Tumgik
#Sekali bijaksana
trisfant · 2 years
Text
Sekali bijaksana, tidak selama-lamanya bijaksana (Amsal 4:4-9)
Amsal 4:4-9 aku diajari ayahku, katanya kepadaku: “Biarlah hatimu memegang perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan hidup. (5) Perolehlah hikmat, perolehlah pengertian, jangan lupa, dan jangan menyimpang dari perkataan mulutku. (6) Janganlah meninggalkan hikmat itu, maka engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaganya. (7) Permulaan hikmat ialah:…
View On WordPress
0 notes
arioagio · 4 months
Text
31 Mei 2024
Kalau ditanya bagaimana di hari ini, ya masih sama saja. Seperti biasa. Masih berjuang. Masih sering menangis. Masih sering kecewa. Masih sering mencoba.
Belum semua dapat tercapai karena masih butuh proses. Proses yang terus membuat diri menjadi berkembang dan bijaksana.
Mungkin hasilnya belum maksimal, tapi kecil sekalipun harus disyukuri. Tidak ada yang instan. Butuh waktu. Butuh kesabaran.
Semua pasti indah pada waktuNya. Terus bersabar, terus mencoba, terus berdoa.
Pasti bisa.
--- @arioagio
3 notes · View notes
kurniawangunadi · 1 month
Text
Memandang Hidup Lebih Dalam
Hidup ini bergulir dengan jalan ceritanya, namanya takdir atau kita kenal sebagai Qada dan Qadar. Salah satu rukun yang perlu kita imani. Secara harfiah, bisa kita artikan jika kita tidak meyakini takdir kita sendiri = kita tidak beriman.
Keadaan kita saat ini, adalah yang terbaik. Masa lalu kita, darimana kita berasal, dari siapa kita dilahirkan, dengan segala dinamikanya, itu adalah yang terbaik. Memang susah sekali untuk meyakininya bahwa itu adalah yang terbaik, sebab saat kita menjalaninya saat ini rasanya jungkir balik, bahkan berobat rutin dengan antidepresan, dan sebagainya.
Tapi coba lihat lagi kehidupan kita ini, lebih teliti. Bagaimana selama ini rezeki kita dicukupkan, bagaimana selama ini kita bisa bertahan, bagaimana selama ini semua rentetan kejadian membuat kita belajar banyak hal. Dan semua hal yang kita miliki itu menjadikan kita seperti sekarang.
Mengimani qada dan qadar ini juga mampu membuat hidup kita lebih tenang, tidak mudah hasad dengan apa yang dicapai orang lain, tidak mudah iri dengan hidup orang lain, dan juga tidak mudah bersedih atas apa yang kita miliki. Karena semua ditakar dengan sangat baik, oleh Yang Maha Adil dan Bijaksana.
Kalau kita merasa kurang beruntung? Apakah memang keadaannya yang kurang beruntung, atau perasaan kita yang menciptakan rasa kurang beruntung karena membandingkan hidup kita dengan yang harapan kita atau dengan yang lain?
Kalau semua orang bisa memiliki rasa cukup dalam dirinya. Bumi ini takkan pernah kekurangan untuk mencukupi kebutuhan milyaran manusia. Tapi sekalinya ada rasa ingin lebih, lebih, dan lebih. Bumi ini takkan cukup untuk keserakahan.
306 notes · View notes
edyyanu · 1 month
Text
Bahasa Cinta-Nya
Banyak bahasa cinta-Nya yang mungkin sebelumnya sulit kita pahami, yang membutuhkan waktu sedikit lama untuk memahami maksudNya.
Ternyata, bahasa cinta-Nya Allah tidak hanya hadir lewat kejadian yang mengenakkan saja ya, bahkan kalau di runtut ke belakang, banyak juga kejadian yang kurang mengenakkan tapi justru itu malah mendekatkan kita kepada-Nya.
Harapan yang dipatahkan, kekecewaan, kegagalan, pengalaman yang kurang mengenakkan ketika bertemu seseorang, dan hal lainnya. Rasa kekecewaan itu yang akhirnya mendekatkan kita kepada-Nya, karena ternyata sadar bahwa kita tidak dapat berdiri di kaki kita sendiri, tidak bisa kita hadapi sendiri. Ternyata benar, kesedihan itu sebenarnya juga perasaan istimewa, karena perasaan itu mendekatkan kita kepada Tuhan.
Aku akhirnya memahami, bahwa apa-apa yang dihadirkan dalam hidup itu sebenarnya juga sebuah nikmat sekaligus ujian. Aku hanya bisa mengusahakan yang terbaik, dan ukuran kebaikan itu tidak pernah dalam ukuran manusia, melainkan ukuran-Nya.
Aku percaya bahwa serangkaian kejadian dalam hidup di masa lalu itu membentuk pribadi kita saat ini, membentuk pribadi yang lebih bijaksana, pribadi yang lebih tenang, lebih bisa berfikir rasional, tidak gegabah, dan lebih legowo. Indah sekali bukan bahasa cinta-Nya?, yang perlu dilatih hanya sabar, sabar menjalani proses.
