#keras API
Explore tagged Tumblr posts
Text
Day 15 _ Sequential vs Functional Keras API Part 2 explanation
Part 1: Understanding Sequential vs. Functional API in Keras with a Simple Example When building neural networks in Keras, there are two main ways to define models: the Sequential API and the Functional API. In this post, we’ll explore the differences between these two approaches using a simple mathematical example. Sequential API The Sequential API in Keras is a linear stack of layers. It’s easy…

View On WordPress
#functional and model subclassing API in Keras#functional Keras api#functional vs sequential Keras api#keras#keras API#machine learning#sequential keras
0 notes
Text
5 kutipan bertema semangat
Berikut adalah 5 kutipan bertema semangat untuk menyemangati harimu: "Semangat itu seperti api unggun dalam jiwa. Jaga nyalanya tetap membara dengan tindakan positif, walau badai menerpa." "Hari ini adalah kanvas kosong. Lukislah dengan warna-warna semangatmu, ciptakan mahakarya yang tak terlupakan." "Jangan biarkan keraguan memadamkan semangatmu. Ingatlah, setiap langkah kecil adalah bagian dari…
#api#api unggun#badai#bahan bakar#harapan#impian#jiwa#kanvas#kanvas kosong#keraguan#kerja keras#keyakinan#lukis#mahakarya#membara#perjalanan#positif#semangat#semangatmu#tantangan#warna
0 notes
Text
Bergesernya Rasa Kagum
Sekarang, di dunia yang penuh dengan beragam pemikiran. Harus makin hati-hati sama ragam pemikiran yang diterima melalui media sosial, yang akhirnya kita konsumsi, dan menelusup ke dalam alam pikiran kita. Mungkin beberapa kali kita pernah mendapati pemikiran yang sesuai dan langsung menyetujuinya tanpa cross-check dasar pemikirannya.
Dan hari ini, kekagumanku yang dulu kuberikan kepada orang-orang yang menurutku keren pemikirannya kini bergeser menjadi lebih waspada. Mulai ngecek latar belakang orang yang menyampaikan pemikiran tersebut. Terus kalau hanya satu pemahaman yang kuterima, aku akan ngecek pemahaman2 lainnya yang dia miliki sehingga memiliki data komprehensif. Penilaianku menjadi makin kompleks, tapi aku suka.
Mungkin terkesan ribet. Tapi bagiku, ini sangat menyelamatkan. Aku tidak mengagumi orang yang salah. Ibarat ia memiliki 100 pemahaman, mungkin aku hanya melihat dan mendengar yang 1 aja dan aku sangat setuju, 99 lainnya harus diriset. Eh ternyata yang lainnya itu PRO LGBT, pernikahan beda agama, dan lain-lain. Pendapat-pendapat dari orang yang seperti ini yang berbeda value denganku, pasti tidak akan langsung menjadi pendapat utama yang akan kupertimbangkan apalagi kukagumi. Kekagumanku telah bergeser kepada para ahli ilmu dan ahli agama. Yang dasar pemikirannya selalu berdasarkan Al Quran dan Hadist. Ada alasan-alasan yang kuat mengapa sebuah pemikiran itu benar dan sesat. Bukan semata pada perasaan dan logika manusia. Tapi pemikiran yang langsung bersumber pada Maha Pencipta. Dan kita manusia, benar-benar seperti setitik debu dibandingkan dengan luasnya alam raya ini. Kita hanyalah tanah yang diberi nyawa.
Aku tahu ini mungkin sangat keras dan kaku. Tapi aku tidak peduli dengan apa kata orang atas prinsip hidup ini. Segala pemikiran yang akan kuadaptasi adalah pemikiran-pemikiran yang telat melewati filter-filter value khususnya keyakinan yang aku yakini dan imani. Dan itu menyeluruh.
Sebagaimana kita di sini, jika punya keyakinan yang sama. Tidak bisa memilih aturan mana yang mau kita pakai dan tidak dalam keyakinan ini, harus satu paket. Tidak boleh memilih-milih hukum berdasarkan perasaan dan pertimbangan akal kita sebagai manusia.
Di tumblr ini pun demikian, ada banyak sekali value yang bertebaran. Ada yang berseberangan, ada yang mirip, ada yang bertentangan, segala rupa. Kemampuan kritis kita dimasa perang pemikiran saat ini dibutuhkan. Terlebih kita mungkin akan mengalami bias antara mencari kebenaran dan mencari pembenaran.
Sebagai penutup. Mudah-mudahan, di zaman yang benar-benar sangat menantang ini. Pikiran kita terjaga, kita diberikan kemampuan untuk menganalisa dan kritis terhadap apa yang kita konsumsi, dan diberikan keteguhan atas iman yang saat ini benar apa kata hadist : Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api..
227 notes
·
View notes
Text
Ep 2: Monas dan Mars
Menjadi seorang ayah bukan cuma soal mencari nafkah. Tapi juga soal menuruti kemauan anak, meskipun kemauan itu sering kali datang di hari yang salah. Seperti pagi ini, hari Minggu, ketika aku ingin rebahan lebih lama, anakku, Zura, datang dengan semangat berapi-api.
"Ayah! Ayo kita ke Monas naik motor!"
