, keabadian, tujuan hidup, kebahagiaan, dan seterusnya.
Kebebasan disebut proyek transendensi manusia karena secara natural, faktual, dan konkret, manusia tidak bisa dianggap bebas. Ruang dan waktu membatasi manusia beserta tubuhnya. Ke manapun manusia pergi, ruang membatasi geraknya. Waktu juga membatasi manusia. Tubuh manusia semakin lama semakin renta dan melemah dimakan waktu dan membuatnya semakin tidak bebas menjelajahi ruang dan waktu. Antara manusia dengan kebebasan adalah dua hal yang tidak pernah menyatu. Salah satu arti kata transenden adalah “tidak dapat dihubungkan”. Manusia dan kebebasan tidak dapat dihubungkan. Karenanya, keduanya disebut saling transenden.
Kebebasan berhubungan dengan keabadian dalam hal kuasa ruang dan waktu. Keabadian juga tidak dapat dihubungkan dengan manusia karena lumpuhnya manusia di hadapan ruang dan waktu. Hingga Ketuhanan pun tidak dapat dihubungkan dengan manusia karena Tuhan penuh kemahaan dan manusia penuh kekurangan. Saat logika hendak membuktikan adanya Tuhan, maka salah satu yang diajukan adalah kehadiran alam semesta yang dianggap bukti adanya Tuhan karena tidak mungkin alam semesta ada jika tidak ada yang mengadakannya. Itulah Tuhan. Tapi mengapa kecurigaan logis yang sama tidak diajukan kepada Tuhan bahwa jika Tuhan ada pasti ada pula yang mengadakan-Nya? Itulah salah satu contoh keterputusan hubungan tersebut.
Meski dalam keterbatasannya manusia transenden dari keabadian, kebebasan, kesempurnaan, dan sebagainya, manusia tidak pernah diam dan tidak pernah menyerah begitu saja terhadap kondisi seperti itu. Manusia memiliki kesadaran yang membuatnya selalu hendak meninggalkan keterbatasannya. Kesadaran tersebut membuat manusia mampu mengobjektivikasi selain dirinya dan bahkan mampu mengobjektivikasi dirinya sendiri.
Diri yang penuh keterbatasan itu adalah diri yang penuh kekurangan. Ibarat sebutir kelereng dalam sebuah wadah kekurangan kelereng adalah kekurangan kapasitas dirinya yang tidak memenuhi wadah dengan tubuhnya. Namun karena tubuh kelereng yang tidak memenuhi wadah itulah yang menjadi syarat kebebasannya untuk bergerak ke mana-mana di dalam wadah tersebut. Setiap pergerakan yang dilakukan oleh kelereng tersebut adalah upaya untuk meninggalkan dirinya dan bertrensendensi dan meninggalkan dirinya menuju yang bukan dirinya. Karena itulah, sang kelereng terus-menerus bergerak meninggalkan dirinya sehingga dirinya senantiasa berada dalam keadaan bukan dirinya.
#Tuhan#perempuan#kelereng#transenden#transendensi#manusia#objektivikasi#subjektivikasi#Plato#Thales#material#nonmaterial#natural#ideal#keabadian#kebebasan#Ketuhanan
5 notes
·
View notes
Text
Seperti Apa Pengalaman Spiritual Itu?
Melanjutkan artikel yang berjudul “Apa Itu Pengalaman Spiritual”,[1] tulisan ini hendak menelisik lebih jauh tentang bagaimana manusia mengalami pengalaman spiritual.
Pada titik tertentu, seseorang bisa saja seseorang mengalami pengalaman spiritual dalam bentuk pengalaman “kesatuan segalanya”. Hal itu terjadi ketika seseorang menemukan inti kesatuan batin segala hal meskipun secara lahiriah tetap tampak ada perbedaan identitas khas masing-masing individu. Pada tingkat yang lebih lanjut, subjek dan objek sudah tidak ada. Semuanya menyatu begitu saja.
Ada juga jenis lain pengalaman spiritual yang bisa bersifat dualistik dan juga bisa pula bersifat monistik. Pengalaman spiritual dualistik berbentuk penyatuan antara subjek dan objek tetapi tidak benar-benar menyatu karena masih jelas mana subjek dan mana objek. Jadi, subjek adalah satu hal, objek adalah satu hal pula, dan pengalaman penyatuan spiritual itu adalah satu hal yang lain. Biasanya, pengalaman spiritual dualistik banyak dipahami pada agama-agama yang konsep Tuhan di dalamnya adalah bersifat terpisah dari makhluk. Karena itu, tidak mungkin terjadi penyatuan.
Pengalaman spiritual monistik sangat berbeda dengan yang dualistik. Pada pengalaman ini, semuanya larut hingga yang ada hanya satu, bukan dua. Pada saat itu, tidak ada lagi perbedaan konseptual antara satu dengan yang lain. Yang ada hanyalah kesadaran itu sendiri, tetapi tidak dihantui oleh kategori-kategori, konsep-konsep, nama-nama, klasifikasi-klasifikasi, dan sebagainya.