Banyak cara bagi Allah untuk mengantar kita untuk dekat kepada-Nya. Semoga hal-hal yang hadir di masa lalu mengantarkan ke takdir terbaik kita.
52 notes · View notes
edgarhamas · 1 year
Text
Di Balik Keshalihan Pemuda Ismail, ada Ayah dan Bunda yang Tangguh
(Poin-poin Khutbah Idul Adha yang disampaikan @edgarhamas di Masjid Al Jihad Kranggan, Kota Bekasi 10 Dzulhijjah 1444 H)
Ibrahim, nama mulia itu terulang 69 kali dalam lembar suci Al Qur'an. Beliau, kisahnya menjadi inspirasi bagi milyaran umat manusia. Namun kali ini aku akan mengajakmu lebih dekat dengan sosok istimewa yang tak kalah hebatnya: sang putra, Ismail alaihissalam. Tadabbur tentang beliau akan ku mulai dengan sebuah pertanyaan: di usia berapakah Ismail kecil saat beliau ditinggal di lembah Bakkah bersama ibunya?
Tumblr media
Dalam Kitab Umdatul Qari karya Al Ainiy, kala itu usia Nabi Ismail baru 2 tahun; sedang banyak butuh bonding dengan ayah dan ibunya, sedang saat itu sang ayah pergi ke medan juang di Palestina. Namun lihatlah; sang Ismail bertumbuh menjadi manusia hebat yang lurus pembawaannya, santun akhlaqnya dan lembut budi pakertinya. "Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar..." (QS Ash Shaffat 101)
Betapa takjubnya kalau kita peka, ada fakta penting ketika Ismail mendengarkan perintah Allah lewat lisan ayahnya untuk menyembelihnya. Ayat 102 surat Ash Shaffat mengabadikan momen itu, ketika Nabi Ibrahim berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”
Apa jawaban Ismail? Apakah beliau berkilah? Kabur? Lari tunggang-langgang? Menganggap orangtuanya sebagai toxic?
Ternyata jawaban Ismail begitu tulus sekaligus berhati besar menyambut perintah Allah itu, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Jawaban yang hanya datang dari lisan manusia yang keyakinannya utuh dan murni, akidahnya kokoh tanpa banyak basa-basi. Aku semakin bergetar ketika membaca tafsiran ulama, berapa usia nabi Ismail saat ada di momen berat itu?
Ya, para mufassir mengatakan bahwa kala itu usia nabi Ismail sekitar 13-16 tahun!
Muda, tapi cara pandangnya bijaksana, bahkan melebihi orang-orang yang lebih tua dari beliau. Itulah yang membuatku ingin mengajakmu untuk mentadabburi: apa faktor-faktor yang mampu menciptakan mentalitas seperti yang dimiliki oleh Nabi Ismail muda?
1. Kemurnian Akidah jadi faktor penentu lingkungan sebelum yang lain.
Simak apa yang didoakan oleh Nabi Ibrahim ketika pertama kali menempatkan istri dan anaknya di lembah Makkah, "Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat..." (QS Ibrahim 37)
Tumblr media
Yang jadi faktor utama yang membuat Nabi Ibrahim tenang menempatkan keluarga di lembah Makkah, bukan karena fasilitas, bukan karena resource melimpah; tapi karena di situ ada Baitullah! Dan visi Nabi Ibrahim begitu murni: agar anak keturunannya melaksanakan shalat. Barulah kemudian Nabi Ibrahim melanjutkan doanya sebagai pelengkap, "maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur..." (QS Ibrahim 37)
2. Ayah dan Ibu yang Shalih Shalihah
Ismail muda mendapat contoh terbaik tentang keyakinan total pada Allah sekaligus mentalitas ikhtiar yang terbaik dari ibunya: Ibunda Hajar. Kala Nabi Ibrahim meninggalkan keduanya di lembah Makkah yang tandus tak bertanaman itu, Ibunda Hajar bertanya pada suaminya, "apakah yang engkau lakukan ini adalah perintah Allah?"
Ketika Nabi Ibrahim menjawab, "ya", respon Ibunda Hajar begitu dahsyat, "jika memang begitu, maka Allah sekali-kali tak akan meninggalkan kami!"
3. Kedekatan emosional antara orangtua dan sang anak.
Jika kita memerhatikan, saat Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih Ismail, beliau tidak langsung melakukannya dengan tergesa dan kasar. Tidak. Justru, Nabi Ibrahim dengan bijaknya mengabarkan lebih dulu pada anaknya dengan panggilan yang sangat baik, "yaa bunayya!" Wahai anakku sayang. Dan setelah Nabi Ibrahim selesai menyampaikan perintah Allah itu, beliau mengakhirinya dengan sebuah kalimat dialogis, "Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu..." (QS Ash Shaffat 102)
Seorang anak akan tumbuh mencintai model hidup orangtuanya jika memang terjadi dialog yang hangat dan kedekatan yang baik. Moga kita bisa mengambil inspirasinya!