Aku menatapnya dengan mata masih sepertiga terbuka. "Kenapa Monas? Kenapa naik motor? Kenapa harus hari ini?"
"Karena ini hari Minggu, Ayah! Nanti kalau hari Senin, aku sekolah. Kalau Selasa, juga sekolah. Rabu juga. Pokoknya, ini hari terbaik!"
Dari semua argumen yang aku pernah dengar di dunia ini, argumen Zura adalah yang paling sulit dibantah. Aku menoleh ke istriku, Puy, berharap dia punya alasan untuk menolak.
"Iya, Yah. Kasian Zura. Katanya udah lama mau ke Monas. Sekalian olahraga," kata Puy, tanpa rasa bersalah.
Aku menghela napas. Ini bukan pertarungan yang bisa aku menangkan.
Setengah jam kemudian, aku sudah duduk di atas motorku, dengan Zura di belakang, dan Puy melambaikan tangan di depan rumah, seperti seorang ratu yang melepas pasukannya ke medan perang.
"Ati-ati ya, Yah. Jangan kebut-kebutan!"
"Iya, Mah. Aku ini orang Teknik Sipil, bukan pembalap MotoGP."
Kami pun melaju ke Monas, dengan kecepatan yang cukup aman bagi seorang ayah yang sadar diri bahwa motornya bukan motor gede, melainkan motor hemat bensin yang kalau dipaksa ngebut, bisa tiba-tiba berubah jadi sepeda.
Di jalan, aku merasakan sensasi yang hanya dimiliki oleh seorang ayah yang naik motor bersama anaknya: tangannya memeluk pinggangku erat-erat, suaranya yang tak berhenti bertanya, dan kaki kecilnya yang sesekali menendang-nendang punggungku.
"Yah, kenapa angin kena muka kita kalau naik motor?"
"Karena kita bergerak lebih cepat dari angin, Nak."
"Kalau kita berhenti, anginnya berhenti juga?"
"Nggak, anginnya tetap jalan, kita aja yang berhenti."
Zura terdiam sejenak. Lalu dia bertanya lagi.
"Jadi kalau kita nggak naik motor, kita tetap kena angin?"
Aku mulai merasa diceramahi oleh seorang profesor kecil.
"Iya, Zura. Pokoknya angin itu nggak peduli kita naik motor atau nggak, dia tetap jalan. Sama kayak Mama. Mau kita nurut atau nggak, dia tetap benar."
Zura tertawa, dan aku lega karena berhasil mengalihkan pikirannya dari diskusi fisika yang berpotensi menguji batas pemikiranku sebagai sarjana Teknik Sipil.
Sesampainya di Monas, aku merasa seperti pahlawan yang baru menaklukkan medan perang. Bukan karena perjalanan yang berat, tapi karena aku berhasil tiba di sini dengan selamat tanpa pertanyaan jebakan lain dari Zura.
Kami parkir motor dan berjalan menuju taman sekitar Monas. Zura langsung berlari kecil dengan energi tak terbatasnya.
"Yah! Lihat tuh! Burung merpati! Boleh nggak kita bawa pulang satu?"
"Zura, itu bukan suvenir. Itu burung liar."
"Tapi kan di film-film ada orang yang punya burung merpati peliharaan."
Aku mengelus dada. Film memang sering membuat hidup tampak lebih mudah daripada kenyataannya.
Kami lalu duduk di bawah pohon rindang. Aku membeli es teh, sementara Zura memilih es krim yang entah kenapa lebih banyak menempel di pipinya daripada masuk ke mulut.
"Yah, kapan kita naik ke atas Monas?"
Aku melihat antrean panjang menuju lift yang akan membawa kami ke puncak Monas.
"Kayaknya kita harus antre lama, Nak."
"Berapa lama?"
Aku melirik antrean dan mencoba menebak.
"Sekitar… 45 menit."
Zura tampak berpikir keras. Lalu dia berkata, "Yah, aku kan masih kecil. Masa hidupku baru empat tahun. Itu berarti aku baru hidup sekitar dua juta seratus ribu menit. Jadi kalau kita harus antre 45 menit dari itu, kayaknya nggak masalah."
Aku terdiam. Bukan karena aku terpukau oleh cara berpikirnya, tapi karena aku baru sadar, mungkin anakku lebih pintar dari aku.
Kami akhirnya naik ke atas Monas setelah antre cukup lama. Saat sudah sampai di puncak, Zura berdiri di dekat pagar sambil memandang kota Jakarta yang terbentang luas.
"Yah, lihat! Jakarta kayak semut dari sini!"
Aku tertawa. "Iya, Nak. Kalau kita makin tinggi lagi, mungkin Jakarta bisa jadi kayak pasir."
"Kalau lebih tinggi lagi?"
"Jadi titik."
"Kalau lebih tinggi lagi?"
Aku menatap Zura dengan senyum. "Kalau lebih tinggi lagi, berarti kita udah sampai di angkasa, Nak. Dan saat itu, mungkin kita nggak akan peduli lagi Jakarta kelihatan kayak apa. Karena kita akan sibuk melihat bintang-bintang."
Zura tersenyum. Aku tahu dia belum benar-benar mengerti. Tapi suatu hari nanti, dia akan mengingat kata-kataku ini, dan semoga dia akan memahami bahwa perspektif bisa mengubah segalanya.