Pada pengalaman spiritual dualistik, yang terjadi adalah hilangnya keterpisahan antara manusia dengan Tuhan, namun itu lebih merupakan “persekutuan” daripada penyatuan karena tidak ada penyatuan ontologis, hanya keselarasan. Pada tahap itu, manusia menjadi “seperti Tuhan”, yaitu hilangnya “diri” hamba, tetapi bukan berarti menjadi entitas yang berbeda karena tetap manusia tetap manusia. Salah satu perumpamaan yang bisa menggambarkan adalah masuknya setetes air tawar ke dalam samudera sehingga yang ada hanyalah rasa dan warna samudera. Saat itu, manusia fana dan yang baqa hanya Allah SWT. Ada juga pengalaman spiritual yang bersifat negatif, yaitu pengalaman yang tak terkatakan dan tak terlukiskan. Kesemua pembahasan sebelumnya tentang kategori pengalaman spiritual lebih merupakan perlukisan tentang pengalaman itu. pengalaman spiritual yang bersifat negatif enggan menggambarkan pengalamannya karena memang tidak tergambarkan. Menurut pengalaman ini, apapun yang dikatakan tentang pengalaman spiritual itu, maka pastilah bukan itu. Kalaupun dicoba gambarkan, maka bisa dengan cara negatif, yaitu menyebutkan yang bukan itu.[]
[1] https://www.tumblr.com/lamuide/750187145161015296/apa-itu-pengalaman-spiritual?source=share
0 notes
Text
Seks, Gender, dan Feminisme Selayang Pandang
Feminisme adalah sebuah paham yang meyakini telah terjadi subordinasi atas perempuan karena jenis kelamin mereka dan itu terjadi di semua institusi dan praktik sosial. Untuk itulah, feminisme melancarkan aksi yang memberikan perhatian penataan kehidupan sosial yang sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Target feminisme adalah mengonstruksi strategi politis untuk mengintervesi kehidupan sosial demi kepentingan perempuan.
Feminisme ternyata tidak satu kategori. Dari banyak kategori itu, ada yang saling berbeda dengan cukup dalam. Misalnya feminisme liberal dan feminisme sosialis. Bagi feminisme liberal, tidak ada masalah dengan sistem ekonomi yang sedang berlaku yaitu ekonomi liberal-kapitalis. Masalahnya hanya pada kesempatan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki di semua bidang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Adapun bagi feminisme sosialis, ada masalah pada sistem ekonomi kapitalis karena sistem tersebut secara intrinsik memang menindas perempuan. Karena itu, sistem ekonomi kapitalis harus diruntuhkan jika kesetaraan hendak diwujudkan. Di antara bentuk penindasan intrinsik terhadap perempuan adalah perempuan sebagai tenaga kerja fisik siap pakai karena tercipta untuk terlatih memberi makan, memakaikan pakaian, mengasuh, dan lain-lain. Bahkan perempuan sudah disiapkan pula secara kultural untuk menjadi angkatan kerja yang efektif karena telah dilatih untuk sabar, sopan, patut, disiplin, menghormati otoritas, dan lain-lain. Secara kultural pun, perempuan tidak perlu digaji mahal karena mereka masih memiliki ruang untuk bekerja yang lain, yaitu di rumah. Kapitalisme sangat suka dengan kenyataan seperti ini.
Selain kategori feminisme di atas, ada pula kategori feminisme yang “agak laen”, yang bernama feminisme perbedaan. Feminisme ini justru mengakui adanya perbedaan esensial antara perempuan dengan laki-laki dan itu tidak dapat dan tidak perlu diubah. Perbedaan tersebut bisa dari segi budaya, psikis, hingga biologis. Semuanya esensial. Bahkan perbedaan itu justru memberikan peluang keistimewaan bagi perempuan dibandingkan laki-laki. Problem pada feminisme perbedaan adalah seringnya gagal untuk melihat penindasan hingga dalam ukuran tertentu menganggapnya kewajaran.
Ada juga kategori bernama feminisme kulit hitam. Kategori ini memahami bahwa dominasi kulit putih atas kulit hitam yang juga terjadi pada laki-laki berawal dari kolonialisme yang memang dilakukan dilakukan oleh negara-negara dengan warga kulit putih terhadap negara-negara dengan warga kulit berwarna, terutama hitam. Dampak terburuk dari kolonialisme itu adalah perbudakan atas kulit berwarna.
Feminisme kulit hitam memahami bahwa mereka tidak hanya dijajah oleh penjajah kolonial kulit putih tetapi juga dijajah oleh laki-laki kulit hitam atau pribumi. Jadi, penjajahan atas mereka berlapis-lapis. Dampak dari itu adalah mereka tidak memiliki hak berbicara tentang diri mereka sendiri dan kalaupun itu ada, tidak ada telinga milik kulit putih maupun milik pribumi yang bersedia mendengarkannya. Mereka hampir-hampir tidak memilik hak apa-apa.
