Kereta berikutnya masih lama. Aku menunggumu menyapa sembari menulis kata-kata ini. Di stasiun tempat kita pertama bersentuhan hati.
Hari-hari ini penuh kegamangan. Engkau dikoyak-koyak kehidupan.
Kadang dalam malam-malam kita yang panjang, engkau menolak untuk bertahan.
Tapi kehidupan bukan milik kita, bukan? Tidak pernah jadi punya kita.
Setiap hirup dan hembus adalah angka-angka yang kelak kan dihitung. Ada angka-angka yang jadi rugi, ada angka-angka yang jadi untung.
Meski kita kalah, kita bisa saja berbahagia. Menikmati keuntungan kehidupan.
Angka-angka itu tentu bukan sekadar berapa banyak rupa. Melainkan juga di mana ada makna.
Maka meski kita kalah, kita masih mampu mendulang makna. Oleh karenanya kita bisa berbahagia. Oleh karenanya kita bisa banyak untung di sana.
Lupakan saja itu dan mari menaiki kereta ini bersamaku. Kita kan berkeliling dan biarkan dirimu menghirup nafas kota yang tua dan letih ini. Kota yang sudah sekian lama berdiri, namun tak mati-mati. Ada yang bilang, ia abadi.
Jika kita mampu menghirup nafasnya, mungkin kita juga akan abadi. Tidak mati-mati. Serta mampu mengalahkan kehidupan.
Tapi apakah kehidupan sekadar kemenangan dan kekalahan?
Apa tidak ada kesempatan bagi angin sore yang berbahagia, dan cinta yang bersahaja?
Let us settle down, love.
No more heartbreak. The rice cooker
has always been turned on. The rice tender
and warm. I don't forget, in this version
of my life. Neither do you.
Malam tidak menggebrak masuk
melalui halaman (jika kita bisa memanggilnya halaman)
belakang, tetapi menyelinap dingin di atas linoleum
menguning, membawa tenteram & bukannya
ancaman-ancaman belaka.1
We leave behind the jagged edges of ourselves.
Ayo kita tanggalkan belati diri yang terpaksa ini.2
jati diri
/
autotranslation:
1. Night doesn't break in / through the backyard (if we can even call it one) / but slips, frigidly by, on top of the yellowing / linoleum, carrying tranquility & not / mere empty threats.
2. Come disarm the blade we were forced to be.
the person
i don't know which one feels more like home. (the uncertainty or the chaos)
fireworks by jaedha godwin, pinterest // split by niki // post by @haykhighland (infinite thanks for letting me use your post // special by sza // images from pinterest // post-glacial by tori mccandless // "saga (i won't forget you when i'm gone)", andrei voznesensk - translated by @metamorphesque // split by niki // image from pinterest
Translators: Hasif Amini and Sapardi Djoko Damono (Indonesian)
a stranger is taking off your clothes layer by layer,
seating you in front of the mirror and tempting you
to ask, “whose body am I wearing right now?”
a stranger is quietly writing down your life story, reflecting
on your birthdate, making up the story of the reason
of your death –
a stranger is quietly turning into yourself
“Yes, he loves me, but for me it is a great misfortune. For he thinks that because he loves me he is free to torment me, takes full advantage of this imaginary privilege. Almost every day comes a letter tormenting me to death, but then of course there comes another which is meant to make me forget the first; but how can I forget it? He always talks in riddles; one can’t get a candid word out of him. It is possible that what he wants to say cannot be written, but then, for heaven’s sake, he should stop it altogether and write like a sensible person. He doesn’t torment me deliberately, for he loves me, I know, beyond all measure, but he ought to stop tormenting me and making me so miserable with his love.”
Aku ingin merayakan hal-hal kecil milikmu; pelukmu, keras kepalamu, kehangatan dalam tawamu, hatimu yang luas, genggaman tanganmu, teduhnya bahumu, pikiranmu yang selalu berantakan, dan cara-cara mencintaimu yang sering membuatku kesal.
2.
Aku ingin mensyukuri hal-hal kecil milikmu; menemukanmu diantara banyak ketidakmungkinan, keberadaanmu yang menenangkan, hidup milikmu. Seluruhnya itu— lebih dari cukup.
3.
Semoga hal-hal yang kita kerjakan sepenuh cinta, menemukan jalannya.