Kami turun dari Monas dan berjalan kembali ke parkiran motor. Aku mengeluarkan kunci dan bersiap untuk pulang.
"Yah, kapan kita ke sini lagi?"
Aku menatapnya dan tersenyum. "Kalau Ayah dapet jatah main game seharian dari Mama, kita nggak cuma ke Monas, Nak. Kita bakal ke Mars sekalian, naik motor, sambil makan nasi padang."
Zura tertawa dan memelukku dari belakang saat aku menyalakan motor.
Perjalanan pulang kami lebih tenang. Mungkin karena Zura lelah, atau mungkin karena dia sudah puas dengan petualangan hari ini. Yang jelas, di tengah perjalanan, dia tertidur sambil memeluk pinggangku erat-erat.
Dan saat itu, aku merasa menjadi seorang ayah adalah hal paling luar biasa di dunia. Bahkan lebih luar biasa daripada menemukan tukang bakso pas lagi lapar-laparnya. Karena tidak ada yang lebih membahagiakan daripada anak kecil yang tertidur di punggung kita, percaya bahwa ayahnya bisa membawa mereka pulang ke rumah dengan selamat, meskipun ayahnya cuma punya motor berumur 10 tahun yang kalau lewat polisi tidur suka protes sendiri.
7 notes
·
View notes
Text
Kini ku sadari, ada ruang kosong di antara usahaku. Bukan duka atau kekalahan yang mengisi, Tapi api yang membara. agar kelak tak ada sesal yang terpatri.
Ku bangun hari dengan tangan yang lebih keras, di setiap lelah, ku tatap cakrawala belajar. Proses ini mungkin lambat, tapi di setiap denyut, ku ukir tekad tak ada kata 'andai' di ujung jalan nanti.
Bahkan jika nafasku kelak jadi debu waktu, setapak ini tetap ku sebut kemenangan. Sebab yang ku pilih bukan akhir sempurna, melainkan jiwa yang tak berhenti mencerna luka, keringat, dan langkah tetap bernyawa.
@carnationreddd
7 notes
·
View notes
Text
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras.
(QS. At-Tahrim: 6)
12 notes
·
View notes
Text
Untukmu Syuhada
Selain kematian, kisah orang-orang shalih menjadi obat ampuh untuk mengatasi kefuturan.

Buku "Men Around Aqsa" karya Gensa menginspirasi semangat perjuangan, menunjukkan bahwa dalam upaya pembebasan, terdapat hikmah besar dari keteladanan para syuhada yang telah meraih predikat mulia.
Yahya Sinwar, orang yang difitnah bersembunyi di terowongan, menjadikan tawana sebagai tameng hidup nyatanya terbantahkan oleh para kera sendiri yang dengan bodohnya menyebarkan footage di saat-saat terakhirnya.
Adnan "Yahya" Al-Ghoul, peletak dasar Roket Yasin 105 ini tidak akan pernah mengira jalan takdir hidupnya bertemu pimpinan Hamas di Suriah karena terkendala administrasi. Dari momen ini ia bisa belajar tentang roket, bahan peledak, dan peralatan tempur lainya yang akhirnya berguna untuk jalanya perang hari ini.
Ummu Nidhal, Ibunya Para Syuhada dengan sepenuh hati melindungi Komandan Imad Aqil saat Hamas mengalami kekosongan pemimpin. Imad Aqil melakukan gerilya dan mentarbiyah anak-anak Ummu Nidhal hingga akhirnya bergabung juga di barisan Para Syuhada.
Abdul Aziz Rantisi Sang Murabbi dan juga seorang dokter yang memiliki tekad perlawanan keras melebihi Yahya Sinwar. Sang Dokter Revolusioner berkata, "Mulai Hari Ini Kami Akan Berbicara Dengan Bahasa Senjata Kepada Musuh!"
Dan, Ismail Haniyah, Sang Perdana Menteri yang meletakan jabatannya untuk perdamaian antara Hamas dan Fatah adalah pelajaran penting para pemimpin Muslim yang kebanyakan masih gila akan jabatan.
Nama-nama diatas, juga Para Syuhada lainya memberikan pelajaran penting bagi generasi hari ini. Seperti lirik dari lagu Untukmu Syuhada Izzatul Islam :
Kehidupan bagaikan roda beribu zaman terus berputar namun satu tak akan pudar cahaya Allah tetap membahana
Mereka kira syahidnya satu pejuang mematikan perlawanan, padahal kisah mereka justru menyalakan api perjuangan menuju kemenangan!
#menyambutkemenangan#seperempadabad#abamenulis#mengerikan#catatankemenangan#dakwahkampus#pemudaislam#ceritabukuaba
12 notes
·
View notes
Text
Untuk para suami
Kewajibanmu tidak selesai hanya dengan mencari dan memberi nafkah pada istri dan anak²mu melainkan ada yang tidak kalah penting juga yakni kamu bertanggungjawab dalam mengajar dan mendidik istri dan anak-anakmu.
perhatian perintah Allâh Yang Maha Kuasa berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.[at-Tahrîm/66:6]
15 notes
·
View notes
Text
Hari ini ada tragedi. Anakku masukin kertas plastik ke hidungnya. Trus dia bingung sendiri gimana keluarinnya. Endingnya nangis dan pas ditanya sama kakek neneknya dia ga mau ngaku kenapa. Akhirnya dibawa pulang ke rumah trus aku yang diinterogasi. Jujur bingung, kenapa anakku klo nangis gitu tuduhannya langsung ke aku. Seolah aku yang bikin dia sedih dan nangis.