Namun ada ketegori feminisme yang jauh lebih kritis daripada semua yang sebelumnya adalah feminisme pascastrukturalis atau postrukturalis. Menurut feminisme ini, jangankan gender, seks pun merupakan konstruksi sosial dan budaya. Ketika sudah ada kategori perempuan/laki-laki, maka mau tidak mau sudah ada makna intrinsik di sana di mana perempuan adalah subordinat laki-laki. Seorang bayi yang baru lahir sesungguhnya belum memiliki kategori apa-apa selain seks, tetapi mengapa masyarakat sudah menunjukkan sikap berbeda terhadap bayi perempuan dan laki-laki? Itu bukti bahwa seks pun sudah terjangkiti konstruk budaya, bukan hanya gender.
Kritik feminisme sosial terhadap kapitalisme sesungguhnya tidak mengakar menurut feminisme pascastruktural karena pembedaan perempuan dan laki-laki di ruang publik sesungguhnya berakar dari pembedaan penamaan perempuan dan laki-laki itu sendiri yang sudah mengandung makna yang tidak setara sejak dini. Bahkan kategori feminitas dan maskulinitas pun harus dibongkar karena mau tidak mau, feminitas menunjukkan kelemahan dan itu menempel pada seks perempuan dan maskulinitas menunjukkan kekuatan dan itu menempel pada seks laki-laki. Menurut feminisme pascastruktural, penamaan perempuan dan laki-laki, feminin dan maskulin, dan sebagainya adalah cara mendeskripsikan dengan tujuan untuk mendisiplinkan dan mengatur subjek manusia. Feminisme pascastruktural memberikan penekanan kepada kebudayaan, representasi, bahasa, kekuasaan, dan konflik untuk memperjuangkan kesetaraan.
#feminism#feminisme#gender#seks#perempuan#laki-laki#ruang publik#feminis#feminin#maskulin#feminitas#maskulinitas#feminisme liberal#feminisme sosial#feminisme kulit hitam#feminisme pascastrukturalis#feminisme postrukturalis#feminisme pascakolonial#kapitalisme#sosialisme#penjajah#pribumi#feminisme perbedaan
0 notes
Text
Jangan Nabi Muhammad Saw, Jangan Dulu
Aku dikejar-kejar oleh kebenaran yang begitu saja aku yakini meski tidak begitu kupahami dari mana asalnya. Jangan-jangan itu berasal dari bisikan entah dari mana tapi pasti ada. Aku yakin itu. Aku tahu memberi itu baik dan aku tidak tahu mengapa aku mengetahuinya.
Aku gantian mengejar kebenaran itu tetapi mulai kuragukan jika kebenaran semata-mata berasal dari luar diriku dan aku mulai mendialogkan kebenaran yang datang dari dalam diriku dengan berasal dari luar. Kadangkala aku mendialogkannya dengan diriku sendiri.
Lalu kusadari bahwa aku terbatas dalam hal mencari kebenaran yang kuyakini ada itu. Rasioku terbentur dinding keterbatasannya sendiri. Realitas yang hendak kupahami pun tidak secara utuh menampakkan dirinya padaku. Rasioku yang terbatas terbentur penampakan yang bukan hakikat sesungguhnya.
Jangan-jangan keyakinanku tentang rasioku yang terbatas tidak lah benar. Bukankah keyakinan itu lahir dari rasioku yang terbatas? Jadi, kesimpulannya itu layak diragukan. Sebaiknya aku kembali kepada keyakinan superioritas rasioku.
Dengan rasioku, seharusnya segala apapun yang ada harus dipahami secara rasional. Ilmu pengetahuan lahir dari keyakinan atas superioritas rasio. Aku pun memasuki era kemajuan dan modernitas yang tak terbayangkan olehku sebelumnya. Pada tahap ini, rasioku memang menentukan tetapi yang lebih menentukan adalah realitas di luar rasioku karena kebenaran harus berkorespondensi dengannya.
Belum 300 tahun sejak keyakinanku kepada rasio terbukti membawa kemajuan, aku kecewa. Kemajuan teknologi merusak manusia dan habitatnya. Aku terancam punah. Rasioku kembali menjadi pesakitan. Jangan-jangan rasioku tidak semewah yang kuduga. Atau jangan-jangan aku telah menunggangi rasioku demi hasrat liarku yang sesungguhnya jahat dan merusak. Barangkali juga tidak merusak, hanya egois.
Apakah aku egois karena aku sendiri? Mungkinkah aku melakukan sesuatu semata-mata karena aku? Sepertinya tidak. Aku memang ada tetapi dunia sekelilingku juga turut membentuk siapa aku dan egoku. Aku tidak boleh mengabaikan itu.
Rasioku pernah kuyakini sebagai penentu realitas, tetapi aku berubah dan menganggap rasioku memang ditentukan oleh realitas di luarnya karena harus berkorespondensi dengannya. Lalu aku kembali berubah menganggap rasioku penentu realitas, tapi rasio ini jangan-jangan rasio yang jahat dan berakibat aku dan bumi binasa.