306 notes · View notes
nonaabuabu · 6 months
Text
Meromantisasi Sendirian
Tumblr media
Aku sendirian itu nggak cuma dalam bentuk aku masih single, tapi aku benaran tinggal sendiri. Semua aktivitas di luar pekerjaan sepenuhnya aku lakukan sendirian.
Ini memasuki bulan ke-enam, kalau sebelumnya aku masih punya teman berbagi banyak kegiatan bersama karena dulu tinggalnya bareng teman lain, sekarang semuanya sendiri. Mulai dari belanja, masak, beresin rumah dan sederet kegiatan lain.
Jujur, lima bulan belakangan aku kesepian. Kalau diingat-ingat ini momen paling panjang aku sendirian, meski udah merantau belasan tahun, aku selalu punya teman dan momen sendiriannya hanya sekali dua kali. Jadi bisa dibilang, ini ujian yang susah sekali dipetik hikmahnya.
Berulang kali aku mencoba bersikap bijaksana, tapi pada akhirnya runtuh lagi dan jadi sesenggukan. Kepala rasanya penuh tapi hidup kosong, konon lagi kantong, melompom. Dan barangkali ini usaha kesekian untuk selamat dari rasa kesepian, ya lagi-lagi meromantisasi sendirian.
Aku baca buku mana aja yang mau aku baca, terlepas isinya ngeselin, menyenangkan atau aku nggak paham. Aku baca buku puisi dengan suara nyaring, seolah-olah aku lagi di pentas musikalisasi puisi, nggak lupa pakai penghayatan dan maki-maki. Aku putar musik genre galau untuk ikutan nyanyi, bertingkah kayak yang punya panggungnya sendiri. Ganti ke musik beat atau rock dan kadang bollywood juga kpop, terus joget asik seolah lagi di dancefloor. Aku masak makanan paling mampu yang kubuat, buat minum segar, dan makan sambil videoin diri sendiri (ini parah sih) biar kayak mukbang ala-ala.
Aku melakukan banyak hal yang menciptakan suasana meningkatkan mood sendiri, meski masih sering ambruk dan tiba-tiba melow berkepanjangan. Siklus berulang yang kadang aku yakinkan, nggak masalah jatuh asalkan aku nggak berencana selamanya di sana. Bahkan kalau mau berenang di tempat yang buat tenggelam, nggak apa-apa. Anggap aja lagi syuting mermaid dan kau adalah antagonisnya (ingat ya antagonis itu juga peran utama).
Mungkin satu-satunya yang nggak kulakukan dalam rangka meromantisasi hidupku yang sendirian ini adalah, menuliskan puisi cinta yang manis. Soalnya urusan itu, cintaku selalu terasa pahit, bahkan mungkin lebih pahit dari empedu. Meski, kayaknya aku mulai ngehalu dengan kisah manis dari buku yang kubaca baru-baru ini.
Tapi meski sebanyak itu yang kulakukan untuk meromantisasi kesendirian, aku nggak mau menyebut itu sebagai self love. Karena konon yang aku dengar, perempuan kalau self love menyenangkan dirinya dengan membeli hal-hal yang dia mau, dan aku belum mampu melakukan itu, dan kalau nanti aku mampu aku mau belajar frugal living dan hidup minimalis. Sekarang kan masih kategori miskin, jadi santai dulu nggak si. Kan nggak akan membeli barang yang nggak berguna juga meski suka. Prioritas kebutuhan masih banyak soalnya.
50 notes · View notes
gizantara · 3 months
Text
Hari ini sebuah kutipan pendek menolongku.
"Cepatlah ikhlas, supaya kamu cepat naik kelas."
Kutipan itu aku baca dari akun instagram (at)rasakebenaran yang merupakan 'akun dakwah' Kristen. Terus gimana ceritanya kutipan itu menolongku?
Tumblr media
Beberapa hari lalu, aku bertemu temanku (dia mungkin membaca ini).
"Aku ngerasa harus nangis deh. Ada sesuatu dalam diriku yang harus di-release tapi bahkan aku nggak ada 'pintu' kesedihan untuk mengakses emosi-emosi ini."
Untuk ukuran orang yang perasa sepertiku, nggak nangis di saat seharusnya nangis tuh bikin hatiku ngerasa nggak fungsional. Ada alarm yang harusnya menyala, kan? Kemudian aku pikir, "apa yang bikin alarmnya mati?"
Menurut pengalamanku, diam adalah respons terakhir ketika semuanya gagal, atau ketika kita merasa kegagalan itu akan terjadi. Ini bersesuaian dengan realita yang aku hadapi di depan. Aku tahu aku akan menyerah dan aku sudah mempersiapkan hati untuk kegagalan (atau penundaan) ini. Katanya, otak kita memang memutuskan semua respons diam/freezing ini secara otomatis yang bertujuan untuk melindungi diri dari rasa kewalahan.