Aku peluk trus aku kelonin dia, karna mungkin hidungnya sakit dia masih nangis kecil. Sampai akhirnya aku tanya kenapa dia nangis. Masih ga mau ngaku juga. Agak lama tuh, aku biarin sambil kelonin. Ga beberapa lama aku ubah pertanyaannya, "kakak kenapa sedih, cerita sama ibu, semua emosi di rumah ini diterima kak."
Setelah itu kakak langsung ga bisa tahan air matanya. Dia nangis agak kencang. Trus sesenggukan sambil tanya "bu, klo ada kertas masuk ke hidung bahaya ga?"
As a mom aku pasti panik dong ya, lalu aku pastikan itu benda masih ada apa ga di hidungnya. Sambil nangis dia bilang klo kertasnya udah masuk ke dalam. Dia rasa tuh bendanya ada dimana sambil nunjuk hidungnya. Aku tetap cek pakai senter lubang hidungnya.
Sambil ambil pinset terus aku steril di kompor pakai api panas. Pas aku cek lagi udah kosong kan tuh rongga hidungnya. Aku ga habis ide, langsung ambil infus, cuci hidungnya. Pikiranku saat itu cuma gimana caranya itu hidung bersih dari kertasnya. Karna biar kertas juga klo dibuntel-buntel kan besar ukurannya. Ku cuci iti hidung 2x, masih bersih. Kali ketiga kusuruh dia bersin yang keras. Auto keluar itu buntelan. Shock! Sebesar itu dong.
Bayangkan klo aku ga punya cairan infus di rumah. Bayangkan klo aku panik lalu ga mikir panjang. Untung kakak punya ibu yg masih bisa tenang di situasi genting juga.
Habis itu aku langsung peluk kakak. Takut banget dia trauma. Lalu aku nasehati kalau yang dia lakukan itu bahaya. Bahwa rasa ingin tau itu penting tapi harus pada tempatnya. Ga tau aja kakak pas dulu kecil ibunya suka masukin kacang goreng ke hidung. Trus dikeluarin sambil bersin. Dasar anak sensory seeker emang. Turun deh ke anaknya. Jadi berasa lucu aja kayak melihat diri sendiri. Bedanya dulu aku dimarahin habis-habisan sama ibu dan bapakku. Sekarang aku potong rantainya. Bahwa semua emosi di rumahku itu diterima.
4 notes
·
View notes
Text
Cerpen : Efek Payahnya Sinkronisasi Isi Hati, Kepala, dan Rekening, Terhadap Pria Penakut Jelang Usia 27
Maaf banget kalau jelang weekend tapi aku malah babak belur. Bukan bermaksud ga mau tampil prima waktu ngedate sama kamu besok, tapi, aku baru aja ribut besar sama egoku sendiri. Ngerepotin banget emang terlahir punya ego yang besar. Karena bahkan, kompromiku aja kadang ketakutan sendiri waktu mau menghadapinya
Jadi ceritanya, sejak tadi siang, suasana tiba-tiba mencekam. Egoku datang bersama gebrakan besarnya. Dia datang dengan penampakan agak ngeri sih memang. Sekujurnya agak hangus, terbakar api cemburu waktu baca story lingkaran hijau milikmu
Kamu bilang, 'masih berusaha setia walaupun tiap hari ada aja yang dateng dengan usaha kerasnya'. Lengkap dengan lagu kekinian yang petikannya aduhai, tapi kalau dicermati liriknya, ada banget pukulannya ke hati
Membaca itu egoku langsung teriak besar. Tubuhnya memanas, dan ga tahan lagi. Ia segera mendatangiku tanpa wanti-wanti. Pingin melakukan rencana berbahaya yang bikin aku sendiri langsung waspada; Melamarmu. Iya. Ia memintaku untuk segera melamarmu
Ajegile tikus meledak. Berasa dikagetin Rocky Gerung pas makan bakso. Aku langsung keselek dan gagal nelen ludah sendiri. Sempet hilang napas sedikit tapi untung bisa balik lagi
Aku cuma bisa bilang, "Tapi kan belum siap..."
Lantas tanpa tedeng aling-aling, dia langsung kasih bogem mentah ke pipi
"...aku juga belum mapan, belum layak jadi imam..." lanjutku pelan
Pukulan lainnya mendarat keras di pipi yang lain
"...terus, soal komitmen gimana?" aku masih berusaha melanjutkan
Kali ini perutku langsung disikut keras
Setelah beberapa alasan berikutnya, yang tentu saja selalu berbuah pukulan keras, aku terdiam. Aku kehabisan alasan. Atau mungkin, aku ga sekreatif itu untuk bikin alasan waktu lagi babak belur. Tapi belum sempet bener-bener tau mana yang tepat, egoku langsung ngejambak dan ngomong di depan wajahku
"KAMU RELA KEHILANGAN DIA?!"