Lalu aku kembali berubah aku tidak bisa menyalahkan begitu saja rasioku. Realitas ini turut membentuk rasioku. Jadi, dia punya andil yang tidak remeh.
Saat rasio sudah sedemikian berjaya, rasio tidak lagi memikirkan hakikat dan tujuannya. Dia lebih sibuk merumuskan alam semesta semata-mata untuk menemukan hukum-hukum dasar yang berlaku padanya. Hukum-hukum itu menjadi jauh lebih penting daripada alam semesta itu sendiri. Eksploitasi alam semesta dan manusia semakin menjadi-jadi.
Sampai di sini, aku bisa berkaca kepada semua yang telah aku lakukan dan bagaimana rasioku bekerja. Tampaknya tidak ada yang benar-benar rasional dan ilmiah setelah sekian lama rasioku telah menghasilkan peradaban yang sedemikian maju. Semua tidak lebih daripada proses anarkis yang menabrak semua yang tidak rasional dengan cara-cara yang juga tidak rasional.
Akupun mulai bertanya-tanya. Jangan-jangan rasio dan realitas aku andaikan ada dan saling berinteraksi sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah bahasa. Ya, katakanlah rasioku dan realitas adalah sama-sama realitas. Di luar itu hanya ada bahasa. Jadi, yang ada hanyalah bahasa dan realitas dalam posisi bahasa adalah realitas yang sesungguhnya, bukan realitas. Kalaupun realitas ada, maka itu adalah realitas bahasa.
Jangan-jangan benar apa yang disebutkan di atas. Andaikan manusia tidak ada, apakah segala yang tampak ini ada? Kalaupun ada, ada seperti apa? Bukankah kehadiran kita yang membuat segalanya jadi ada? Lalu, andaikan manusia ada, tapi tidak ada bahasa. Bagaimana mungkin semuanya ada tanpa bahasa? Manusia tanpa bahasa sama seperti tumbuhan, hewan, dan bebatuan. Manusia tanpa bahasa, tidak ada manusia. Alam semesta tanpa manusia, tidak ada alam semesta.
Apapun itu, bahasa memang telah menjadi sarana yang tiada tara dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban berutang besar kepada bahasa. Namun, ilmu pengetahuan dan teknologi hadir untuk menaklukkan. Barangkali sudah menjadi tabiat ilmu pengetahuan untuk itu. Ilmu pengetahuan melahirkan rumusan-rumusan yang tujuannya adalah penaklukan. Memahami berarti menguasai hingga mengeksploitasi. Meski seharusnya tidak begitu, itulah kenyataannya.
Apa yang tersisa dari puing-puing yang diakibatkan oleh penaklukan dan penjajahan? Tidak ada, kecuali bahwa kebenaran tidak lagi penting. Jika keinginan bisa tercapai tanpa kebenaran, mengapa harus benar?
Apa itu keinginan? Keinginan adalah segala hal bertaut dengan kepentingan aku seperti ideologi, keyakinan, identitas, dan lain-lain. Semua bukan hanya tidak harus benar, tetapi juga harus hidup meskipun itu berarti semua selainnya harus mati.
Contoh bentuknya yang parah adalah pro-Jo atau anti-Jo. Kebenaran layu di hadapan keduanya karena keduanya punya prinsip yang penting kami dan bukan mereka. Contoh lain adalah yang penting agama ini dan bukan yang lain.
Pada titik yang jauh lebih parah, pro-Jo atau anti-Jo tidak lagi penting karena yang penting adalah menang. Besok pro-Jo dan lusa anti-Jo sama sekali tidak penting. Ideologi yang awalnya mendingan daripada tidak ada kesetiaan sama sekali menjadi turun lebih hina karena yang penting menang dan ideologi hanyalah jualan.
Di era seperti disebutkan di atas, aku merindukan masa silam saat-saat rasionalitas masih bisa diperpegangi. Masa-masa itu mungkin tidak lagi pernah kembali karena harus kuakui bahwa rasionalitas juga penuh bopeng. Rasionalitas tetap harus dikawal oleh semacam nurani agar tidak sama sekali semaunya.
Nurani siapa yang menjaga rasionalitas? Nurani aku? Jangan percaya! Aku masih terpenjara hasrat-hasrat rendah, kadang seksual, kadang sensual. Nurani kamu? Ah, kamu dan aku sebelas dua belas.
Sebaiknya kita menunggu datangnya seorang nabi. Nabi seperti Nabi Musa as? Jangan, beliau terlalu rasional. Nabi Isa as? Jangan, beliau terlalu spiritual. Nabi Muhammad Saw? Jangan. Paling tidak jangan sekarang. Kita membutuhkan syafaat beliau di Akhirat. Barangkali jauh lebih baik Nabi Adam as. Beliau berani berbuat meski terancam salah. Namun, beliau bersedia memperbaiki diri jika salah meski dihukum harus turun ke bumi. Lagian, bukankah memang beliau adalah Khalifah? Mengapa harus Nabi Adam as? Bukankah ada kita? Bukankah kita adalah keturunan Nabi Adam as tanpa harus tes DNA? Ya, kita. Kamu dan aku.[]
0 notes
Text
Bagaimana Jika Ceritanya Begini
Agama dan ketakutan (dan juga kebodohan) adalah dua hal yang senantiasa berkawan. Ketakutan berasal dari ketidaktahuan dan melahirkan ketidaktahuan tingkat lanjut. Di saat seperti itulah manusia membutuhkan agama. Jika agama sering melanggengkan ketakutan (dan juga kebodohan), maka barangkali memang hanya dengan seperti itu, agama bisa bertahan hidup.