Freezing juga dapat didefinisikan “berpura-pura mati”. Tapi mengaktifkan mode ini setiap hari, secara konsisten dalam jangka waktu yang lama, membuatku menutup diri, atau “mati di dalam”. Hampir mustahil rasanya untuk keluar dari kondisi membeku kecuali/sampai kita merasa aman dalam tubuh kita. Dan akhirnya baru sadar, "lack of support" itulah yang bikin aku ngerasa nggak aman pada siapapun.
Di samping itu, aku juga menghadapi gagal demi gagalku sendirian tanpa punya back up plan selain pasrah. Yang sangat aku butuhkan saat itu adalah seseorang yang ada untuk aku tapi kemudian aku menyadari bahwa cuma aku yang peduli diriku sendiri. Tapi yang kaya gini-gini tuh pasti setiap orang pernah ngerasain (bisa jadi orang lain lebih parah). Cuma belakangan ini, rasanya jadi hampa ketika kehilangan "sense of fight" itu. Mungkin pada dasarnya manusia memang diciptakan untuk berjuang dan bersusah payah, makanya saat aku nggak tau lagi apa yang mau aku perjuangkan, rasanya hampa.
Kayanya aku jadi sadar. Sadar bahwa berkorban itu bukan hanya berjuang mengerahkan sesuatu melainkan ada jenis berkorban dalam konteks berhenti memperjuangkan sesuatu (menyerah berserah).
Benar bahwa sebelum ini aku sudah janji, kalau aku gagal aku nggak akan marah ke Allah. Tapi kayanya sepekan ke belakang, aku jadi marah ke diri sendiri karena nggak bisa berbuat apa-apa ketika semuanya berjalan nggak sesuai rencana. Aku marah ke diri sendiri dan berandai-andai jika saja aku seperti orang lain yang punya sumber daya tertentu untuk menghamba lebih gacor.
Tapi aku salah. Penghambaan terbaik haruslah dimulai dari keridhaan kita terhadap takdir. Jadi baik berhasil atau gagal, selama aku ridha Allah Maha Bijaksana atas setiap percepatan dan penundaannya, itu sudah cukup.
Jadi sekarang nggak mau di mode freezing lama-lama. Aku mau (dan bisa kok) cepat ikhlas, soalnya aku mau naik kelas. Hanya tinggal menunggu waktu untuk aku bisa mencair kembali sepenuhnya dan menyesuaikan bentukku dengan "wadah" yang menampungku (re: Islam), begitu kan sifat benda cair?
Akhir kata, aku menemukan satu doa yang bagus sekali. Rasulullah mengajarkan kita ada baiknya membaca doa berikut ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar.
“Dengan nama Allah yang menguasai diri, harta, dan dinku. Tuhanku, ridhakan aku (kondisikan aku untuk ridha) terhadap ketentuan-Mu (qadha). Berkahilah aku (tambahkan kebaikan) pada semua yang ditakdirkan (qadar) untukku sehingga aku enggan menyegerakan apa yang Kau tunda dan enggan menunda apa yang Kau segerakan.”
— Giza, mudah-mudahan semakin dewasa dalam menyikapi qadha dan qadar Allah dan menerima diperjalankan di sabil apapun selama itu lillah.
27 notes · View notes
itsjournalfi · 4 months
Text
Media sosial jadi tempat menampakan apa yang tidak terlihat di kenyataannya
Kadang bikin bingung nggak, sih ..
Mau menampilkan yang baik-baik saja di medsos takut dibilang sok baik, sok alim, sok paling beriman.
Mau menampilkan segala perasaannya pun dewasa ini ... Buat apa? Siapa peduli?
Ya masa mau menampilkan yang tidak baik?
Kodratnya manusia melihat hal yang baik, dapat membangkitkan motivasi, dan ini yang dibutuhkan saat ini di samping juga banyak sekali postingan tidak terdidik. Hak tubuh mereka diberikan nafas sesuai fitrahnya, bukan melihat keburukan yang padahal ia tak ingin menyaksikan.
Kodratnya manusia ingin menampilkan yang baik-baik, kan?
Jika nanti kita telah tiada, sesuatu yang ditinggalkan tentu yang jadi kebaikan bukan keburukan bagi yang melihatnya.
Kalaupun masih mengambil peran di sudut terkecil, setidaknya untuk hal-hal yang belum baik akan berusaha sesuai apa yang ditampilkan.
Seperti hijab yang membuat empunya semakin memeluk sifat dasar perempuan untuk 'malu,' maka waktu yang akan menjawab, bahwa setiap perjalanan selalu mengharap rida. Makin malu, makin bijaksana dalam bertindak.
Tidak menampakan semua kebaikan di media sosial, pun tidak juga menutupi rasa sedih layaknya manusia punya empati dengan ia bisa mengambil hikmah, sehingga sama2 belajar untuk punya rasa bersyukur lebih banyak.
Media sosial menjadi ranah yang baik jika tau apa yang perlu dan tidak perlu ditampakan.
Kita hanya butuh apa maunya Allah, bukan apa maunya kita apalagi orang lain.