Kata-kata tadi diteriakkan tanpa pukulan. Tapi entah kenapa, rasanya tajem banget, nusuk langsung ke dada dan tembus ke hati. Sebenernya aku ga yakin secara anatomi, nusuk ke dada itu bisa tembus ke hati apa enggak, tapi darahku langsung ngalir gitu aja setelah kata-kata tadi terlontar
Curang. Aku ga punya pertahanan. Aku tergeletak lemas. Sakit dan kebingungan
Sore sampai malemnya aku terdiam. Rasanya aneh. Aku merasa terjebak dalam kondisi serba benar. Egoku benar. Tapi semua alasan dan keadaanku rasanya juga benar
Dan. Dan aku juga serba takut. Takut kehilanganmu. Sekaligus, takut memilikimu, di waktu yang salah
Sial. Aku payah sekali
4 notes
·
View notes
Text
Day 14 _ sequential , functional and model subclassing API in Keras
In our last blog on day 13 we explained what’s Karas and we showed a code example which was using sequential api but have not discuss about its api type . Sequential API The Sequential API is the simplest and most straightforward way to build a neural network in Keras. It allows you to create a model layer-by-layer in a linear stack. This method is best suited for models where each layer has one…
#functional and model subclassing API in Keras#keras#keras API#sequential#sequential keras#subclassing api keras#subclassing keras
0 notes
Text
i feel like "how can we make AI useful for our business" is a question with a very different answer depending on whether it involves "hiring a programmer who is familiar with Keras" or "setting up a chatgpt API key"
2 notes
·
View notes
Text
Tulisan Ramadan #20 : Keluarga
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At Tahrim : 6)
Menyambung dari episode #19 sebelumnya. Selain menjaga dari harta dan transaksi yang haram agar tidak dikonsumsi, kita harus benar-benar bisa menjaga keluarga kita dari api neraka.
Dimulai dengan memilih pasangan hidup yang baik. Parameter memilihnya mungkin bisa dibuat dengan lebih bijaksana, seperti ia adalah sosok yang kamu OK kalau dia jadi ayah/ibu dari anak-anakmu. Kamu bersedia menerima nasihat / arahan dengan caranya. Kamu ridha sama agamanya. Dan sebagainya. Memilih pasangan hidup yang baik adalah salah satu gerbang untuk menjaga keluarga kita dari api neraka. Karena pasangan hidup akan memiliki pengaruh yang amat besar dalam kehidupan seseorang.
Selanjutnya dengan membekali diri belajar parenting yang baik dalam mendidik anak-anak. Agar anak-anak bisa tumbuh dengan baik di keluarga kita.
Membekali diri dengan berbagai macam ilmu kehidupan, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia. Agar sepanjang menjalani kehidupan berkeluarga, kita tidak terjerumus pada hal-hal yang haram karena ketidaktahuan dan kebodohan. Dan kebodohan itu membuat kita menjadi orang yang arogan, tidak bersedia menerima kebenaran. Dan ketidaktahuan itu membuat kita tersesat jauh dan merasa semuanya benar padahal salah total.
Menjaga keluarga dari api neraka adalah salah satu tujuan dari berumah tangga, memastikan setiap anggota keluarga bisa berjalan dalam koridor yang baik agar bisa berkumpul kembali nanti di surga-Nya Allah atas ridhaNya.
59 notes
·
View notes
Text
Isi Kepalaku (22/01/2025) #2
Pantang Pulang sebelum Padam
Jargon? Semboyan? Pedoman? Kalimat itulah yang dipegang oleh satuan petugas pemadam kebakaran. Kalimat itu mendadak merangsek masuk ke dalam pikiran dikarenakan betapa panasnya makan malamku ketika dia menyentuh indera perasaku. Sebagai manusia yang tidak kuat panas - suhu udara, sensasi yang timbul dari makanan pedas, sampai makanan tang baru jadi, aku pasti menghindari hal-hal tersebut. Karena itulah aku lebih gemar menulis ketimbang memadamkan kobaran api.
Ketika kalimat itu berada di dalan kepala, aku berpikir keras mengenai makna kehadirannya. Tidak lama kemudian, aku kembali memeras otak, baiknya, kuapakan kalimat tersebut. Setelah berpikir beberapa menit, akhirnya kuputuskan untuk mengajukan satu pertanyaan pada pembaca sekalian:
Ketika sedang dimabuk cinta, apakah kalian termasuk dalam tipe yang pantang pulang sebelum padam?
Begini...
Banyak orang mengusahakan cintanya agar tetap membara, mulai dari menuruti keinginan pasangan, memulai inisiasi, atau melampaui harapan pasangan itu sendiri. Namun, sejatinya, usaha tersebut selalu (dalam Bahasa Inggris), 'hit or miss' atau 'try and error'. Meski begitu, karena pedoman satuan petugas pemadam kebakaran itu terlalu radikal hingga mengakar jauh di dalam jiwa dan raga, kalian terus berusaha dan berusaha. Yang penting, kalian tidak pulang sampai sebelum api cinta itu padam.
Masalahnya, kalian bukan anggota petugas pemadam kebakaran. Lagipula, petugas pemadam kebakaran memiliki tugas untuk memadamkan api. Dengan kata lain, usaha yang tercipta karena moto yang kalian ambil dari mereka itu, malah memadamkan api cinta.