Saat ketakutan melanda, agama datang memberikan harapan. Tapi, bukankah itu aneh? Agama sendiri yang memendarkan ketakutan lalu agama datang menjajakan harapan. Itu seperti dukun yang menyebarkan penyakit lalu dukun itu sendiri yang manawarkan obatnya. Mungkin juga mirip pemuka agama yang senantiasa menebarkan ketakutan tentang penderitaan dunia serta akhirat yang disebabkan oleh pembangkangan manusia untuk beribadah. Lalu pemuka agama itu hadir dengan khotbah-khotbahnya yang berisi harapan. Lalu, apakah manusia menjadi selamat karenanya? Belum tentu. Yang pasti pemuka agama itu hidup nyaman dari bayaran atas khotbah-khotbahnya.
Salah satu yang menjadi tawaran agama adalah perdamaian manusia, tapi berapa abad dari usia manusia yang harus berisi pertumpahan darah atas nama agama? Sepuluh abad? Lebih dan masing berlangsung! Lihatlah Israel vs Palestina! Itu bukti betapa dustanya khotbah-khotbah para pemuka agama. Sebuah pembelaan klasik dan hampir-hampir basi pasti terlintas di benak. “Itu bukan karena agamanya, tetapi karena pemeluknya.” Jangan-jangan, seandainya tidak ada agama, maka puluhan abad dari usia manusia tidak harus diisi oleh pertumpahan darah.
Perang suci hanyalah bentuk paling mutakhir dan paling bertahan dari dampak agama. Agama-agama yang hampir setua peradaban manusia sudah biasa mengorbankan manusia demi untuk memuaskan tuhan-tuhan mereka. Darah segar serta jantung masih berdegup dalam keadaan luka adalah persembahan paling mulia sebelum kurban-kurban itu mati dalam kesakitan yang amat sangat. Belakangan, darah manusia diganti dengan darah binatang. Tetap saja agama memerlukan darah. Kini darah yang dipersembahkan adalah darah segar orang-orang kafir sebagai tumbal kebahagiaan di nirwana.
Imajinasi bisa membawa kepada agama yang mendaku diri sebagai agama paling benar hingga semua manusia harus menganut agama itu untuk kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat. Setiap agama yang datang belakangan menjadi pengganti bagi agama yang datang lebih dahulu dan otomatis keliru selamanya. Tanpa bisa diragukan lagi, pemikiran seperti itu pasti melahirkan perang tiada henti. Korbannya bukan hanya laki-laki dewasa, tetapi juga anak-anak dan perempuan. Mungkinkah agama berhenti berfikir seperti itu? Sepertinya mustahil. Sepertinya agama memang terlahir untuk seperti itu.[]
0 notes
Text
Mengapa Nabi Muhammad Saw Diutus?
Tentu saja sudah menjadi kehendak Allah SWT bahwa Nabi Muhammad Saw diutus ke muka bumi untuk membawa ajaran bernama Islam. Namun, pertanyaan tentang mengapa Nabi Muhammad Saw diutus tetap saja sesuatu yang layak diajukan. Jika mengingat bahwa setiap sesuatu pasti ada sebab dan sejarah yang mengakibatkan kehadirannya, maka ada kemungkinan pengutusan Nabi Muhammad Saw juga ada sebabnya. Paling tidak ada sebuah konteks sebelum dan pada waktu Nabi Muhammad Saw diutus yang layak dianggap sebagai latar belakang Nabi Muhammad Saw diutus.
Salah satu jawaban yang sering disampaikan adalah bahwa Nabi Muhammad Saw diutus dalam konteks teologis. Maksudnya, keyakinan masyarakat sekita Nabi Muhammad Saw mengalami degradasi yang sangat parah hingga mereka kembali menyembah berhala, padahal para nabi sebelumnya sudah memperjuangkan hilangnya berhala dari kehidupan masyarakat, terutama yang terkenal adalah Nabi Ibrahmi as yang disebut-sebut sebagai Bapak Monoteisme karena menjadi kakek moyang dari penyeru agama monoteis terkenal seperti Yahudi, Nasrani, hingga Islam. Tidak tanggung-tanggung, pemberhalaan itu terjadi di tempat yang paling suci yang justru didirikan oleh Nabi Ibrahim as sendiri, yaitu Makkah dan sekitarnya. Sampai-sampai di sekitar Ka’bah disebutkan ada hingga 360 patung berhala dari berbagai umat dan dalam berbagai bentuk.