20 notes · View notes
mnurulwathoni · 1 year
Text
Teruntuk seseorang yang akan kutemani kelak dalam kehalalan,sejauh hidup yang telah kutempuh, serumit kisah hidup
yang aku sendiripun sempat tak percaya
entah aku bisa melewatinya atau tidak,
oleh karna itu apa kau tau? nanti, engkau akan menjadi sosok yang sangat berharga dalam hidupku. Karna sejujurnya aku sudah banyak bertemu dengan seseorang yang Allah tidak takdirkan untuk aku mempertanggung jawabkan hidupnya.
Memang banyak cara tuhan untuk mendewasakan, perihal jodoh adalah salah satunya, dan teruntuk orang-orang yang yang telah berhasil menautkan cinta
diatas kehalalan kepada orang yang memang telah lama kau inginkan, bukankah itu adalah satu hal yang akan kau syukuri sepanjang hidupmu? Karna banyak sekali yang gagal bersanding dengan pilihan hatinya,
dan memang begitulah jodoh itu bekerja.
Dan teruntuk kamu yang masih berjibaku,
tidak apa-apa jika saat ini kau hanya mampu memeluk erat harapmu sendiri
nikmati hal-hal sulit yang sudah terlanjur mengunjungimu,
Kadang sesuatu itu akan memiliki nilai lebih manakala ia didampingi dengan
kesulitan tapi percayalah setelahnya pasti akan ada kemudahan.
Semoga ada kekuatan untukmu, semoga dengan kesulitan menjadikanmu lebih bijaksana dan lebih mengerti hidup. Selamat berusaha, semoga segera menemukan bahagia.
SUDUT PANDANG JILID 2
93 notes · View notes
penaalmujahidah · 6 months
Text
Cerita Ramadan
Curhatan Anak di Bawah Tekanan
Salah satu siswa SD kelas 5 bercerita tentang dirinya yang selalu dimarahi ibunya di rumah. Dia dituntut menjadi anak yang sempurna dalam segala hal. Jika sedikit saja malas belajar, ibunya selalu memarahinya dengan teriakan dan bahasa yang kurang pantas. Di semester kemarin, dia juga sempat dimarahi karena rangking dua. Padahal rangking dua sudah sangat hebat menurutku. Tapi bagi ibunya itu masih kurang, karena seharusnya anaknya rangking 1.
Mendengar ceritanya dan gaya dia menirukan teriakan ibunya membuat aku meringis ngilu. Selain itu, yang membuatku ikut sedih adalah saat dia bercerita kalau dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan anak-anak teman ibunya yang lebih baik dalam segala hal. Pasti tidak mudah baginya menjalani hari-hari di bawah tuntutan orang tua. Apalagi selalu dibanding-bandingkan. Perasaan itu membuat dirinya merasa tidak berharga. Padahal tidak ada dari kita yang mau dibandingkan bahkan dengan saudara kembar sekali pun.
Pernah suatu ketika dia menceritakan bahwa ibunya sangat ingin dia lahir pada tanggal cantik, hanya agar mendapat hadiah dari kantor tempat bapaknya bekerja. Ya salaam... Aku sampai tak habis pikir. Mengapa ada orang tua yang menjadikan anaknya sebagai alat beradu gengsi. Meskipun mungkin maksud orang tuanya itu baik. Tapi itu membuat anaknya tertekan. Si anak bilang, dia tidak berani membantah ibunya, tapi dia sendiri merasa lelah dengan segala tuntutan yang ditujukan padanya.
Aku memang belum menjadi orang tua, tetapi sedikit demi sedikit aku mulai belajar parenting lewat webinar, buku-buku, juga dari apa yang aku dengar dan saksikan langsung melalui orang-orang sekitar, termasuk cerita-cerita murid-muridku yang curhat. Mendengar cerita-cerita mereka membuat aku berpikir tentang bagaimana nanti aku menjadi orang tua, meskipun aku tidak tahu apakah akan sampai pada masa itu atau tidak.
Guruku pernah bilang, "Saat kau menjadi guru, jangan meminta murid untuk memahamimu. Karena mereka belum pernah menjadi guru. Saat kau menjadi orang tua, jangan pernah meminta anak untuk memahamimu karena mereka belum pernah menjadi orang tua. Karena tidaklah seseorang dapat memahami kita, kecuali mereka pernah ada di posisi yang sama sebelumnya." Kurang lebih begitulah yang dikatakan beliau. Kata-kata itu membuatku merenung. Betapa seringkali aku sebagai guru menuntut dipahami oleh murid. Mungkin begitu pun orang tua yang ingin dipahami oleh anak. Padahal benar, anak-anak itu belum pernah berada di posisi kita.
Saat ini meskipun aku belum menikah, aku selalu berdoa semoga jika aku menikah dan menjadi orang tua, Allah menjadikanku istri dan ibu yang sholihah, mushlihah, dan bijaksana. Betapa aku ingin menjadi istri yang baik bagi suamiku kelak, juga ibu yang mampu mendidik anaknya dengan baik.