Adalah hal yang wajar jika mereka ingin pulang dengan selamat setelah memadamkan api. Kalian sebenarnya sama, ketika api cinta padam, masih ada Tuhan yang menantikan kalian pulang, menunggu kalian untuk mengadu pada-Nya.
Begitu, kan? Konsepnya?
2 notes
·
View notes
Text
Meretas Nalar Kedaulatan (Catatan Opini untuk Negeri)

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini. Begitulah bunyi firman Allah dalam Al-Qur’an pada bagian akhir dari Surat Muhammad ayat (38) tiga puluh delapan. Penggalan ayat ini merupakan sebuah ta’kid yang secara etimologinya mengandung arti sebagai penguat. Sebab dalam kaidah bahasa arab, suatu informasi yang disampaikan perlu diberikan ta’kid supaya orang yang menerima informasi tersebut tidak ragu bahkan ingkar kepada ayat yang diwahyukan Allah kepada utusan-Nya baginda Muhammad Saw. Petikan terakhir dari ayat diatas merupakan fakta nyata berapa banyak golongan yang berpaling dari syari’at dan hukum Islam, mereka akhirnya digantikan dengan kaum lain, kaum yang boleh jadi lebih buruk perangainya dari kaum sebelumnya. Semoga ulasan yang akan dipaparkan berikut mampu membuka cakrawala pengetahuan kita dalam melihat realitas kedaulatan nasip republik yang kita cintai. Seiring waktu berjalan, pasca proklamsi kemerdekaan tujuh puluh empat tahun silam, jargon pembelaan kedaulatan pertiwi terus dikumandangkan. Semangat optimisme tak hentinya digelorakan. Semua berdalih merebut start terbaik untuk berada di garda terdepan dalam membela kedaulatan dan tegaknya keadilan di negeri ini. Begitulah selayaknya jiwa pejuang, harus rela berkorban demi tegaknya kedaulatan. Kedaulatan yang telah direbut dengan darah dan nyawa, dengan resolusi dan strategi, dengan jihad dan semangat. Hingga pada akhirnya membuahkan hasil yang tidak sia-sia, yaitu merengkuh kedaulatan pertiwi dari tangan kolonial. Pasca keberhasilan memperjuangkan kedaulatan negara, yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan yang gegap gempita dan bersumbu api gelora, tantangan baru sebaliknya mulai bermunculan. Gerakan ideologi yang ingin meretas kedaulatan nusantara tumbuh dengan semangat berbeda. Semangat yang tak kalah gemuruh dari semangat proklamasi. Ideologi ini mulai unjuk taring dengan terang-terangan memunculkan teror dipenjuru negeri. Bahkan, karena kepiawaian pemimpinya, negera sempat mengakui ideologi ini untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan. Bukan tanpa alasan dan dasar yang jelas mereka bertindak, tujuan dan visi-misi mereka bahkan lebih jelas dari lambang Garuda sebagai jaron negara. Tiga kali upaya meretas nalar kedaulatan pertiwi mereka lakukan dimulai tahun 1926, 1948 hingga tahun 1968. Jika pembaca ingin mengetahui kebengisan ideologi ini, silakah membaca buku yang ditulis oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon mengenai upaya busuknya nalar berfikir dan bertindak kelompok atau ideologi ini. Betapa begis dan sadis para penggugat kedaulatan itu memamerkan kedurjanaan mereka, tanpa sedikitpun gentar melanggar,nwalau bertentangan dengan pedoman kitab suci. Jika boleh jujur, siapapun pasti tidak akan kuat untuk membaca habis buku itu, fakta sejarah yang telah mereka pertontonkan tak ubahnya adengan thriller yang mereka sutradarai sendiri. Sungguh tak ber-prikemanusiaan. أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. (Al-‘Araf 179) Mungkin itulah gelar yang pantas disematkan kepada para pengusung ideologi ini (Binatang ternak, sesat bahkan lebih sesat lagi) yang telah membantai puluhan juta manusia dipenjuru dunia; Rusia, Cina, Kamboja, Eropa Timur, Amerika Latin, Afrika, Afganistan hingga di bumi pertiwi. Padahal mereka mempunyai hati namun keras bak batu-batu cadas, sombong, angkuh dalam memahami ayat-ayat Allah. Padahal mereka mempunyai mata namun, mata mereka tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka mempunya telinga tetapi tidak dipakai untuk mendengar ayat-ayat Allah. Sungguh merugi dan celakalah mereka. Seperti itulah fitrah manusia manusia, jika hatinya telah keras, kebenaran apapun tidak mempan menembus. Segala bentuk perbuatan yang dilakukannya merupakan refleksi isi kepala dan hati mereka yang kotor.