Jawaban lain yang juga sering disampaikan—dan juga masin dalam konteks teologis—adalah kenyataan degradasi yang terjadi pada dua agama monoteis sebelumnya yaitu Yahudi dan Nasrani. Kabarnya, Yahudi dan Nasrani tidak lagi mengikuti ajaran sesungguhnya dari nabi yang membawanya yaitu Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Telah terjadi banyak perubahan-perubahan di dalam kedua agama tersebut yang dilakukan oleh umatnya sendiri. Karena itulah Nabi Muhammad Saw diutus.
Selain jawaban teologis, ada pula jawaban yang lebih bersifat moral dan cenderung personal. Maksudnya, Islam lahir karena kegelisahan moral dan personal seorang Nabi Muhammad Saw yang membuatnya bermenung di sebuah tempat sepi hingga turun Al-Qur`an sebagai hasil dari permenungan tersebut untuk menjadi pedoman Nabi Muhammad Saw dalam upaya memberantas problem moral yang menurut Nabi Muhammad Saw tidak beres.
Ketidakberesan moral yang dianggap ada oleh Nabi Muhammad Saw pada masyarakat Makkah adalah perbudakan, ketimpangan ekonomi, pelecehan terhadap perempuan serta janda-janda, hingga ketidakpedulian terhadap anak yatim. Perbudakan dan ketimpangan ekonomi adalah dua hal yang berkaitan karena perbudakan dilestarikan adalah demi kepentingan ekonomi yaitu agar ada pihak yang terus-menerus dieksploitasi dan dipekerjakan tanpa harus diberi upah yang layak agar tidak mengganggu tumpukan harta yang dimiliki oleh orang-orang kaya. Nabi Muhammad Saw memang bukan budak tetapi beliau termasuk yang secara ekonomi lemah.
Pelecehan terhadap perempuan serta janda-janda juga berkaitan dengan perbudakan dan ekonomi karena perempuan tanpa kekuatan ekonomi mengalami ketidakadilan yang hampir sama dengan yang dialami oleh para budak. Dalam hal-hal tertentu, budak lebih berguna bagi masyarakat Makkah pada waktu itu daripada perempuan karena paling tidak budak laki-laki bisa dijadikan pasukan perang, sedangkan perempuan tidak mungkin. Masa itu adalah masa ketika pertempuran antarsuku masih sangat sering terjadi. Nabi Muhammad Saw tentu saja bukan perempuan tetapi kelemahan ekonomi membuatnya bisa saja setara dengan kelemahan posisi perempuan.
Adapun tentang ketidakpedulian terhadap anak yatim, maka itu sepertinya cukup personal bagi Nabi Muhammad Saw karena beliau termasuk di dalamnya. Diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw lahir saat ayahnya telah tiada. Dalam usia yang sangat belia, ibunya pun wafat hingga harus ikut kepada kakeknya. Belum cukup dewasa, sang kakek pun wafat sehingga harus ikut pamannya. Kenyataan itu cukup menggambarkan betapa tidak nyamannya Nabi Muhammad Saw sebagai seorang anak yatim.
Dua penjelasan tentang mengapa Nabi Muhammad Saw diutus di atas menyebutkan dua yang bersifat teologis dan satu yang bersifat moral-personal. Penjelasan pertama memberikan pesan bahwa tidak boleh ada penyembahan kepada sesama makhluk dan itu berkaitan dengan penjelasan ketiga yang bersifat moral-personal yaitu tidak boleh ada perbudakan. Perbudakan adalah bentuk lain dari penyembahan kepada sesama makhluk. Karena itulah, bahasa Arab untuk budak adalah عبد yang berarti “hamba”. Tegasnya, pesan yang hendak disampaikan adalah bahwa tidak boleh makhluk memperhamba/memperbudak makhluk lain dan tidak boleh makhluk menghambakan/memperbudak diri di hadapan makhluk lain karena pada dasarnya seluruh makhluk setara.
Penjelasan kedua tentang Yahudi-Nasrani juga memberikan sebuah pesan bahwa tidak boleh ada perubahan pada ajaran Islam yang telah ada. Bukan berarti dinamika dan upaya untuk menyesuaikan dengan zaman tidak boleh, tetapi jika sudah terlampau jauh hingga berubah dari menyembah Allah SWT kepada menyembah selain-Nya, maka itu tidak boleh. Sesungguhnya hal ini lebih kepada wilayah batin daripada lahir. Salah satu contohnya adalah di dalam bahasa Bugis, Tuhan disebut dengan “Puang” atau lebih lengkapnya “Puang Allah Ta’ala”. Bahasa Bugis untuk untuk orang yang dihormati, salah satunya adalah juga sebutan “Puang”. Meski sama dalam penyebutan, tetapi sudah pasti orang Bugis tidak akan berubah menjadi penyembah berhala atau mengubah ajaran Islam hanya karena itu karena pada batinnya orang Bugis, tetapi saja “Puang” yang pertama dengan “Puang” yang kedua berbeda meskipun secara lahirnya mirip.