As with any other translations I have done in this site, I do NOT own the original text. What I do own is my own translation and the explanation below it.
That being said, if there's something amiss in my translation, please feel free to correct me and/or give me some constructive criticism. I would love to grow more as an amateur translation, and the only way to soar is by seeing and listening.
Enough chit-chat, please enjoy the translation and don't forget to check the original poem ("Loss" by Ko Un, in case you didn't read the title!)
Original text source: here.
Translation + Explanation: here. (in GoogleDocs format!)
Sebentar lagi malam kan menyurut, dan kota tua kembali kosong seperti hati seseorang yang dulu pernah kuajak ke sini.
Lagu-lagu para pengamen mulai menutup kotak-kotak uangnya. Sebagian pulang ke haribaan malam. Sebagian tetap tinggal demi menuntaskan dendam. Ada pula yang tertidur di bawah bayang-bayang pohon yang telah lama mati itu.
Satu lagi saja, katamu. Sebelum kaki kita beranjak dan pikiran kita naik bersama khayalan-khayalan purba.
Kota ini pernah jadi persinggahan. Kini tinggal cerita-cerita yang mulai memudar dari ingatan. Zaman berganti, hati demi hati datang dan pergi. Setiap hati dengan ceritanya sendiri-sendiri. Setiap hati dengan kisah kasihnya sendiri-sendiri.
Kalau kita boleh kembali, mungkin kita kan jadi abadi.
judul asli : Confession
penyair : Craig Morgan Teicher
buku : to Keep Love Blurry
terjemah bebas oleh : Ramadhan A
lowell melakukannya dengan baik karena ia mengerti, meskipun kepiawaiannya berkata
"aku pernah seburuk itu,"
ia tetaplah harus tampil sempurna.
tiada yang mencintai seseorang yang membenci dirinya sendiri,
seorang yang kuat, dan semua pesona atas minat seseorang pada kejahatannya sendiri
yang ia tumpahkan pada pertunjukan bagi yang terluka olehnya, atau
bagi mereka yang belum pernah dan menjadi sasaran selanjutnya.
Si pemberani,
bintang rock,
pawang sirkus yang piawai,
yang membakar dirinya dengan api tiap malam.
lalu dipadamkan dengan tangisan penontonnya. Unik!
itulah tipuan yang mereka sukai;
ia baik-baik saja.
karena ia mencintai dirinya, kebencian yang dipermainkan.
seorang pembenci diri sejati,
yang memkau rumah-rumah kosong,
"The relationship of textiles to writing is especially significant, not only for the cuneiform-like qualities of many patterns (preserved in a Hungarian term irásos, meaning 'written'), but also for the parallels between ink on papyrus and pigment on bark cloth. There is, in fact, little difference between the two. Such connections are implied in many textile terms. For example, the Indian full-colour painted and printed 'kalamkari' are so named from the Persian for pen, kalam; the wax for Indonesian batiks is delivered by a copper-bowled tulis, also meaning pen. The European term for hand-colouring of details on cloth is 'pencilling'. The Islamic term tiraz, originally denoting embroideries, came to encompass all textiles within this culture that carried inscriptions. And the patterns woven into the silks of Madagascar are acknowledged as a language: the Malagasy vocabulary for writing and preparing the loom are synonymous, while the finest stripes are zanatsoratra, literally children of the writing, or vowels. The study of textiles is, in fact, a branch of palaeography, in which deciphering and dating reveals the stories encapsulated in cloth 'handwriting'.
With or without inscriptions, textiles convey all kinds of 'texts': allegiances are expressed, promises are made (as in today's bank notes, whose value is purely conceptual), memories are preserved, new ideas are proposed. Records were kept in quipu (khipu) a method of knotting string used by the Incas and other ancient Andean cultures to keep accounts and communicate information, the oldest of which is some 4,600 years old. Many anthropological and ethnographical studies of textiles aim at teaching us how to read these cloth languages anew. The 'plot' is provided by the socially meaningful elements; the 'syntax' is the construction, often only revealed by the application of archaeological and conservation analyses. Equally, the most creative textiles of today exploit a vocabulary of fibres, dyes and techniques. Textiles can be prose or poetry, instructive or the most demanding of texts. The ways in which they are used - and reused - add more layers of meaning, all significant indicators of sensitivities that can be traced back to the Stone Age."