Tindak-tanduk mereka yang brutal kepada penentang ideologi yang mereka anut merupakan bukti nyata sifat kebinatangan mereka, bahkan lebih rendah dari binatang itu sendiri. Cukuplah negeri ini menangis menyaksikan kebiadaban dan kebengisan para penganut ideologi sesat ini. Cukuplah derita nyawa yang dipaksa putus dari raganya. Betapa hina-dina manusia-manusia yang berdiri dibarisan dan doktrin mereka. Maka ketahuilah bahwa setiap perbuatan mereka akan dibalas dengan balasan setimpal. Begitulah sejarah hitam negeri ini. Sejarah darah dan air mata. Kelam. Pahit, jika diurai terlalu dalam. Sungguh berat beban yang digandar ibu pertiwi. Beban penjajahan, peperangan dan beban penghianatan tak selayaknya dipikul sendiri. Beban yang harus digenggam oleh jiwa yang patri bukan oposisi tirani. Jiwa yang tidak akan rela kedaulatan tanah pertiwi kembali diinjak-injak oleh jiwa-jiwa kolonial dan ideologi bengis mereka. Tinggal sekarang, bagaimana usaha mengembalikan kedaulatan negeri. Merawat kemudian menanamkan sikap patriot pada jiwa yang apatis akan nilai-nilai kedaulatan yang selama ini semakin terkikis. Nilai kedaulatan yang terus tergerus arus zaman yang lambat laun menjebak manusia kejurang kehancuran. Kita tinggalkan sejenak pengembaraan sejarah masa lalu, mari kita diskusikan beberapa poin penting tentang kondisi kekinian negeri ini. Terlalu banyak masalah primordial yang muncul mendera tanah nusantara belakangan ini. Carut-marut ‘penjaga dan pembela baru' negeri ini bermunculan ke permukaan dengan tendensi dan dalih memperjuangkan, mempertahankan serta membela kedaulatan negeri. Entahlah, terlepas dari berjubelnya pemahaman aliansi, ormas, peguyuban dan sejenisnya. Namun, bukannya semakin memperkokoh fondasi bumi pertiwi sebaliknya, terkesan memecah belah kesatuan dan persatuan kedaulatan tersebut. Hingga dalam satu dasawarsa, isu kedaulatan negeri kaya-raya ini hangat diperbincangkan. Di satu sisi klaim menjaga keutuhan tanah pusaka gencar disuarakan oleh sebagian kelompok. Mereka berkilah Negara Kesatuan adalah harga mati, pancasila adalah final. Sekiranya, ada yang mencoba mengusik konsensus tersebut, oleh kelompok ini, tidak akan dibiarkan gentanyangan dan berkeliaran. Bagi mereka bibit-bibit yang melenceng dari nilai pancasila dan negera kesatuan tidak boleh tumbuh. Sekalipun, kelompok lain yang dituduh anti pancasila juga paham, bahkan lebih mengerti definisi dari negara kesatuan harga mati atau pancasila adalah final. Akan tetapi, inilah realita penduduk negeri ini, mereka seringkali kebablasan dan taklid berlebihan kepada ormas dan kelompoknya. Mungkin golongan inilah yang disinyalir dalam Qur’an surah Rum ayat 32. كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. Walhasil, klaim sepihak kelompok pembela negara kesatuan atau pembela pancasila dengan golongan yang dituduh ‘anti’ pancasila lambat-laun menimbulkan gesekan serius. Saling provokasi dan persekusi tak bisa dielakkan. Bentrok halus di dunia maya hingga dunia nyata pun tak dapat didamaikan. Tudingan Saracen, hoax, rasis, anti bumi pertiwi, anti pancasila, wahabi, radikal, khilafah, MAKAR dan sebagainya mencuat kepermukaan hingga menjadi isu renyah yang terus digoreng dan siap saji. Pada dasarnya isu-isu tersebut merupakan isu tunggangan yang dipakai untuk memarginalkan kedaulatan negeri dan Islam. Anehnya, para pemangku tertinggi negara ini memilih merespon serius isu remeh-temeh tersebut sebaliknya, melalaikan isu ‘substansial’ yang menunggangi perkara itu. Terkesan solah-olah negeri ini dalam situasi genting dan berbahaya. Akibat ketidakmampuan para elite bumi pertiwi dalam menangani kasus-kasus tersebut, menciptakan kondisi semakin hari semakin chaos, masalah demi masalah bertubi-tubi menghantam dan menggrogoti tubuh negeri ini. Apa yang dikhawatirkan oleh rakyat pribumi hanyalah jika peristiwa masa silam mencuat dengan kamuflase baru yang terus memburu. Yang akan mengadu domba sesama warga.