19 notes · View notes
arioagio · 3 months
Text
Tumblr media
True..😊😊😊
By @overmind01 on X
0 notes
kurniawangunadi · 10 months
Text
33 Tahun : Dinamika, Kestabilan, dan Tujuan
Alhamdulillah tiba masanya di usia 33 tahun. Sepuluh tahun yang lalu aku masih menjadi mahasiswa yang baru akan sidang tugas akhir, menggendong segudang pertanyaan akan ke mana setelah lulus nanti. Pertanyaan yang akhirnya telah kujalani jawabannya dalam 10 tahun terakhir.
Dinamika di usia ini berbeda, dulu kupikir kalau sudah melewati fase Quarter Life Crisis di rentang usia 20-30, berikutnya akan baik segala sesuatunya. Ternyata tidak gais! Ada fase krisisnya sendiri, bahkan ketika memiliki pekerjaan - masih mempertanyaan apakah diri ini akan menjalaninya seumur hidup, apakah akan selamanya bekerja ini sampai nanti di tepian liang lahat?
Belum lagi urusan pertemanan yang semakin selektif. Lebih cenderung mencari teman-teman sefrekeuensi di urusan-urusan dunia dan akhirat. Menghindari orang-orang yang rumit bin ruwet. Memilih untuk memperkecil lingkaran orang-orang dekat, tapi kebutuhan untuk meluaskan jejaring untuk membangun privilage untuk anak-anak tetap diperlukan. Semacam kontradiktif memang, tapi menjadi orang tua - mulai bisa merasakan apa yang diupayakan orang tua dulu, berusaha untuk memudahkan jalan anak-anaknya.
Di tengah pekerjaan yang sangat dinamis, ternyata menjalani hidup di usia ini cenderung untuk mencari kestabilan. Baik itu secara emosi, finansial, relasi, dan hal-hal lainnya. Kalau bisa tidak perlu bermasalah dengan orang lain atau apapun agar tidak mengganggu kestabilan ini. Jiwa-jiwa petualang terasa berbeda sekali, apalagi saat anak-anak mulai masuk usia sekolah. Penyesuaian terhadap waktu mereka, kebiasaan, dan hal-hal baru yang baru mereka temukan pertama kali dalam hidup sehingga tidak ada habisnya pertanyaan baru setiap hari atas rasa ingin tahunya yang membuncah, sudah cukup untuk menjadi tantangan hari demi hari.
Mulai memikirkan lebih dalam juga terkait tujuan dari akhir hidup ini. Apa sih yang mau dikejar dengan segala hal yang menyita waktu selama ini? Mulai lebih tenang ketika ada masalah, mulai lebih bijaksana (menurutku) dalam melihat kesempatan, sehingga tidak mudah teralihkan dari tujuan. Mulai menata lagi makna-makna hidup, mulai melihat diri sebagai makhluk yang kecil dan lemah, tidak ada alasan untuk sombong dan merasa paling benar.
Menjalani usia 30an ini benar-benar berbeda.
Pesan yang mungkin bisa kutinggalkan di sini ketika dibaca oleh teman-teman yang masih 20an, coba lakukan assesment ke dalam diri sendiri (bisa dgn bantuan ahli), apakah saat ini secara mental dan emosional ada hal yang perlu dibetulkan atau memang sudah matang. Sehingga jika ada hal di dalam diri yang perlu untuk kita sembuhkan lukanya, traumanya, maka selesaikanlah itu. Kalaupun memakan waktu, ambillah.
Sangat menenangkan bisa mencintai dan menghargai diri sendiri. Sangat menenangkan jika kita bahagia menjalani hidup dengan diri ini, dengan cara berpikirnya, dengan sudut pandangnya, dan juga dengan segala hal yang melekat pada badannya. Kurang dan lebihnya telah diri terima. Dan diri tahu betul, akan ngapain dengan badan dan jiwa ini.
Sampai bertemu di usia 30-an kalian. Nanti kita cerita-cerita lagi :)
174 notes · View notes
narashit · 1 year
Text
Evaluasi
Mari singkirkan sebentar kebencian, kekecewaan, perasaan sakit, pertanyaan, juga apa-apa saja hal buruk yang tertinggal, atau sengaja kamu simpan, dari seseorang yang pernah berharga di hidupmu.
Ingat lagi hal-hal baik yang mengubahmu, kebiasan-kebiasaan baik yang kini menjadi rutinitasmu, ajaran-ajaran baru yang berguna, atau pemikiran dan sudut pandang yang membuatmu sedikit lebih bijaksana. Jumlahnya bebas.
Aku akan mulai lebih dulu.
Dia mengajariku tentang:
1. Gantilah sarung bantalmu beberapa hari sekali, seminggu sekali pun boleh. Sekalian kain seprainya lebih baik. Sekarang, aku punya dua set sarung bantal hitam, dua abu-abu, dan satu putih.