Jadi pesan yang hendak disampaikan lewat kritik terhadap ajaran Yahudi-Nasrani yang telah berubah itu bukanlah untuk mengubah Yahudi-Nasrani kepada bentuk asalnya karena itu urusan penganut dua agama itu sendiri dan bukan urusan umat lain termasuk umat Islam. Pesan yang hendak disampaikan pelajaran tentang tidak bolehnya ajaran agama diubah, misalnya berubah menjadi menyembah Tuhan selain Allah SWT. Penjelasan tentang mengapa Nabi Muhammad Saw diutus yang sempat ditulis pada tulisan ini hanya tiga. Tidak tertutup kemungkinan ada penjelasan-penjelasan lain yang lebih mudah dipahami atau lebih akurat.[]
#Nabi Muhammad Saw#Yahudi#Nasrani#Puang#Bugis#Islam#hamba#monoteisme#perbudakan#perempuan#janda#Allah SWT#Nabi Musa as#Nabi Isa as#teologis#moral#personal#anak yatim#Nabi Ibrahim as#berhala#patung#Kabah#Ka'bah#Makkah#ketimpangan ekonomi#ajaran Islam#islamsesungguhnya
0 notes
Text
Apa Itu Pengalaman Spiritual?
Definisi yang Selalu Gagal
Pengalaman mistik atau pengalaman spiritual tidak pernah sama antara satu orang dengan orang lain atau antara satu keyakinan dengan keyakinan lain atau paling tidak tidak ada kemungkinan untuk mengonfirmasi kesamaannya atau juga perbedaannya. Penyebabnya adalah pengalaman tersebut non indrawi hingga tidak ada standar baku tentang persamaannya dan perbedaannya dengan pengalaman orang lain. Karena itu, juga tidak mungkin mengukur kekeliruan atau kebenarannya.
Contoh pengalaman spiritual adalah pengalaman “menyatu dengan Tuhan” atau “menyatu dengan alam semesta”. Menyatu tidak mesti berarti ada “penggabungan” dua entitas atau “penyerapan” satu entitas oleh entitas lain. Bisa saja menyatu itu lebih merupakan sebuah “kontak” sehingga hamba tetap hamba dan Tuhan tetap Tuhan sebagai entitas yang tidak menyatu, hanya berhubungan secara intensif.
Karena melampaui pengalaman indrawi, maka pengalaman spiritual tidak mudah didefinisikan. Objek (jika bisa disebut begitu) dari pengalaman spiritual memang juga bukan objek indrawi biasa. Pengalamannya tidak indrawi dan objeknya juga tidak indrawi, namun hasil dari sebuah pengalaman spiritual adalah sebuah pengetahuan. Tentu saja pengetahuan di sini bukan pengetahuan indrawi pula karena realitas yang menjadi “objek” juga tidak dapat diakses melalui persepsi indra biasa.
Pengalaman spiritual benar-benar personal sehingga bahkan mereka yang mengakui bahwa pengalaman seperti memang ada pun tetap mengalami pengalaman spiritual yang tidak sama satu sama lain. Meski demikian, bisa saja sebuah definisi disepakati bersama dengan catatan bahwa pengalaman masing-masing orang tetap tidak pernah sama.
Saking personalnya sebuah pengalaman spiritual, maka bahkan terjadi tanpa media apapun. Indra sesungguhnya adalah media yang mengantarai antara “subjek” yang mengalami dan “objek” yang dialami. Pengandaiannya adalah bahwa jika ada semacam media sebagai alat, maka alat tersebut bisa dipakai juga oleh orang lain dank arena itu, bisa didiskusikan kebenarannya. Karena pengalaman spiritual adalah tanpa media, maka sering pula disebut “pengetahuan melalui partisipasi” dan juga “pengetahuan melalui kehadiran”.
Salah satu bentuk pengalaman spiritual adalah kesadaran (subjek) akan (objek) Tuhan yang menghasilkan kesadaran lanjutan tentang ketergantungan subjek sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam hal ini, tampak ada dua entitas, yaitu subjek dan objek. Namun bisa juga ada bentuk berbeda yaitu kesadaran subjek sebagai entitas yang tidak kekal. Pada yang kedua ini, yang ada hanya subjek dan tidak ada objek.
Kisah Pengalaman yang Juga Selalu Gagal
Setelah terjadi pengalaman spiritual, ada semacam problem tersendiri bagi yang mengalami dan hendak memberikan semacam konseptualisasi atau pengisahakan atas pengalamannya tersebut. Sekali lagi, problem itu ada karena pengalaman tersebut tidak indrawi dan “objek”-nya pun tidak indrawi. Bagaimana tidak menjadi problem tersendiri jika sebuah pengalaman yang melampaui indra hendak dikisahkan dalam bentuk yang harus tunduk kepada indera seperti bahasa, kosa kata, dan ungkapan yang seluruhnya hanya bisa dipahami jika direlasikan dengan realitas indrawi.