Sebagai warga pribumi, bukan ingin menggugat namun berhak mengingatkan para elite penguasa negeri ini agar serius memecahkan masalah dan isu perpecahan di tengah kecamuk perpolitikan. Warga pribumi tidak rela jika chaos merajalela lantas menikam jantung Negeri. Kemudian membelenggu, menjerat dan meretas sayap Garuda dengan palu dan arit mereka, hingga pada akhirnya menyeret kedulatan negeri ini menuju dasar kehinaan dan mertabat randah terkoya-koyak. Sungguh pun semua itu tidak diinginkan. Namun, warga pribumi ingin agar ke lima 'sila' di dada Garuda di tegakkan. Jangan terlalu fobia dan paranoid dengan sila pertama. "Ketuhanan yang Maha Esa". Sila yang selama ini di marginalkan nilai dan hakekat-nya dari jiwa warga Indonesia. Padahal, Sila inilah yang melahirkan semangat perjuangan warga Indonesia. Pembelaan terhadap agama, akidah dan ideologi jernih, yang jauh dari nilai kesyirikan. Pengusiran penjajah, peperangan yang berkecamuk, pembelaan atas hak-hak negara, perjuangan dan seruan 'jihad' lahir tersebab pembelaan terhadap nilai Sila Pertama. Bagi siapapun berniat mengusik nilai sila pertama negara ini, jangan heran anda akan di cap sebagai 'kolonialisme' baru dan siap akan diperangi. Oleh karena sila pertama inilah Bangsa dan Negara ini berdiri kokoh. Kepada elit negeri, tegakkanlah hukum yang seadil-adilnya. Bela dan perjuangkanlah hak-hak warga kecil yang dirampas ladang sawahnya. Perlakukan warga-mu sama di depan hukum. Jangan tebang pilih. jangan pandang bulu. Bantulah anak-anak desa yang terpasung kelaparan. Penduduk miskin yang hidup dan dilupakan. Jiwa kemanusiaan haruslah berbanding lurus dengan jiwa keadilan. Jika kalian para elite negeri mampu lakukan itu, derajat 'adab' kalian tentu lebih tinggi. Maka bela dan perjuangkanlah hak-hak warga-mu, disanalah kalian akan menemukan kandungan sila kedua. “Kemanusaiaan yang adil dan beradab”. Apa yang dibutuhkan oleh warga kecil, penduduk pinggiran, para pengemis jalanan adalah 'keadailan'. Keadailan yang dalam arti menempatkan hak-hak mereka sesuai pada tempatnya. Jangan tanyakan kepada kami makna sila ketiga, karena itulah sesungguhnya harapan dan cita-cita kami sebagai penghuni pertiwi. Kami tidak akan rela membiarkan tanah pertiwi berjuang sendiri. Kami tidak rela Garuda terbang dengan sayap patah. Kami ingin bilangan 34 yang melekat erat di tubuhmu, lantas engkau ajak terbang membubung tinggi di udara. Itulah komitmen kami bersamamu wahai Garuda dan negeri tercinta. Akan tetapi, kami tidak habis pikir, tanah pertiwi dewasa ini ditumbuhi pohon-pohon ‘asing’ dengan duri-duri tajam nan-beracun. Bulu Garuda dihinggapi kutu-kutu ‘busuk’ hingga nyaris saja merontokkan sehelai demi sehalai rambut indahnya. Entah siapakah yang menanam dan menyiram pohon ‘asing’ itu? Dan siapakah yang menabur kutu di rambutmu wahai Garuda? Entahlah. Disinilah hilangnya sila keempat dan sila kelima dari dada Garuda, dan tidak ada yang tahu siapa yang mencurinya. Mungkinkah pencurinya, mereka yang sedang sibuk memasang kembali dasi barunya dengan proyek dan tender besar mereka? Entahlah.. Setelah mengurai fakta sejarah dan fakta kekinian mengenai nalar kedaulatan pertiwi, sampailah pada akhir kesimpulan. Bahwasanya, siapaun yang memimpin negeri ini, jangan sampai berpaling dari menegakkan kedaulatan negara dan agama, sebab jika hal ini diabaikan, maka bersiaplah rakyat pribumi dan ummat akan ditindas oleh rezim yang kejam dan zalim lagi lalim. Semoga keadilan dan kedaulatan ditegakkan. Agar tidak menjadi pelajaran seperti kaum yang disindir pada ayat pertama di atas. Yaitu dipimpin oleh kaum yang lebih baruk dari kaum sebelumnya. Wallahu‘alam bisshowab Ikuti kami untuk konten inspiratif setiap hari: Facebook: @batutercom Instagram: @batutercom Twitter (x): @batutercom Telegram: @batutercom Tiktok: @batutercom Youtube : @batuter
2 notes
·
View notes
Text
Menuju waktu titik 0o:0o (Zero O’clock)
Malam ini, dunia begitu hidup.
Seolah malam ini dunia terbagi.
Ada yang merayakan dengan tawa,
Diiringi letupan kembang api dan nyala api unggun.
Dan ada yang sibuk membekukan momen lewat lensa kamera.
Namun, di sudut lain, ada yang berbeda.
Duduk sendiri di sudut ruangan,
Menyusun doa dalam hati yang penuh beban.
"Tuhan, tolong menangkan aku kali ini."
Nafasnya tak teratur, penuh tekanan,
Dan matanya yang sembab seolah memohon:
"Tuhan, bolehkah aku bahagia di tahun selanjutnya?"
Detik demi detik bergulir lambat,
Menggiring memori yang tak ingin diingat. Luka-luka lama, kecewa yang tak terucap,
Air mata yang jatuh tanpa ada yang tahu.
Tapi malam ini, doanya begitu keras.
Dia berbicara pada dirinya sendiri:
"Tuhan, aku belum jadi apa-apa. Apakah aku mengecewakan mereka yang berharap padaku?"
Dia tatap langit-langit rumahnya, kosong namun penuh harap.
Matanya beralih ke jam dinding, yang siap berganti menjadi pukul nol.
Di sana, dengan suara pelan dia berbisik:
"Tuhan, 365 hari telah berlalu. Tolong berikan aku kabar baik dari setiap hal yang aku tunggu."
Malam itu, dia tak meminta banyak.
Hanya bahagia yang sederhana,
Hanya kekuatan untuk terus berjalan.
Karena baginya, pergantian tahun adalah titik baru,
Dan setiap harapan adalah doa yang mengisi ruang kosong di hatinya.
Tangerang, 01 Januari 2024
Writing by NH
2 notes
·
View notes