2. Tanpa berbicara soal luas ruangan, menyimpan benda seminimal mungkin akan membuat ruangan itu tampak lebih rapi.
3. Memaafkan tak pernah berarti menerima kembali. Kamu boleh memaafkan seseorang kemudian menghapus keberadaannya dari hidupmu selamanya.
4. dll.
Kalau mau, kamu bisa berbagi di kolom reply, reblog, atau kalau kamu tak ingin hal itu dilihat orang lain, kamu bisa memberitahuku melalui pesan.
Terima kasih. Berusahalah jadi lebih baik.
54 notes · View notes
kaktus-tajam · 2 years
Text
“Dok saya minta disuntik mati saja”
Kalimat ini datang dari seorang bapak tua ketika dirawat di bangsal karena sesak napas. Semalam sebelumnya, aku menerima pasien ini di IGD. Saat itu dua lelaki lain yang mengantar hanya berujar: bapak ini tidak punya siapa-siapa, Dok.
Aku menyimpulkan bahwa yang mengantar ini adalah tetangga-tetangganya.
Ketika di IGD ia bicara tersengal-sengal, bernapas mencucu, otot-otot antar rangkanya terlihat jelas retraksinya. Sesaknya tidak membaik dengan penguapan, alhamdulillah saturasi oksigennya baik. Rontgen paru menegakkan adanya penyakit paru obstruktif kronis. Melihat rekam medisnya yang tebal, pasien ini ternyata sering bolak-balik dirawat di RS untuk keluhan serupa.
Ketika dengar keinginannya akan kematian, miris rasanya. Sebagai dokter kami tentunya mengupayakan yang terbaik. Dari medis dan dukungan moral, termasuk rawat bersama ke sejawat psikiatri atau menghadirkan rohaniawan.
Tapi yang kucermati adalah rasa kesepiannya. Ditakdirkan sakit dan ditakdirkan menghadapinya sebatang kara, tentu bukan ujian yang mudah.
Kilas balik ke 2 bulan lalu, ketika aku dirizqikan Allah merasakan point of view pasien: dirawat inap selama 6 hari. Setelah pulang pun, pemulihannya cukup lama. Baik pemulihan fisik, maupun mental. Mental terpukul karena rasa campur aduk mendengar diagnosis dokter, adanya pengobatan rutin yang kini harus diikuti, pun perubahan gaya hidup.
Genap dua bulan sejak tegaknya diagnosisku, Allah pertemukan dengan pasien ini. Bukan suatu kebetulan.
Aku terenyuh, teringat bagaima selama 6 hari dirawat inap tidak sekali pun Allah biarkan aku merasa kesepian. Walau tidak ada keluarga yang bisa menemani, Allah hadirkan banyak manusia tulus yang membantu, menemani, dan memberikan dukungan serta doa. Semoga Allah balas kebaikan kalian semua yaa.
Hari-hari berikutnya pun, Allah juga kirimkan banyak kemudahan. Dan Allah kirimkan: ketenangan hati.
Sampailah aku satu titik di mana aku hanya bisa bersyukur. Bersyukur menjadi seorang muslim, menjadi hamba yang memiliki Allah yang Maha Kuat, Maha Bijaksana. Bahkan, sekalipun merasa lemah hati dan fisik: Allah hadirkan kekuatan, dan Allah hadirkan mereka-mereka yang mengingatkanku pada Allah.
Mengingatkanku bahwa sakit adalah makhluq ciptaan Allah. Maka berdamailah dengan sakitmu, sebagaimana sabda Nabi Ayyub alaihissalam, yang dirizqikan sakit 18 tahun, kulit terkelupas namun hati tidak sedikit pun bergoyah,
“Ya Allah aku ikhlas dengan sakitku, tapi jagalah hati dan lisanku tetap menyebut nama-Mu.”
-h.a
Semoga berkenan mendoakan pasienku, si Bapak agar dilapangkan hatinya, diluaskan sabarnya. Aamiin.
111 notes · View notes
jurnalweli · 7 months
Text
Sudahkah kamu mendoakan suamimu?
Tidak ada manusia yang sempurna termasuk pasangan kita. Sebelum memutuskan untuk menikah, ada tahapan yang perlu dilakukan yaitu perkenalan untuk mengetahui satu sama lain. Perkenalan ini tidak hanya dilakukan oleh 2 manusia yang akan menikah saja tapi juga melibatkan 2 keluarga karena pernikahan tidak hanya menyatukan 2 manusia melainkan menyatukan 2 keluarga. Perkenalan ini perlu disepakati untuk saling jujur dan terbuka sebagai bekal dalam berumah tangga. Alangkah baiknya jika dalam perkenalan mengikuti syariat Allah sebab ibadah panjang ini perlu diawali dengan kebaikan agar berlimpah berkah, insyaaAllah.