Agama biasanya didefinisikan lewat teologinya yang memang selain dihadirkan untuk menjelaskan agama itu sendiri juga dihadirkan untuk membedakan satu agama dengan agama lain. Bahkan pembedaan adalah inti dari setiap agama dan persamaan adalah nista bagi agama. Tentu yang dimaksud adalah teologinya, juga ritualnya. Pembedaan terus-menerus dihembuskan dengan alasan untuk menghindari kekafiran karena persamaan berarti kekafiran.
Pengalaman spiritual tidak terlalu hendak membedakan dirinya dengan yang lain karena pengalaman spiritual memahami bahwa memang tidak mungkin ada pengalaman yang sama karena pengalaman selalu personal. Bagaimana mungkin pengalaman yang personal disamakan dan juga bagaimana mungkin dibedakan?
Pengalaman spiritual sesungguhnya adalah pencapaian yang tidak hanya tentang kesadaran semata, tetapi juga tentang bagaimana cara hidup dipengaruhi olehnya. Pengalaman spiritual bukan hanya peristiwa sesaat tetapi berlangsung secara kontinyu dalam kehidupan sehari-hari dan berpengaruh terhadapnya. Pengalaman spiritual selalu menekankan kepada kesadaran “ketergantungan mutlak”. Bukankah itu bukan teologi? Bukankah itu menjadi inti agama-agama?[]
#spritual#pengalaman spiritual#Tuhan#teologi#indrawi#agama#menyatu dengan Tuhan#menyatu dengan semesta
0 notes
Text
Jangan-jangan Tuhan adalah Individu
“Mengenal” Tuhan adalah Problem
Kata “mengenal” adalah problem tersendiri jika yang dikenal adalah Tuhan. Di situ sisi akal tidak dapat dibendung agar tidak berfikir tentang Tuhan dalam upaya mengenal-Nya, tetapi di sisi lain ada keyakinan bahwa Tuhan selalu lebih besar daripada jangkauan fikiran manusia. Lalu, hasil fikiran manusia pastilah melahirkan rumusan-rumusan tentang Tuhan padahal rumusan tersebut pastilah “membatasi” Tuhan itu sendiri yang di sisi lain diyakini tidak terbatas.
Hasil-hasil dari rumusan tentang Tuhan pun sering menjadi problem tersendiri. Misalnya, Tuhan Maha Pengasih dan juga Maha Adil. Saat seseorang berdosa, apakah Maha Kasih Tuhan yang berlaku sehingga orang tersebut diampuni atau Maha Adil Tuhan yang Berjaya sehingga sang pendosa dimasukkan neraka? Jadi, “mengenal” Tuhan adalah problem.
Barangkali problem “mengenal” Tuhan disadari oleh beberapa pihak sehingga muncul berbagai rumusan tentang Tuhan yang kira-kira bisa terlepas dari problem. Salah satunya adalah pemahaman tentang Tuhan sebagai causa prima atau penggerak yang tidak bergerak yang memanga tampak tidak lagi dipusingkan oleh kontradiksi pada rumusan-rumusan tentang Tuhan. Tapi, bagi yang memahami Tuhan sebagai sesuatu yang aktif memengaruhi jalannya kehidupan dan bisa disapa dalam setiap doa, pemahaman Tuhan sebagai causa prima terasa kurang karena mengandung indikasi Tuhan tidak berbuat apa-apa.
Kemungkinan Tuhan Sebagai Individu
Gambaran Al-Qur`an tentang Tuhan senantiasa mengesankan bahwa Tuhan adalah individu. Tuhan menciptakan, memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan, menjadi hakim pada Hari Perhitungan, mengampuni yang bertaubat, Maha Hidup, Maha Aktif, menghidupkan, mematikan, hingga menjawab doa-doa. Individualitas Tuhan begitu jelas di dalam QS. Al-Ikhlas/112, “Dia”, “Esa”, dan “Satu” adalah ungkapan yang mau tidak mau membawa kepada kesan individualitas-Nya.
Invidualitas Tuhan dalam QS. Al-Ikhlas/112 memuncak dalam kata “Dia”, tetapi ada yang lebih puncak daripada itu adalah kata “Engkau” yang menjadi kata yang paling akrab bagi mereka yang berdoa kepada-Nya kala yang ada hanya pendoa dengan dirinya sendiri dan Tuhan dengan diri-Nya sendiri pula. Kata “Dia” mungkin masih mencakup pemahaman tentang Tuhan sebagai causa prima, tetapi kata “Engkau” tidak mencakup itu. Individualitas “Engkau” lebih kuat daripada “Dia”.
Namun, bagaimana mendamaikan antara individualitas Tuhan dengan ketakterbatasan-Nya? Individualitas Tuhan adalah unik, sempurna, dan sejati. Individualitas selain Tuhan memang mengalami problem keterbatasan karena individualitasnya memang hadir untuk membatasi dirinya sendiri, bukan untuk membebaskan. Berbeda dengan individualitas Tuhan yang justru hadir untuk membebaskan diri-Nya. Individualitas Tuhan membuat tidak ada selain-Nya yang berhak menyatakan diri sebagai individu. Individualitas Tuhan membuat selain-Nya bukan individu, bahkan bukan eksistensi.[]
2 notes
·
View notes