Tidak dapat dipungkiri kita tentu menginginkan pasangan dalam artian suami (karena saya perempuan, hehe) yang paham agama, rajin ibadah sunnah, sholat wajib di awal waktu, cepat dalam mengambil keputusan, sosok pemimpin yang bijaksana, tanggung jawab, tegas, murah hatinya, lembut tutur katanya, perhatian terhadap pasangan, kaya raya, pekerjaan yang mapan dan kriteria sempurna lainnya namun mustahil untuk menemukan suami demikian. Percayalah bahwa suami kita juga bertumbuh seiring berjalannya waktu dan tantangan kehidupan. Adaptasi dalam pernikahan memang perlu dilakukan seumur hidup, tidak cukup hanya di perkenalan awal sebelum menikah. Kesalahan, kekurangan, ketidaksempurnaan, kebaikan, kebenaran akan benar-benar muncul ketika hidup bersama. Jika kebaikan yang muncul akan sangat membahagiakan. Namun jika kesalahan atau kekurangan yang terlihat seolah sirna semua kebaikannya. Sungguh, banyak sekali wanita seperti ini.
Maka jika dalam berumah tangga kita temukan hal yang tidak sesuai dengan perkenalan dahulu, maka itu adalah bagian dari tidak sempurnanya manusia. Coba perhatikan kesalahan atau kekurangan suami kita, apakah dalam hal maksiat dan dosa ataukah dalam hal keseharian yang umum dan tidak merupakan dosa? Lalu jika kita sebagai istri menemukan suami kita tidak sesuai dengan harapan kita bagaimana menasehatinya? Perlukah istri marah?
Ada 2 hal yang menjadi perhatianku setelah mendengar kajian dari Ustadz Oemar Mita tentang cara menasehati suami.
Pertama, ini adalah hal dasar yang harus selalu diyakini bahwa Allah-lah yang mengendalikan hati manusia.
Meyakini bahwa Allah-lah yang berhak memberi hidayah pada manusia yang Dia kehendaki.
Hal ini sangat penting karena seringkali manusia lupa akan hal ini seolah segala yang kita upayakan terhadap suami harus berhasil dan ujungnya suami akan menjadi baik.
Ingatkah kisah Nabi Nuh terhadap istrinya? Istrinya bukanlah istri yang baik. Nabi Nuh berdakwah kepada istrinya sendiri. Sebelum terkena banjir, Nabi Nuh juga mengajak istri dan anaknya menaiki kapal namun tidak mau.
Seperti yang tercantum dalam QS Qasas ayat 56.
إِنَّكَ لَا تَهۡدِی مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ یَهۡدِی مَن یَشَاۤءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِینَ
Artinya : Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Ayat tersebut turun ketika Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam merasa gagal dalam mendakwahi Abu Thalib.
Kedua,
doakan suami.
Bisa jadi kurang atau salahnya suami karena kurang tulus dan sungguh-sungguhnya doa kita terhadap suami. Jika ada pertanyaan mana yang lebih dulu untuk didoakan antara suami kita ataukah anak kita? Jawabannya adalah suami. Seperti pola doa dalam QS Furqan ayat 74 yang berbunyi,
وَٱلَّذِینَ یَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَ ٰ⁠جِنَا وَذُرِّیَّـٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡیُنࣲ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِینَ إِمَامًا
Artinya : Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
Dalam ayat tersebut yang disebutkan lebih dulu adalah pasangan lalu anak-anak. Bukan tanpa maksud polanya demikian. Dalam doa kita tidak bisa menyebutnya sekaligus, melainkan ada urutannya dan ada yang didahulukan.
Demikian 2 poin penting sebagai dasar yang masih sering kuabaikan. Padahal dampaknya bisa lebih tenang apabila berhadapan dengan suami. Semoga kita bisa menjadi sebaik-baik istri untuk suami kita.
Terakhir,
Mintalah pada Allah agar sabarmu lebih besar daripada kesalahan dan kekurangan suami.
12 notes · View notes
Text
Eunoia
Kau yang kucari dalam jalan panjang ternyata ditemukan dalam perpisahan maha dahsyat. Secepat rinduku yang bermetamorfosa menjadi temu, begitu juga ia kau ubah menjadi kelu. Layaknya cahaya, tanpa ruang dan waktu, kau pergi meninggalkan setumpuk pilu.
Apa kau pernah membayangkan rasanya? Saat kau sedang sepenuhnya dalam cinta lalu semua rasa percaya yang kau beri dihempas tanpa sisa. Puing-puing yang berserak menjelma jatuh bangun yang membuat diri berulang kali ingkar. Nyaris aku tak percaya bahwa kelak aku akan selamat.
Tapi Tuhan maha bijaksana, maka; terima kasih atas pedih yang kau ukir dalam diri. Bilangan hari demi bulan terlewati. Luka itu kian mengering. Tapi kau tahu kan, kalau lapisan epidermis yang terluka pasti meninggalkan bekas. Baiknya tidak sampai ada keloid disana, mengingat setajam apa pisau yang kau gunakan. Syukurku pula, kehilanganmu membawaku pada perjalanan yang memberikan aku makna memperjuangkan, diriku sendiri untuk tidak kehilangan.
Tulus dari hati, sekali lagi ku ucapkan, terima kasih untuk segalanya.
dari puan @yhharahap & @tulisanmimi
74 notes · View notes